The Woman on the Painting: a Short Story in Bahasa | Perempuan Dalam Lukisan |

in #fiction6 years ago





Perempuan Dalam Lukisan

Cerpen @ayijufridar

PEREMPUAN muda itu terbaring di atas ranjang berseprai seputih salju. Dia tidak sedang tidur sebab matanya yang bulat menatap ke depan dengan sorot penuh minat seolah ada sesuatu yang menarik di depan sana. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, sebegitu tipisnya sehingga nyaris tidak terlihat. Sekulum senyum semisterius lukisan Monalisa. Tangan kirinya menopang kepala, membuat jemarinya tenggelam dalam gelombang rambut. Sebagian rambutnya yang ikal panjang menjuntai ke depan dan menutupi sebagian dada sebelah kanan. Sebagian lainnya ditutupi bantal yang ia peluk dan ia kepit di dengan paha. Dalam keadaan seperti itu, tidak terlihat dia memakai pakaian dalam atau tidak. Hanya dia sendiri yang tahu, atau orang yang telah mengabadikannya dalam lukisan itu, atau ada beberapa orang lain di sana saat lukisan itu masih berupa embrio.

Sering aku membayangkan ada beberapa orang lain di depan perempuan itu dan sering pula aku tersiksa dengan pikiranku itu. Aku bertanya kepada diri sendiri, apakah ketersiksaan itu lahir karena rasa cinta atau dorongan keegoisan seorang lelaki yang tidak ingin orang lain menikmati perempuan yang bisa dianggap sebagai kekasihnya. Ketika mendapati diriku sedang dibakar cemburu, aku mengingatkan diri bahwa rasa itu tidak boleh muncul.

Pertama, di antara kami tidak ada apa-apa, atau belum ada apa-apa meski tanpa deklarasi kami sudah bisa disebut sepasang kekasih. Dia memanggilku “om” karena sahabatku adalah adik ibunya. Kedua, aku sudah beristri dan mempunyai dua anak. Cemburu sudah menjadi bagian masa lalu, sekarang saatnya membangun karier untuk masa depan diri dan keluarga, syukur-syukur bermanfaat bagi orang lain. Dan terakhir, lukisan itu adalah bagian dari masa lalunya sehingga bila ia akhirnya menjadi milikku, aku tetap tidak bisa mencemburui sebuah masa di mana aku belum hadir dalam kehidupannya, sebagaimana ia tak bisa mencemburui masa laluku bahkan masa kini ketika aku tak lagi sendiri. Dalam keadaan tak adil itu, kecemburuan adalah sebuah keegoisan yang tak perlu kupelihara.

Telepon yang berdering mengingatkanku bahwa inilah saat terakhirku bersama lukisan cat minyak itu. Aku sudah tahu siapa yang memanggil tanpa harus melihat nama yang tertera di layar. Waktu dan hatiku yang memberitahukan identitas Si Penelepon.

“Yaa…?”

Hanya tersisa dua jam sebelum hari berganti. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan kebersamaanku dengan lukisan itu.

“Om sedang bersamanya?”

Seminggu sudah aku tidak mendengar suara itu. Dia melarangku menghubunginya setelah hubungan kami penuh dengan pertentangan dalam beberapa pekan terakhir. Kami bersitegang mulai dari masalah sepele sampai serius. Kemudian muncul gagasan darinya agar kami tidak saling berkomunikasi selama seminggu. Ia mengistilahkan “hibernasi” untuk masa sepekan puasa komunikasi kami. Dia tidak mengatakan apa yang harus kami lakukan selama itu. Aku yakin ia ingin kami memanfaatkan masa itu untuk saling introspeksi.

“Aku tak yakin bisa bertahan sampai seminggu.”




SELAMA empat bulan kedekatan kami, memang tak ada hari yang kulewati tanpa bertukar kabar dengannya. Kadang dia yang mengirimkan pesan singkat untuk mengingatkanku melakukan kegiatan rutin yang tak mungkin kulupakan seperti makan siang. Dia jarang mengingatkan untuk sarapan mungkin karena bisa memastikan aku sedang bersama keluarga.

Tiga bulan pertama kami lewati penuh kemesraan meskipun hanya lewat berbagai layanan pesan singkat atau telepon. Tiga kali pertemuan juga kami habiskan dengan kemesraan seperti sepasang remaja yang sedang jatuh cinta untuk pertama kali dalam hidup mereka.

