Setelah Dua Tahun | Cerpen |
Aku mengenalnya dalam sebuah angkutan kota. Cukup mengesankan dan sangat unik. Sejak pertama kali melihatku, gelagatnya sudah mulai enggak tenang. Kentara sekali kalau dia ingin berkenalan denganku.
Tapi aku pura-pura cuek. Pura-pura jual mahal. Harus begitu, kan? Jadi cewek jangan terlalu agresif kalau bertemu dengan cowok kece. Ntar cowoknya malah kegeeran. Lebih baik dicuekin biar doi penasaran.
Taktikku itu berhasil. Sampai dua ratus meter angkot bergerak, cowok itu belum juga bereaksi apa apa. Sesekali dia melirikku dengan ekor matanya. Kalau sudah begitu, aku lansung pasang wajah nggak peduli. Biar cowok itu semakin penasaran.
Dalam hati, aku tersenyum gembira. Rasain lo cowok, biar kece tapi gue cuekin....
Tapi sampai separuh perjalanan, hatiku mulai berkata-kebit. Cowok kece itu belum juga bereaksi (zat kimia ‘kali). Ini pasti salahku yang terlalu cuek. Ah, tiba-tiba ada penyesalan di hatiku. Seandainya tadi aku membalas senyumannya, mungkin ceritanya akan lain. Cowok itu mungkin akan tersenyum. Lantas berbasa-basi lantas menanyakan nama, alamat, dan di tutup dengan kalimat: “Malam Minngu boleh ke rumah, kan?”
Ah, itu engak mungkin. Kejadian seperti itu hanya ada dalam cerpen-cerpen picisan. Terlalu konyol bila aku berharap seperti itu.
Angkot yang aku tumpangi sudah melewati jembatan. Ah, sebentar lagi aku harus turun. Dan setelah itu aku tidak pernah berjumpa lagi dengan cowok kece ini. Semua salahku. Jadi cewek itu sebenarnya jangan terlalu cuek, tapi jangan juga terlalu agresif. Biasa aja. Itu idealnya.
Tiba-tiba ada yang mencolek lututku. Semua pikiranku terpenggal seketika.
Cowok kece itu cengengesan. Ah, bukan cengengesan tapi tersenyum manis. Ya, ya, sangat manis.
“Sekolah di SPK, ya?”
Aku mengangguk sembari membalas senyum manisnya. Tapi aku enggak tahu senyumku manis atau enggak. Soalnya senyum dibuat-buat malah kelihatan lucu. Maunya senyum manis, tapi jadinya kayak manisan jengkol. Pernah ngerasa enggak?
“Kok tau saya sekolah di SPK?” aku berinisiatif bertanya. Soalnya setelah basa-basi tadi, cowok itu tidak melakukan serangan kedua. Hihihi, kayak maen catur aja....”
“Cuma menebak,” dia menjawab singkat.
“Tapi tebakan kamu jitu. Anak dukun, ya?”
“Apa saya mirip anak dukun?” dia balik bertanya.
“Mirip sih enggak. Tapi....”
“Tebakan saya jitu?” serobotnya. “Cuma kebetulan,” sambungnya ketika melihat anggukanku.
Cowok itu diam. Detik berikutnya dia menatap wajahku. Kali ini aku membalas tatapannya dan tersenyum. Yakin deh, senyum kali ini lebih manis daripada manisan jengkol.
“Tinggal di Alu Awe?”
Dia menebak lagi. Tapi untuk kedua kalinya tebakannya betul.
“Kok tau ?”
“Cuma menebak,” jawaban itu lagi yang keluar.
Angkot tiba-tiba berhenti. Pak tua di sebelah cowok itu turun. Aku malah bersyukur. Bukan enggak kuat cium bau tanah dari tubuh pak tua itu, tapi karena ada tempat kosong di depanku yang langsung di isi oleh cowok itu. Jadinya kami bisa berhadapan. Dan aku bisa dengan bebas menikmati wajahnya. Hidung yang mancung, alis yang bersambung, juga lubang hidung yang cuma dua (memang ada yang satu atau tiga?). Semua jadi perhatianku.
“Barusan dari mana?” dia bertanya lagi.
“Dari rumah saudara.”
“Paman?”
“Iya…” anggukku heran.”Kamu kok tau, sih ? Jangan bilang cuma menebak. Soalnya tadi tebakan kamu benar terus.”
