The Commander's Ear | Telinga Komandan |

in #fiction6 years ago



Cerpen @ayijufridar

KOMANDAN pasukan dekat bandara itu seorang perwira berpangkat kapten, tapi Hamidan-lah komandan yang sesungguhnya kendati hanya satu orang saja tentara di sana yang mengenalnya. Hamidan tidak bertugas di markas pinggir bandara, meski ia juga seorang tentara–pensiunan tentara tepatnya. Rumahnya tak jauh bandara kecil milik perusahaan asing itu, masih berada dalam jangkauan efektif peluru senjata laras panjang—begitu ia menggambarkannya. Kalau berdiri di kebun belakang rumahnya yang penuh dengan pohon kelapa, ia bisa melepaskan tembakan ke arah bandara dan bisa mengenai pesawat berbaling yang setiap pagi dan sore mendarat dan tinggal landas di sana. Pohon kelapa terakhir yang tegak dekat pagar rumahnya, berada dalam jangkauan efektif peluru yang melesat dari moncong senjata api, seolah pohon itu tumbuh memang untuk dijadikan tempat berlindung.

Hamidan bisa melakukannya dan yakin bisa mengenai pesawat itu. Sebagai prajurit yang pensiun dini, ia adalah penembak terbaik di batalyonnya. Bukan hanya menembak objek besar seperti pesawat bisa ia lakukan, menembak kuping komandannya pun ia mampu seperti yang pernah dilakukan dan membuatnya dipecat dari dinas.

Dia tak menembak pesawat sipil dan tidak akan melakukannya meski diperintah oleh siapa pun. Pesawat itu bukan musuhnya, perusahaan asing itu juga bukan kendati mereka mengeruk kekayaan rakyat tetapi membiarkan warga sekitar hidup dalam kemiskinan. Tidak juga ia memusuhi karyawan perusahaan asing—sebagian besar bule yang hanya tinggal beberapa jam di ladang gas karena situasi keamanan tak kondusif akhir-akhir ini. Para ekspatriat itu setiap pagi diangkut dengan pesawat dari daerah tetangga yang aman, lalu sorenya pulang juga dengan pesawat sama. Dalam pesawat tersebut juga terdapat beberapa warga pribumi. Mereka pastilah karyawan level menengah atas karena mendapat fasilitas meninggalkan lokasi ladang karena alasan keamanan. Masih ada karyawan yang tetap tinggal di area ladang meski baku tembak sering terjadi di sekitar situ. Mereka adalah karyawan kontrak yang kematiannya barangkali tidak terlalu merugikan perusahaan.

Pagi tadi—ketika pesawat baru mendarat—terdengar rentetan tembakan yang mengejutkan orang-orang sekitar bandara. Hamidan baru saja turun dari tempat tidur dan hendak membuka jendela. Badannya tidak terlalu sehat pagi ini sehingga setelah salat Subuh tadi, ia tidur lagi. Dia harus menajamkan pendengarannya untuk memastikan memang ada suara desingan peluru di antara raungan mesin pesawat. Setelah yakin pendengarannya tak salah, ia berlari ke kebun belakang. Di sana, di balik pohon kelapa, berdiri tiga anak muda. Mereka memegang senjata api laras panjang dan hanya satu senjata saja yang memuntahkan peluru. Meski dari kejauhan, Hamidan bisa memastikan sumber tembakan berasal dari pemuda yang berlindung di balik pohon kelapa paling dekat dengan pagar.

Tak punya banyak waktu untuk berpikir, Hamidan memastikan jumlah pemuda itu dan ciri-ciri mereka. Pada saat itulah ketiga pemuda itu kabur dengan melompat pagar ke kebun sebelah yang dipenuhi dengan pohon pisang. Ketika melihat mereka dari arah samping, Hamidan seperti mengenal seorang di antaranya, pemuda yang menyandang senjata api Kalashnikov gagang lipat. Tampaknya, hanya seorang dari mereka yang bersenjata organik, dua yang lain hanya sebagai tenaga pendukung saja, dengan ransel loreng di punggung yang berguncang mengikuti gerak tubuh. Dalam genggaman tangan dua pemuda itu, terlihat dua pucuk senjata laras panjang. Namun, Hamidan bisa memastikan hanya replika karena sebegitu ringannya.