Namun, tiga pekan dalam bulan keempat kami habiskan seperti sepasang suami istri menjelang perceraian mereka. Hubungan kami sedang memasuki masa krusial karena kami sudah membicarakan hal serius yang semuanya bertentangan dengan kenyataan yang ada. Dia menganggapku sebagai calon suaminya meski tetap memanggil “om”, tetapi aku belum meresponnya kendati tidak mempermasalahkan sebutan itu.

“Seminggu takkan lama. Dengan kesibukan Om di kantor, waktu seminggu seperti sehari.”

Aku memang sibuk sejak mengenalnya dan dia mengenalku. Namun, kesibukan itulah yang kemudian membuat kami bisa berjumpa. Dalam empat bulan terakhir, aku selalu mendapat tugas ke Jakarta sehingga kami bisa bertemu. Bahkan, selama sebulan terakhir aku harus tinggal di Jakarta untuk mengikuti pembekalan menjadi manajer kantor cabang di daerah. Kami pun melakukan pertemuan keempat, kelima, keenam, keenam belas, dan seterusnya. Mulanya kupikir kedekatan akan membuat hubungan kami semakin mesra, ternyata kami harus berhibernasi untuk membuat kami bisa melewati hari-hari manis seperti dulu.

“Aku takkan mampu. Jangankan seminggu, sehari pun takkan sanggup. Kamu lupa, selama ini kita tak pernah tidak berkomunikasi meski hanya sehari.”

Dia tersenyum tipis, persis seperti senyum dalam lukisan yang waktu itu aku belum melihatnya. Aku harus mengakui dirinya kadang lebih dewasa dibandingkan diriku meski usia kami terpaut 18 tahun. Meski dia juga harus mengakui terkadang ia lebih kekanakan dibandingkan Saskia, putri pertamaku yang masih berumur 10 tahun.

“Begini saja,” dia akhirnya memutuskan. “Sekarang Om pulang saja ke apartemen. Nanti aku akan mengirimkan sesuatu yang…” dia mengedikkan bahunya, “mungkin bisa Om jadikan obat ketika kangen. Bila ada pertanyaan tentang itu, simpan saja sampai kita bertemu seminggu kemudian. Apa yang kukirimkan, akan menguak semua masa laluku.”

Akhirnya lukisan itu yang datang diantar seorang sopir taksi ke apartemenku. Berukuran 77 x 53 sentimeter dan kupastikan tidak lebih tidak kurang. Di tengah kegundahan hati menahan rindu, aku mengambil meteran dan mengukurnya. Itu kulakukan berkali-kali meski aku yakin sudah mendapatkan angka akurat pada pengukuran pertama.

“Kamu benar, aku memang sedang bersama lukisan ini,” sahutku kemudian. “Selama seminggu ini selalu bersamanya. Bahkan sampai kubawa tidur.”

Aku tidak bohong soal itu. Lukisan separuh tubuh itu aku letakkan di sisiku ketika tidur. Ketika kerinduanku kian memuncak sehingga aku tergoda untuk melanggar kesepakatan kami, aku pernah meletakkannya di dalam kamar mandi dan memandangnya tanpa henti saat duduk di kloset. Tiga kali aku melakukan itu dan berjanji akan mengatakan kepadanya pada saat yang tepat dalam kebersamaan kami, tidak saat makan malam atau minum kopi.

“Sudah kuduga Om akan bawa tidur. Bahkan aku menduga Om bawa ke kamar mandi dan bermain-main dengannya,” dia tertawa di ujung kalimatnya. Dia benar untuk satu hal tetapi salah untuk hal yang lain.

“Aku penasaran dengan lukisan itu.”

“Aku juga tahu itu.”

“Lantas, kalau sudah tahu, bagaimana?”

Dia terdiam sesaat. “Hmmm, kembali kepada perjanjian kita. Lukisan itu harus Om kembalikan. Om hanya bisa memilikinya seminggu, setelah itu menjadi milikku kembali. Mungkin selamanya. Lukisan itu bukan untuk dijual meski dengan harga mahal.”

“Perempuan dalam lukisan itu sangat mahal, bagiku. Tapi apakah pelukisnya sangat terkenal sehingga ada orang yang mau membeli lukisan miliaran?”