Dia tertawa renyah, mengundang dua perhatian penumpang lain yang ada di antara kami.
“Saya sendiri heran kenapa tebakan saya benar terus. Tapi yang jelas saya bukan anak dukun, lho!”
“Ya, aku tahu itu.”
“Tahu dari mana?”
“Tubuh kamu enggak bau menyan.”
Cowok itu tertawa lagi.
“Kamu lucu. Nama kamu siapa, sih ?”
Ini sebenarnya pertanyaan yang aku tunggu-tunggu. Tapi norak jadinya bila menampakkan ekspresi gembira.
“Untuk apa?” membalas pertanyaan itu dengan pertanyaan kurasa lebih baik. Sok engggak butuh. Padahal sih....
“Biar kita bisa lebih akrap? Dia mengulurkan tangan nya. “Namaku Awang kamu siapa?”
Belum sempat menjawab, aku sudah sadar bahwa aku sudah sampai di tujuan. Buru-buru aku memencat bel.
“Turun di sini ?”
Aku mengangguk. “Tuh, rumah kos saya,” tunjukku pada sebuah rumah di tepi jalan.
Sebelum kedua kakiku mendarat ke aspal, cowok itu telah memegang kedua pergelangan tangan ku. “Jangan curang nama kamu siapa?”
Agresif juga ni cowok. Padahal tadi aku sudah menyangkal doi seorang cowok pendiam.
“Vinda,” datar saja suaraku keluar. Kuayun kaki beberapa langkah ke depan. Menyerahkan uang kepada si supir lantas masuk ke pekarangan rumah yang enggak jauh dari jalan. Saat menoleh, aku melihat Awang melambaikan tangannya.
Itu dua tahun lalu.
Setelah itu aku enggak pernahketemu lagi dengan Awang. Bayangin aja, selama dua tahun itu aku ingat-ingat dia terus. Rizki, Troy, dan Seno gagal dapatkan cintaku karena bayangan Awang begitu kuat terpatri dalam hatiku. Ini bukan gombal, lho. Tapi kenyataan yang sesunnguhnya.
Padahal Rizki, Troy dan Seno serius mendekatiku. Merek cowok yang baik dan berwajah yang lumanyan. Tapi aku tetap enggak bisa menerima mereka. Entah kenapa hati kecil mengatakan sesuatu saat Awang akan datang kepadaku dengan cintanya.
Mungkin ini kedengarannya berlebihan.Tapi sumpah mati aku tidak bisa menghindarinya. Malam Minggu aku lebih berdiam di kamar dari pada menerima tawaran Seno untuk pergi menonton. Memang dari ketiga cowok itu Senolah yang masih getok mendekati. Kegigihan cowok itu memang luar biasa. Mungkin karena dia dapat dukungan penuh dari teman-temanku.
Seno memang pandai mengambil hati teman-temanku. Dia memanfaatkan semua fasilitas yang ia punya. Hari Minggu, ia mengajak teman-temanku ke pantai dengan mobilnya. Otomatis teman-teman langsung mendesak aku.
Sesekali aku ikut juga, meski enggak sepenuh hati. Jengkelnya, kalau sudah di pantai teman-teman sering ninggalin aku sama Seno. Dan kalau suasana udah begitu, pasti deh Seno mulai nyerempet-nyerempet. Ujung-ujung nya doi ajak aku pacaran.
“Udah, terima aja. Apa sih kurangnya si Seno?”
Kalimat itu sudah lebih sepuluh kali meluncur dari mulut Dena, teman sekamarku. Dia memang kuberi hak khusus untuk mengetahui semua rahasia pribadiku. Tentang penantianku selama dua tahun pun kuceritakan ke dia. Tapi dengan cacatan dia enggak boleh menceritakannya pada orang lain, apalagi ke Seno.
“Kamu hidup sia-sia selama dua tahu. Bayangin aja, selama dua tahun itu kamu selalu ngarepin Awang datang padamu. Setiap saat kamu inngat dia terus. Tapi belum tentu Awang ingat kamu.”
“Mudah-mudahan doi ingat,” sahutku mengharap.
“Syukur kalau Awang masih ingat. Kalau enggak?”
Kalau sudah begitu aku enggak tahu harus jawab apa.
“Secara logika, Awang udah ngelupain kamu. Kalian cuma berjumpa sebentar, terus pisah selama dua tahun. Vin!” tegas Dena.
