Cinta yang Hilang | The Lost in Love # 17 ##
GEMURUH menggelegar di langit. Kabut hitam menutup bumi. Gerimis mulai menitis. Membasahi tubuhku yang termangu di depan gundukan tanah merah. Tanganku mengusap gundukan itu. Meminta maaf pada Anita terhadap kebohonganku selama ini. Bohong bahwa tak ada yang spesial antara aku dan Rosi. Dan bohong juga bahwa aku mencintai Anita.
Kebohongan itu kupendam selama menjalani hidup dengan Anita. Langit semakin bergemuruh. Seakan mengutuk pengakuan dosaku di makam itu. Hari ini genap sebulan Anita pergi meninggalkanku dan Madewa. Saban hari, setiap menjelang senja dan temaram menyinari bumi, aku menemui Anita. Membaca setumpuk do’a agar Tuhan menempatkannya di surga.
Selama 30 hari aku dihantui dosa. Rasa bersalah. Tidurku tak menentu. Saban malam, Anita menyapa. Dia membeberkan semua kebohonganku selama ini. Menyesali pernikahan yang terjadi. Dia mengutukku. Mengeluarkan segala umpatan amarah.
Bahkan, satu malam, hujan gerimis. Angin mendesau pelan. Menyapu wajahku yang duduk di beranda rumah. Seakan ada bayang Anita melintas. Tersenyum sinis. Menatapku tajam. Bayangku itu berdiri diantara bunga mawar dan anggrek taman depan rumah. Aku merinding. Bulu kudukku berdiri. Kukucekkan mata. Seksama memperhatikan taman. Bayang itu sirna. Hanya batang anggrek dan mawar bergoyang pelan ditiup angin. Rasa bersalah menghantuiku.
Otakku tak bisa berpikir banyak hal. Buntu. Penyesalan selalu datang belakangan. Meninggalkan duka dan nestapa menyanyat kalbu menjadi satu. Menangis pun sudah tak berarti. Malam merangkak pelan pelan menjemput pagi. Kucoba memejamkan mata. Namun, di setiap sudut kamar, seolah Anita ada. Membelai kepala Madewa dan memeluk anakku. Duh Tuhan, cobaan ini terlalu berat. Aku tak bisa melupakan Anita.
“Anita, maafkanlah aku. Suamimu yang selama ini menipumu. Aku berjanji, akan membesarkan Madewa sebaik-baiknya. Memberikan dia pendidikan agama dan sekolah yang bagus. Agar kelak dia menjadi orang sukses. Lebih sukses dibanding kita,” ucapku di depan gundukan tanah.
Jelang azan magrib, kutinggalkan makam. Menyeret kaki melewati makam-makam lainnya dan menuju ke rumah.
Setiap lagit mulai memerah, jelang senja menyapa, aku selalu berada di makam Anita. Bahkan, seluruh warga kampung mengetahui kebiasaanku akhir-akhir ini. Aku pulang kerja lebih awal. Meminta izin atasanku di kantor agar aku bisa menziarahi makam Anita saban sore. Aku merasakan segumpal penyesalan di dada. Menumpuk dan tak kunjung sirna. Setiap kali menziarahi makam Anita hatiku lega. Seolah dia telah memaafkan aku. Namun, ketika aku pulang ke rumah. Hatiku risau. Pikiran tak tenang.
“Sampai kapan kamu begini Andy? Sudah tiga bulan kamu selalu mengunjungi makam Anita. Tidak baik menyesali yang sudah terjadi. Tak baik pula menangis di makam. Hati Anita pasti sedih melihat kamu begini. Ibu yakin dia sudah memaafkan kamu nak,” kata Ibu satu sore ketika aku baru pulang dari makam.
“Entahlah bu. Aku merasa Anita marah padaku. Hingga dia sakit dan meninggal dunia.”