Dia tertawa renyah, seperti biasa. “Om tidak mengerti lukisan, dan juga tidak menyukainya. Satu-satunya lukisan yang pernah Om simpan, ya lukisan itu, kan? Om pernah mengatakan itu sebelumnya. Semoga belum lupa.”

Dia benar. Aku memang tidak menyukai dan tidak peduli pada lukisan meski aku berani mengklaim diri sebagai seorang penikmat seni. Dalam sebuah percakapan dengannya, aku pernah menyinggung tentang tekni sfumato dalam lukisan Monalisa. Dia terkejut dan bertanya dari mana aku mengerti tentang itu. Kujawab dengan jujur bahwa aku membacanya dalam buku fiksi Da Vinci Code-nya Dan Brown. Jawaban itu sekaligus menegaskan bahwa aku ini penikmat seni sastra dan mempunyai banyak koleksi sastra kelas Nobel.

“Oh ya, aku tidak pernah lupa apa yang pernah kukatakan kepadamu. Dan tak pernah lupa dengan apa yang kamu katakan kepadaku.”

Dia tertawa lagi.

“Biar pun tidak punya lukisan, tetapi aku juga ingin dilukis sama pelukis itu. Tapi tentu saja dengan pakaian lengkap.”

“Bilang saja Om mau kenal dengannya, atau mau tahu dia laki-laki atau perempuan. Menurut Om, dia laki-laki atau perempuan?”

Dia memang bisa menebak keinginanku. Aku memang ingin tahu apakah dia seorang laki-laki atau perempuan, apakah dia benar-benar tidak berpakaian di lukisan itu, dan siapa saja yang pernah menyimpan lukisan itu selain diriku.

“Aku tidak bisa menebak, meski pilihannya hanya dua. Tapi karena lukisan itu sangat khusus, pasti pelukisnya juga khusus. Orang-orang yang melihat proses penciptaan lukisan juga khusus, orang-orang yang pernah menyimpan lukisan itu khusus juga.”

“Naaah, mulai lagi.”

“Aku ingin mendengar jawabanmu, agar aku tidak menjawab dengan dugaan. Tapi kamu malah mengajak main tebak-tebakan,” aku baru menyadari nada suaraku agak tinggi. Dia terdiam di seberang sana. Sekejap kesunyian hadir di antara kami.

“Kita sudah janji bertemu, kan?” ujarnya kemudian. “Aku menunggu Om di tempat biasa. Tapi tidak boleh ada pertengkaran, kita baru saja menyelesaikan masa hibernasi.”

Kalau dia jujur dan aku tidak bermain-main dengan perasaanku sendiri, tentu tidak ada pertengkaran. Tapi pertengkaran sering muncul tnap dikehendali ketika kami sama-sama kehilangan kendali diri. Tapi malam ini, aku sudah mendapatkan jawaban dan keberanian untuk menuntaskan pertengkaran.




KAMI biasa bertemu di sebuah kafe yang buka 24 jam. Tempat itu menjadi pilihan karena dekat apartemenku dan tak jauh dari tempat tinggalnya. Kami biasa duduk mengobrol di sana sampai hari berganti tanpa perlu khawatir akan diperingatkan pelayan. Kalau ada film bagus, kami tinggal jalan kaki ke Taman Ismail Marzuki.

Oh ya, aku ingat sekarang. Acara menonton di sana yang membuat kami bersitegang untuk pertama kalinya ketika dia mengenalkan sejumlah teman senimannya kepadaku. Gayanya yang main peluk dan cium dengan teman seniman lelakinya, menurutku tidak pantas karena aku belum mengenal mereka. “Di belakangku saja kamu tak pantas melakukannya, apalagi di depanku.”

Malam itu kami lewati dengan pertengkaran dengan emosi tertahan agar tidak mengganggu penonton di sekitar kami. Untuk pertama kalinya aku melewati film bagus dengan suasana hati yang buruk. Ketika kami berpisah, dia berkata; “Didiklah aku dengan penuh kesabaran. Banyak perbedaan di antara kita, tapi jangan sampai perbedaan itu kita selesaikan dengan pertengkaran.”

Aku merasa dia sangat dewasa ketika mengucapkan itu dan merasa ia sangat kekanakan ketika marah-marah karena pesannya terlambat kurespon di tengah kesibukan bekerja. Setelah kejadian malam itu kami sempat beberapa kali menonton di sana dan dia mulai menjaga sikap. Kalau ada waktu, aku mengajaknya menonton di tempat yang lebih berkelas agar semakin kecil kemungkinan bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya dan mengenalku.