Tubuh ketiganya lenyap di kebun pisang. Hamidan kembali ke kamarnya, ingat dengan jendela yang masih tertutup. Dia tidak berpikir pesawat terkena tembakan atau tidak.




Satu dari ketiga pelaku penembakan ditangkap menjelang sore di rumah mertuanya. Ia sudah berganti pakaian dan rambut dipangkas rapi, tapi aparat keamanan tetap mengenalinya. Namanya Dahlan, lebih dikenal dengan nama lakap Ayah Panser karena pernah dengan gagah berani menghadang panser tentara yang sedang berpatroli. Dua regu tentara mengepung rumahnya dan menyeret pemuda itu dari tempat tidur istrinya. Senjata Kalashnikov ditemukan di bawah tempat tidur setelah Kopral Samsul mengancam akan membawa istrinya kalau dia tidak buka mulut. Dia masih berusaha bohong dengan menyebutkan senjata itu sudah dibawa temannya. Ketika Kopral Samsul menggertak dengan menyeret istrinya, keberadaan Kalashnikov langsung diketahui.

Kopral Samsul paling berjasa dalam tertangkapnya pelaku penembakan pesawat sipil yang ternyata melukai dua karyawan perusahaan eksplorasi gas. Keduanya warga pribumi, seorang di antaranya perempuan. Panglima operasi militer mendatangi markas sebagai bentuk apresiasi atas keberhasilan tertangkapnya Ayah Panser yang sudah dicari-cari selama ini. Kedatangannya disambut dengan yel-yel khas militer. Suasana begitu gembira, seperti para nelayan baru saja mendapatkan tangkapan besar.

Kapten Agus memberikan laporan lengkap sejak penyerangan pesawat jenis ATR 72-600 milik perusahaan asing, sampai tertangkapnya Ayah Panser. Sebegitu lengkapnya laporan itu seolah ia sendiri terlibat dalam penembakan bersama tiga pemberontak. Panglima operasi militer menyimak serius, sesekali mengangguk penuh hormat. Kebanggaan memancar dari sinar matanya, ia seperti melihat dirinya semasa berpangkat kapten ketika melihat kecerdasan Kapten Agus.

“Ayah Panser bisa jadi pintu masuk untuk menangkap pentolan lainnya.”

Panglima berpikir untuk memberikan penghargaan kepada Kapten Agus atas prestasinya. Namun, sebelum sampai ke sana, ia tidak pernah meninggalkan kejeliannya sebagai panglima. Ratusan rekayasa bisa terjadi dalam sebuah peperangan seperti yang sudah dialaminya di masa silam. Bahkan dua bintang yang jatuh di pundaknya sedikit banyak berkat rekayasa peristiwa dalam peperangan. Bukan tidak mungkin itu juga terjadi di sini dan itu harus diungkapkan. Dia bertanya mengenai kinerja intelejen dalam memasok data dan berita.

“Saya memiliki banyak sumber informasi dari masyarakat. Karena kita baik-baik dengan rakyat, kabar tentang pemberontak selalu datang.”

Kopral Samsul yang paling kecewa dengan jawaban komandannya itu. Namanya sama sekali tidak disebut, seperti yang sudah-sudah. Perjuangan kawan-kawannya lain juga tidak disebutkan. Kesuksesan mereka menangkap otak pelaku penembakan pesawat sipil sekaligus pentolan pemberontak yang selama ini dicari, seolah berkat otak Kapten Agus semata. Perjuangan anak buahnya tidak mendapat penghargaan.




Bukan sekali ini Kopral Samsul dan kawan-kawannya diperlakukan demikian. Sejak enam bulan lalu mereka ditempatkan di sini, sudah tak terhitung perlakuan semena-mena yang mereka terima. Kepatuhan terhadap atasan diterjemahkan Kapten Agus sebagai kesempatan memberi perintah apa pun termasuk tugas-tugas tak masuk akal. Setiap pagi, anak buah harus mengambil air di rumah penduduk karena air di markas mereka kuning dan berlumpur. Soal ini, anak buahnya tidak terlalu mengeluh sebab air itu sekalian bisa dipakai bersama. Selain itu, mereka juga wajib mencuci pakaian Komandan. Tapi itu pun masih bisa mereka terima. Yang membuat mereka meradang, Kapten Agus setiap bulan menyunat uang lauk pauk para prajurit.