“Huss. Jangan ngomong begitu. Tuhan sudah mentakdirkan langkah, rezeki, jodoh dan maut. Jodoh kalian sampai disini. Tuhan sudah mengatur semuanya. Semua takdir Tuhan.”
“Aku ingin sendiri Ibu,” jawabku sambil mencium Madewa digendongan ibu.
Sejak Anita pergi, Ibuku menjaga Madewa. Seluruh keperluan rumah tangga dari masak, mencuci pakaian, menyapu lantai dan lain sebagainya disiapkan pembantu rumah tangga. Sedangkan keperluan Madewa disiapkan Ibuku.
Menyiapkan susu, menganti popok, dan memandikan Madewa menjadi tugas ibu. Ibu tak ingin pembantu yang memandikan Madewa. Pernah satu hari, pembantu memandikan Madewa. Telinganya masuk air, memerah, berair dan mengeluarkan bau seperti ikan busuk. Syukur sembuh setelah berobat ke dokter spesialis telinga, hidung dan tenggorokan (THT). Sejak saat itu, dari pagi sampai aku pulang, ibu yang menyiapkan keperluan Madewa.
Jika aku ada, maka menjadi tanggungjawabku menjaga dan merawat putra semata wayangku. Kini, usia Madewa sepuluh bulan. Dia mirip dengan Anita. Mata sipit, putih, gempal, rambut lurus hitam lebat dan suka senyum. Hidungnya sedikit pesek juga mirip Anita. Seolah-olah tidak ada bagian dari Madewa yang mirip denganku.
Malam hari aku mengganti popok, membuat susu, dan menganti celananya. Setiap Madewa menangis, aku harus bangun. Menggendongnya keliling rumah dan memberinya susu agar terdiam dan melanjutkan tidur.
Aku tak ingin merepotkan ibuku. Kuminta ibu tidur lebih awal. Seharian menjaga Madewan tentu sangat lelah. Usianya kini 60 tahun. Tak menahan kantuk berkepanjangan. Aku memahami kondisi kesehatan ibu. Seharusnya, ibu tak menjaga Madewa. Usia senja seharusnya ibu banyak istrihat, berolahraga ringan pagi hari, dan salat ketika azan berkumandang. Seharusnya, ibu bisa menikmati hidup indah di usianya semakin senja. Namun, kini dia harus repot merawat Madewa.
“Tidak apa-apa. Ibu masih kuat. Lagian ada Sumi, yang membantu kita di rumah ini. Sumi sangat banyak membantu Ibu. Jadi, tak usah khawatir,” jawab ibu saat aku menanyakan kondisi kesehatannya dan meminta Madewa untuk dititipkan ke tempat penitipan bayi.
Sejak saat itu, aku dan ibu bergantian menjaga Madewa. Ketika demam dan panas membekap tubuh Madewa aku khawatir. Aku selalu mengkompres keningnya dengan kain basah. Memberinya sirup penurun panas.
Jika panasnya belum juga turun. Kubuka baju Madewa. Mendekap tubuhnya. Menarik hawa panas tubuhnya ke tubuhku. Aku semakin paham bagaimana merawat bayi. Menenangkannya saat menangis. Membeli sejumlah mainan yang mengeluarkan berbunyi. Mengeluarkan nada-nada seperti krincing, terompet, dan bola yang bisa berbunyi.
Saya tunggu sampai akhir ceritanya bang @masriadi.
Salam sukses.
siap
Jika panasnya belum juga turun. Kubuka baju Madewa. Mendekap tubuhnya. Menarik hawa panas tubuhnya ke tubuhku. Aku semakin paham bagaimana merawat bayi. Menenangkannya saat menangis. Membeli sejumlah mainan yang mengeluarkan berbunyi. Mengeluarkan nada-nada seperti krincing, terompet, dan bola yang bisa berbunyi.
hana
Hah! Anaknya ditinggalin? Waduh....
begtulah kira kira
Teringat anak, jadi kangen
segera video call kang
Postingan sangat menarik..
keras