Makam Bunga Bangkai | Sebuah Kisah |

in #fiction6 years ago (edited)



Makam Bunga Bangkai

Cerpen @ayijufridar

BUNGA itu berwarna ungu berbentuk serupa roti tawar matang yang baru keluar dari pemanggangan. Batang penyangganya sebesar lengan bocah berwarna kuning bergerigi dan agak tertutup dengan piringan di bawahnya yang berwarna ungu. Ujung-ujung piringan juga berwarna ungu, tetapi makin ke dalam, warna putihnya semakin dominan. Tampaknya ia belum mekar dengan sempurna. Kubus berbentuk roti di bagian atas harus menunggu waktu untuk terbuka dan menguarkan aroma yang kian membusuk, sebusuk bangkai.

Seorang warga menemukan bunga itu secara tidak sengaja ketika mencari kambingnya yang hilang. Dia curiga ketika mencium aroma yang khas, serupa aroma bangkai tetapi meyakini bukan dari bangkai manusia. Ia pernah melihat berita di televisi mengenai bunga bangkai tetapi tidak pernah tumbuh di kampung kami sehingga penemuan itu menjadi sesuatu yang sangat berharga dan membanggakan. Ketika orang sekampung datang melihat, ia dengan bangga menceritakan penemuan tersebut seolah itulah penemuan paling besar dalam hidupnya. Ia dirubung dan ditanyai seperti wartawan memperlakukan orang terkenal. Entah tahu dari mana, kemudian wartawan datang. Mula-mula hanya satu orang yang menanyakan penemuan bunga bangkai tersebut, lalu datang beberapa yang lain dengan menenteng kamera. Kebanggaan yang dirasakan laki-laki itu seolah mencapai puncaknya ketika ia mengulang kembali kisah penemuan bunga bangkai di depan beberapa kamera sekaligus.

Tumbuhnya bunga bangkai di kampung kami terbilang unik karena tidak pernah terjadi sebelumnya. Kampung kami memang bukan daerah yang kering, tetapi juga tidak bisa dikatakan sebagai daerah lembab yang biasa ditumbuhi bunga bangkai. Keunikan itu menjadi bertambah karena tumbuh di atas makam. Bisa dikatakan, bunga bangkai tumbuh di atas bangkai manusia. Namun, tak ada seorang pun yang berani berkata demikian karena makam yang milik Markam, seorang tokoh yang sangat disegani bahkan setelah kematiannya. Seorang pemberani yang dinilai telah berjasa karena berkat perlawanannya terhadap pemerintah pusat, rakyat mendapatkan berbagai kemudahan yang tidak pernah terbayangkan selama ini. Dia dipanggil Ayah Markam sebagai bentuk penghormatan karena telah berani mengangkat senjata memperjuangkan kehidupan rakyat yang ditindas selama 34 tahun. Dia hidup sebagai pejuang, tetapi mati dikenal sebagai ulama. Ketika kawan-kawan seperjuangan memilih menjadi pejabat baik di pemerintahan maupun di parlemen, atau menjadi pengusaha untuk menggarap proyek-proyek pemerintah, Ayah Markam memilih hidup tetap bersama rakyat. Ia mendalami ilmu agama, memperdalam Alquran, dan kemudian menjalani hidup sebagaimana perintah Alquran tanpa pernah menjadi pendakwah yang mengajak orang kepada kebaikan. Dakwahnya, kata orang, adalah perbuatannya.

Ayah Markam hidup sederhana di rumah kecilnya meski teman-teman seperjuangan siap membangun rumah mewah untuk membalas jasa-jasanya. Di rumahnya itu dia menanam berbagai jenis sayuran yang kemudian ia jual ke pasar dengan sepeda tuanya. Setiap pagi dia membawa sayuran yang disimpan di sebuah keranjang rotan di belakang sepedanya. Perjalanan dari rumahnya ke pasar hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam, sehingga ia sudah berada di rumah kembali untuk salat dhuha. Dia tidak pernah berlama-lama di pasar dengan alasan itulah tempat yang paling dibenci Allah. Namun, undangan minum kopi dari beberapa orang yang mengenalnya dan menghormatinya, jarang ditampik kecuali ketika sedang mendesak untuk pulang. Karena sudah tahu kebiasaannya, jarang ada mengajaknya minum kopi kalau ia sudah berada di atas sepeda. Orang harus menunggu dia dalam perjalanan dari pasar ke tempat penyimpanan sepeda untuk bisa mengajaknya minum kopi.

Beberapa pejabat yang mantan gerilyawan pernah datang ke gubuknya, mereka bahkan pernah menjadi anak buahnya ketika mengangkat senjata dulu dan kini sudah menjadi bupati atau anggota dewan. Dia melayani dengan ramah, tidak memandang mereka dengan hina meski para sahabatnya itu sudah terlalu mencintai kekuasaan dan harta. Ketika ditawari uang atau bantuan dalam bentuk lain, ia selalu menolak. “Aku hanya hidup sendiri, mati pun nanti sendiri. Tak ada apa pun yang perlu kuwariskan kepada siapapun. Rumah dan tanah titipan Allah ini pun sudah cukup membuatku repot mengurusnya. Janganlah kalian menambah bebanku. Kalau ingin membantuku, doakanlah aku. Penuhilah janji-janji kalian kepada rakyat.”

Kalau sudah sampai di sana pembicaraannya, teman-teman Ayah Markam langsung terdiam. Tidak berani lagi memperpanjang perbincangan. Diamnya mereka tidak pernah dimanfaatkan Ayah Markam untuk memberikan ceramah sebagaimana ustad lainnya. Padahal, jangankan diceramahi, kalaupun dia sampai marah kepada para pejabat pelupa janji sendiri itu, mereka akan tetap diam saja.