Tidak ada prajurit yang berani protes. Mereka hanya bisa memaki-maki di belakang, bahkan ada yang bersumpah akan menembak Kapten Agus karena kezalimannya. Sudah puluhan kali ancaman itu terdengar, tapi belum ada yang berani melakukannya. Ancaman tembak juga pernah dilontarkan seorang prajurit yang tak mendapatkan izin pulang ketika ayahnya meninggal dunia di kampung halaman. Kapten Agus melarang prajurit pulang sebelum tugas operasi berakhir. Mereka sudah bersumpah untuk menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Pulang tanpa izin berarti desersi.

Anak buah yang merasa tertindas juga sering berdoa agar Kapten Agus mati ditembak pemberontak atau terkena malaria. Tapi seperti yang mereka yakini selama ini, tentara jahat adalah orang terakhir yang mati dalam sebuah peperangan. Sampai saat ini, Kapten Agus tetap sehat dan banjir pujian dari atasan.

Enam bulan adalah waktu yang lama untuk berada di daerah operasi. Seharusnya mereka sudah serpas atau pergeseran pasukan. Pindah ke tempat lain yang sedikit lebih aman. Kondisi moril prajurit harus dibenahi agar tidak tertekan dalam suasana konflik bersenjata. Itu aturan yang tertulis. Di lapangan, ada pasukan sudah 13 bulan berada di sebuah titik rawan dan tidak pernah digeser sampai seorang prajurit tewas bunuh diri karena depresi.

Sejak menempatkan markas dekat landasan, sudah beberapa kali Kapten Agus dan anak buahnya diserang tetapi tidak pernah jatuh korban, justru pihak musuh banyak tertembak sehingga tidak ada lagi serangan setelah itu. Mereka memiliki strategi yang tak pernah terpikirkan oleh siapa pun, termasuk Panglima. Setiap malam, hanya prajurit dalam jumlah kecil berada di markas. Selebihnya tidur di kuburan di dekat areal persawahan yang menjadi jalan masuk menuju markas dari sisi selatan. Sebelum pemberontak tiba di markas komando, mereka sudah terlebih dahulu mendapat serangan mendadak. Penyerangan baru bisa dilakukan kalau pemberontak bergerak dari sisi utara, tapi itu pun sangat riskan karena harus melalui pasar dan perumahan penduduk.

Tidur di kuburan barangkali bukan gagasan yang menarik. Kapten Agus menyadari kuburan bukan saja tempat peristirahatan bagi orang mati, juga menjadi tempat yang aman bagi orang hidup. Dia sudah menyampaikan strateginya itu kepada Panglima dan mendapat pujian. Tidak pernah terlintas di pikirannya untuk menyebutkan nama Kopral Samsul yang memberikan gagasan itu karena selalu ada kabar yang masuk ke telinga prajurit itu mengenai pergerakan kelompok pemberontak.

Sehari setelah penangkapan Ayah Panser, Kopral Samsul menghadap komandannya untuk menyampaikan laporan tentang rencana penyerangan pemberontak sebagai aksi balas dendam.

“Kita kerahkan kekuatan penuh ke kuburan. Kita habisi mereka sebelum sampai ke mako.”

“Pemberontak akan menyerang kuburan, Dan. Kita tak bisa lagi sembunyi di sana,” Kopral Samsul tegak di depan Kapten Agus yang duduk di kursinya di seberang meja.

“Begitu laporan yang kamu terima?”

“Siap!”

“Apa saranmu?”

Kekuatan inti digeser kembali ke markas komando, termasuk Kapten Agus untuk memimpin pertempuran di sana. Di kuburan, disisakan satu regu pasukan untuk menghadang. Ketika pertempuran terjadi di kuburan, kekuatan inti di markas didorong ke kuburan untuk memukul pemberontak. Seperti enam bulan terakhir, tak ada saran Kopral Samsul yang ditolak Kapten Agus. Dalam laporan nanti, itu akan menjadi siasat yang meluncur dari kepala Kapten Agus.