Ya aku tahu. Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk penantian. Apa lagi penantian untuk seseorang yang tidak ada ikatan apa-apa dengan kita.
“Belum tentu doi masih ada. Siapa tahu Awang udah koit.”
“Huss! Kamu jangan ngomong yang enggak-enggak,” aku melotot pada Dena.
“Siapa tahu, Vin. Kan kalian udah dua tahun enggak jumpa.”
Dua tahun lagi yang jadi masalah. Padahal selama itu aku enggak pernah tersiksa, meski keinginan bertemu Awang begitu meledak-ledak.
Selama ini memang aku kerap membayangkan suasana romantis bersama Awang. Saat menonton filem percintaan, aku sering membayangkan akulah yang jadi bintangnya bersama Awang. Begitu juga saat aku membaca cerpen romantis dan saat mendengar lagu-lagu syahdu.
Tapi aku nggak pernah merasa tersiksa karena itu. Bahkan aku bisa menikmatinya. Dan setiap saat membayangkan kehadiran Awang di sisiku, aku merasakan suatu kebahagiaan.
Malam minngu seperti biasa Seno datang kerumah kos kami. Dan seperti biasa juga aku nggak mengacuhkannya. Yang sibuk malah Dena. Saat mendengar klakson mobil Seno, dia langsung menarik majalah yang tengah kubaca.
“Seno datang, tuh. Cepat temui dia. Jangan pake baju tidur itu, dan jangan lupa sisiran,” ceracaunya.
Aku menggeliat malas di atas tempat tidur.
“Aku sedang enggak enak badan nih,” sahutku sambil mengaruk-garuk kepala.
“Jangan banyak alasan. Malam Minggu kemarin kamu juga nggak mau jumpai dia karena alasan itu. Kalau kamu terlalu sering buat begitu. Seno bisa merasa kamu lecehkan. Dan itu bisa bikin dia sakit hati. Kamu tega nyakitin orang yang sungguh-sungguh mencintaimu?”
Duh, kalau udah lari ke perasaan sumpah mati aku enggak tega. Akhirnya terpaksa kuturuti perintah dena itu walaupun enggak sepenuh hati.
“Ganti baju dulu.”
“Enggak perlu. Dengan baju tidur ini pun aku tetap aja manis,” sahutku haqul yakin.
Di ruang tamu, aku lihat dua orang cowok duduk di atas sofa. Mulanya aku mengira yang seorang lagi adalah cowok temanku. Tapi ketika cowok itu membalikkan tubuhnya, seketika itu juga langkahku terhenti.
“Awang...” suaraku seperti tertelan dalam tenggorokan.
Cowok itu berdiri dan tersenyum. Sementara Seno melambaikan tangannya menyuruhku mendekat.
“Saya bukan Awang.”
Kata cowok itu ketia aku udah duduk di antara mereka. ”Saya Irsan, saudara kembar Awang,” lanjutnya membuat mataku membulat sempurna.
Tanpa menghiraukan keherananku, cowok yang mengaku saudara kembarnya Awang itu kembali melanjutkan.
“Awang banyak bercerita tentang kamu. Setelah berjumpa dengan kamu di angkot dua tahun lalu, dia banyak menyimpan harapan. Tapi untuk mengenalmu lebih jauh dia nggak berani. Awang enggak mau membuat kekecewaan.”
Terus terang aku nggak ngerti arah pembicaraan Irsan. Tapi untuk bertanya langsung, lidahku terasa kelu.
“Ketika berjumpa dengan Seno, Awang menceritakan semua impiannya. Awang ingin memiliki cewek yang di kenalnya dalam angkot. Tapi dia engnggak mau ada orang yang dicintainya menangisi kepergiaannya nanti. Makanya dia minta Seno mendekati cewek itu.”
“Sekarang ke mana Awang ?” tanyaku dengan rupa bingung.
“Dia sudah pergi. Tuhan telah memanggilnya. Sudah lama Awang kena leukemia,” Seno yang menjawab.
Aku tersentak. Beberapa saat lamanya aku nggak tahu harus buat apa. Bahkan ucapan musibah pun enggak dapat keluar dari mulutku.
“Awang tahu umurnya enggak panjang. Makanya dia menahan perasaannya untuk tidak mendekati kamu. Awang nggak mau kamu sedih ketika kehilangan dia. Tapi meski begitu dia masih sempat memberi sesuatu untukmu,“ Irsan berdiri dan melangkah keluar. Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa sebuah lukisan besar. “Ini hasil karya Awang sendiri,” katanya sambil menyerahkan lukisan itu padaku.