DIA sudah duduk di sana ketika aku tiba dengan lukisan dalam sarung kain hitam sehingga tak ada yang bisa mencuri lirik isi lukisan. Duduk di dekat dinding kaca, matanya memandang ke luar, ke arah kolam renang yang sedang kosong. Tidak ada apa-apa di sana selain cahaya lampu yang bersinar temaram. Dia pernah berenang di tempat itu, dan aku duduk memandangnya dari sofa yang kini ia gunakannya. Waktu itu ia mengajakku berenang. Aku menolak karena tidak bisa berenang dan dia tak percaya. Kami bertengkar soal itu karena dia menganggapku menyembunyikan hubungan kami dengan menolak ajakannya berenang.

“Aku ingin siapa pun yang melihat kita bukan suatu masalah karena Om calon suamiku. Aku tak ingin hubungan kita dibatasi pandangan manusia, kecuali pandangan Tuhan. Tak ada yang melanggar agama yang kita lakukan selama ini.”

Kalimat terakhirnya benar. Kami tidak pernah melakukan kontak fisik yang terlalu jauh. Bahkan memegang tangan dan mencium pipinya pun kulakukan atas kesepakatan bersama. Aku juga benar ketika mengatakan tidak bisa berenang. Dia tidak percaya karena sudah pernah mendengar kisah penyelamatanku dari gelombang Tsunami ketika melanda Kota Banda Aceh, 2004 silam.

Padahal, aku tidak pernah mengatakan aku selamat karena bisa berenang karena kenyataannya banyak anggota marinir meninggal meski kemampuan berenang mereka satu “klik” di bawah ikan. Tak ada jaminan selamat dari terjangan Tsunami meski orang itu adalah Michael Phelps dengan 22 medali Olimpiade. Di saat gedung-gedung rata dengan tanah, hanya keajaiban yang bisa membuat kita selamat, dan itulah yang aku alami.




DIA tersenyum menyambut kedatanganku. Agar bisa mencium pipinya dengan leluasa, aku meletakkan lukisan itu di dinding kaca. Aroma tubuhnya terasa melekat di pucuk hidungku. Begitu hafalnya aku dengan aroma itu sehingga seperti bisa melihatnya. Sekian menit kami habiskan waktu untuk memesan makanan sebelum dia mempersilakan aku mengajukan pertanyaan. Aku boleh bertanya tentang apa saja, tetapi dia bisa tidak menjawab daripada harus berbohong.

“Kalau Om mau menjawabnya sendiri dengan berbagai dugaan dan itu membuat Om tersiksa, itu tanggungjawab Om sendiri.”

“Bagaimana kabarmu selama ini?”

“Itu tak berkaitan dengan lukisan.”

“Memang tidak. Hanya ingin tahu keadaanmu setelah sepekan berhibernasi,” sahutku.

“Aku merasa lebih segar, lebih siap. Begini, lukisan itu memang bagian dari masa lalu. Pelukisnya ….”

Aku tersenyum sambil menyentuh punggung tangan kirinya dengan tangan kananku sehingga langsung membuatnya terdiam. “Kita makan dulu, ya?”

Dia sepakat. “Setelah itu, baru Om tanya-tanya?”

Aku kembali tersenyum dan kembali menggeleng. “Setelah itu, kita mungkin akan jalan-jalan ke pantai kalau kamu mau.”

“Tengah malam begini?”

“Kalau kamu mau….”

Dia mengangguk kuat sambil tersenyum lebar. “Om akan tanya sambil jalan-jalan di pantai?”

Lagi-lagi menggeleng, lagi-lagi tersenyum. Aku sudah memutuskan untuk tidak bertanya tentang lukisan itu sambil jalan-jalan, sambil makan, atau sambil apapun. Aku hanya ingin mengajaknya jalan-jalan untuk menunjukkan langkah-langkahku yang selalu terayun ke depan, sebagaimana kehidupan yang terus bergulir dengan atau tanpa perempuan itu di sisiku. Lukisan itu memang tidak akan pernah menjadi milik orang lain karena ia tidak akan menjualnya. Tapi sebagai sebuah lukisan, siapa pun bisa menikmatinya.[]






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.16
JST 0.028
BTC 73187.18
ETH 2574.60
USDT 1.00
SBD 2.41