Pertempuran terjadi pada malam hari menjelang waktu istirahat. Namun, Kapten Agus dan pasukannya tidak beristirahat karena sudah mendapatkan informasi adanya penyerangan. Informasi itu agak keliru karena serangan bukan hanya terjadi terhadap tempat persembunyian pasukan di kuburan, melainkan juga di markas. Sepertinya, pemberontak mengerahkan kekuatan penuh. Mereka benar-benar marah setelah Ayah Panser ditangkap.

Kapten Agus dan anak buahnya sudah siap menyambut serangan. Hanya saja, mereka tidak memperkirakan listrik padam beberapa saat setelah tembakan terdengar. Di daerah itu, listrik memang sering padam. Pemadaman di tengah pertempuran juga pernah terjadi sebelumnya, tetapi tetap saja mereka harus bertempur dalam keadaan lebih sulit. Taktik yang sudah dirancang tak bisa dilaksanakan sepenuhnya di tengah kegelapan yang mendera.

Suara tembakan sahut-menyahut dan ditingkahi teriakan perintah seperti nyanyian katak di musim hujan. Sesekali rentetan tembakan reda, tetapi suara tembakan di kuburan terdengar jelas sampai ke markas. Seluruh pasukan melindungi diri di balik tembok dan benteng pasir di depan markas sambil balas menembak. Kapten Agus memerintahkan Kopral Samsul selalu berada di dekatnya karena selaku putra daerah, anak buahnya itu sangat menguasai medan dan memiliki banyak informasi dari masyarakat.

Aksi tembak-menembak masih terdengar ketika dari markas terdengar teriakan Kapten Agus. Bukan teriakan perintah, melainkan teriakan penuh kesakitan. Dia terguling di lantai sambil memegang telinga kanannya yang berdarah. Kopral Samsul yang berada di samping segera memanggil tim medis untuk memberikan pertolongan. Mereka mengangkat Kapten Agus ke kamarnya untuk diperiksa. Ketika tubuh Kapten Agus sudah tergeletak di sana, suara tembakan berhenti dan beberapa saat kemudian lampu pun menyala. Tidak ada luka lain di tubuh Kapten Agus selain telinga kanannya yang terputus.




Sejak enam bulan bertugas, baru kali ini Kopral Samsul mendapat pujian. Tidak datang dari komandannya yang kini dirujuk ke rumah sakit, apalagi dari Panglima. Pujian datang dari Hamidan yang selama ini banyak memberikan informasi dan strategi melalui Kopral Samsul.

“Kamu melakukan yang seharusnya. Musuhmu sekarang bukan lagi para pemberontak itu, tetapi kawanmu sendiri. Banyak yang terlibat, satu atau dua orang pasti ada yang berkhianat, ada yang menjilat. Jangan pernah sesali apa yang sudah kamu lakukan. Itu risiko kita sebagai prajurit.”

Kopral Samsul mengangguk setuju. Dia sudah siap menerima apa pun akibat yang tak menyenangkan, seperti yang diterima ayahnya dulu. Risiko terbesar yang dihadapinya dibawa ke Mahkamah Militer dan kemudian dipecat dengan tidak hormat. Seperti kata ayahnya, dia masih bisa menjadi tentara—dengan atau tanpa seragam militer—karena mereka memang terlahir untuk itu.[]


Cerpen di atas pernah dimuat di Media Indonesia edisi Minggu 12 Juli 2015.




Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Wah, sampai di do'akan oleh anak buahnya supaya kenak malaria hingga tewas, kisah ini mengingatkan kita kembali akan tragedi berdarah di Aceh.

@ayijufridar sanggup menulis kisahnya dengan paragraf terbanyak, tapi endingnya dapat, saya salut 👍👍👍

Ini terinspirasi dari kisah nyata @midiagam. Ada kawan dari kawan saya yang menembak telinga komandannya karena sang komandan memiliki perilaku seperti yang digambarkan di atas.

Ini kejadian yang langka terjadi, kirain tadi fiksi, tapi untung lah si komandan yang di tembak telinganya, coba kalau senapannya di arahkan ke jantung, bisa almarhum dia hehe

Cerita yang sangat bagus, tentang kisah seorang komandan yang di doakan oleh bawahannya

Posted using Partiko Android

Terima kasih @muzac. Keep spirit.

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 62956.16
ETH 2588.54
USDT 1.00
SBD 2.74