Aku menerimanya dengan tangan gemetar. Allah Maha Besar, Awang berhasil membuat duplikat wajahku serupa dengan aslinya. Padahal cuma sekali dia melihat wajahku. Dan yang membuat aku merasa surprais, baju yang aku kenakan dalam lukisan itu adalah baju yang kupakai saat berjumpa dengan Awang. Aku enggak menyangka Awang mampu mengingat sampai ke hal itu.
Ketika Irsan pamit, Seno membisikkan sesuatu kepadaku.
“Aku ingin bicara denganmu malam ini.”
“Di mana?”
“Di sini juga boleh.”
Setelah Irsan lenyap dari pandangan mobil Seno, kami duduk di teras, di ruang tamu teman-temanku mulai rame. Maklum, malam Minggu mereka memang sibuk dengan rencana masing-masing.
“Kamu jangan menduga aku enggak serius dengan perasaanku. Mulanya aku memang mendekatmu karena permintaan Awang. Tapi setelah kenal kamu lebih dekat, aku baru sadar bahwa aku sungguh-sungguh mencintaimu.”
Aku enggak tahu harus bilang apa. Di satu pihak, aku bahagia karena impianku selama dua tahun juga dimiliki Awang. Jadi, aku enggak bertepuk sebelah tangan seperti yang dikatakan Dena. Tapi di pihak lain,aku sedih harus kehilangan Awang sebelum sempat kumiliki. Tapi bagaimana pun juga aku yakin semua ada hikmahnya.[]
Cerpen di atas pernah dimuat di majalah Anita Cemerlang edisi 14 Juli 1996.
Saya kira setelah dua tahun terpisah akan bersatu, ternyata....belum berjodoh, hiks. Cerpen yang menarik bang!!
Hehe,,Cerpen yang sangat bagus yang berawal dari sebuah angkot jenis Labi-labi mungkin,😊..
Kalau saja cowoknya adalah anak dukun pengganda uang,saya juga mau kok jadi Vinda biar gak harus numpang angkot lagi sama Awang...haha.
Cerpen yang sangat bagus bang @ayijufridar,,saya tertarik naik angkot biar ketemu Aw(b)ang..😀😀😀😀
Haha, saya aja sebagai awang
Beda kalau tulisan seorang sastrawan. Tulisannya bikin hati pembaca berdebar-bebat. Cerpen lama, tapi tetap asyik untuk dibaca.
Terima kasih Mas @ayijufridar atas nutrisi mata dan batin pagi ini. Salam pena kreatif
Cerpen yang cukup bagus.
Saya ambil hikmahnya, semua harapan itu sebenarnya ada wujud meski tidak sesempurna yang kita bayangkan.
Salam @ayiyufridar62 ,membaca cerita diatas mengingatkan pada kisah nyata dimasalalu yg indah..tidak seperti saat ini, kisah bersama menumpangi angkutan umum saat kesekolah.ada cerita indah disana..hh.saya rasanya ingin kembali kemasa itu..trims tlah berbagi cerita yg mungkin fiksi bagi sebagian orang ..tapi nyata bagi saya.thanks
Sebagian kisah di atas adalah nyata saya alami dalam sebuah angkot dari Lhokseumawe ke Buket Rata, Kampus Politeknik Lhokseumawe. Percakapan di angkot memang seperti itu adanya.
Naik angkot dulu memang menjadi keseharian kita sebagai mahasiswa. Banyak pengalaman menarik yang kita alami dalam angkot, kecerdasan sosial bisa terasa selama di angkot.
Terima kasih atas komentarnya @rahmadzaini.
Cerpennya bagus bang.
Luar biasa bang @ayijufrida alunan yang syahdu saya tunggu cerpen selanjutnya bang salam kompak dari steemian ksi barsela. Sukses buat bang @ayijufrida
Cerpen yang menarik. inpsirasi dalam membaca
Awang oh Awang, mengapa engkau menjadi awang-awang bagi seorang Vinda.
Klu aku tau kisahnya bakal seperti ini, aku akan memperjuangkanmu Vinda. Klu gk dapat Vinda, Dena pun bolehlah..😁
Beretuuuus bg @ayijufridar
Sep panyang, enteuk malam payah baca, biar meuphom makna dan pelajaran di baliknya. Thanks bro