Pernah suatu kali, ketika para pejabat itu merayakan ulang tahun organisasi mereka yang kini menjadi partai politik, Ayah Markam diundang untuk memberikan semacam tsausiyah politik untuk mengembalikan semangat berpolitik mereka seperti masa-masa di hutan dulu yang penuh gelora di tengah berbagai keterbatasan. Dia memenuhi undangan dengan sepedanya sehingga itu menjadi semacam pesan yang tidak menyenangkan bagi semua. Apalagi, wartawan menyaksikan kedatangannya dan seperti menemukan momen yang menarik untuk merekam pemandangan itu. Sepeda butut di tengah mobil-mobil mewah mengkilap di pelataran parkir adalah pemandangan yang sangat bertolakbelakang. Sesuatu yang ganjil, katanya sangat menarik bagi pemburu warta.

Sebelum acara dimulai, Ayah Markam sudah menemui ketua panitia yang tidak lain bekas anak buahnya ketika mengangkat senjata dulu. Dia mengatakan tidak ingin memberikan nasihat apapun sebab semua nasihat terbaik sudah mereka dengar setiap hari Jumat. Mereka tidak pernah lupa dengan nasihat itu, mereka mengingatnya dengan baik. Mereka bisa membedakan hal-hal baik dan hal-hal buruk, tetapi mereka tidak mau menolak hal-hal buruk ketika berhadapan dengan kepentingan mereka. “Ini seperti menimbun gunung. Tidak perlu mengulang nasihat sama karena akan membuat marah orang yang mendengarkan. Nasihat memang harus diulang sampai tiga kali agar melekat kuat di benak dan mengalir di dalam darah, tapi nasihat yang diulang berkali-kali akan membuat bosan orang yang mendengarkan, apalagi orang yang mendengarkan itu dalam bekerja lebih banyak menggunakan satu mulut daripada dua telinganya. “Jadi, saya hadir di sini sebagai tamu karena telah diundang, bukan sebagai pemberi nasihat.”

Panitia bersyukur karena Ayah Markam mengatakan semua itu kepada mereka dan bukannya di depan semua hadirin yang juga bisa didengarkan wartawan dan kemudian melaporkan dalam berita. Posisi Ayah Markam kemudian digantikan pimpinan partai dan lelaki itu hanya mendengarkan saja apa yang mereka sampaikan, baik dari atas mimbar maupun dalam percakapan bisik-bisik dengan orang di sebelah kiri dan kanan. Ayah Markam tidak mengatakan yang baik dan yang buruk, sebab ia yakin semua orang itu sudah mengetahuinya. Hanya saja, mereka baru sebatas tahu yang baik dan yang buruk tetapi belum mau mengikuti dan menghindarinya. Tapi Ayah Markam meyakini mereka akan menerima yang baik dan menolak baru buruk suatu saat nanti. Mungkin ketika sebuah kasus besar terjadi akibat perbuatan-perbuatan mereka. Mungkin ketika mereka sudah berurusan dengan hukum, atau mungkin juga ketika mulut mereka tersumbat dengan tanah, meski pada saat itu sudah sangat terlambat untuk bertaubat.

Dia meninggal dalam usia 63 tahun seperti yang dikehendakinya. Bila orang lain selalu berdoa ingin panjang umur, dia malah ingin meninggal dalam usia sama seperti Nabi Muhammad. Katanya, semakin panjang usia, semakin besar kemungkinan berbuat dosa kalau tidak bisa menggunakan umur tersebut untuk beramal. Tidak ada penyakit parah yang diderita Ayah Markam. Dia hanya demam selama tiga hari dan mengembuskan napas terakhir pada hari keempat di gubuknya.




TUMBUHNYA bunga bangkai di atas makam mengingatkan orang kembali kepada kehidupan Ayah Markam. Ada yang mengaitkan bunga bangkai itu dengan dosa-dosa yang tidak diketahui banyak orang, apalagi setelah diteliti ternyata ada sebuah kelopak menyerupai mata di antara kubus bunga bangkai tersebut. Orang langsung menyebutnya mata Dajjal. “Tidak mungkin tanda seburuk ini bisa ada di makam orang baik,” bisik orang-orang.

“Iya, bahkan tanpa mata Dajjal itu pun, bunga bangkai di makam sudah menjadi pertanda buruk.”

Orang-orang sepakat secara diam-diam bahwa bunga bangkai bermata Dajjal yang tumbuh di makam Ayah Markam merupakan sebuah pertanda buruk mengenai kehidupan lelaki itu di masa silam. Ada yang menduga dia sudah membunuh banyak orang yang tidak bersalah, sehingga di akhir kehidupannya memilih hidup menyendiri, jauh dari kemewahan yang dirasakan teman-temannya. “Dia berbuat kesalahan kepada manusia, tetapi meminta maaf kepada Tuhan. Dosa manusia urusannya dengan manusia,” tutur orang kampung.

Ada juga yang mengatakan dia pernah merampok bank ketika menjadi gerilyawan. Dalam pandangan Ayah Markam, uang bank halal dirampok dalam peperangan. Dia juga dituding pernah memeras orang, membakar puluhan sekolah agar bisa memeras kontraktor ketika sekolah tersebut dibangun kembali. Dia pernah menebang pepohonan di pinggir jalan agar truk reo tentara tidak bisa melintas, tetapi kenyataannya justru rakyat yang paling sengsara karena tidak bisa mencari nafkah.

Aku yang mendengar kisah itu ketika pulang kampung selama liburan semester, menjadi tertarik untuk menyaksikan bunga bangkai di makam. Ayah Markam adalah sosok yang menarik buatku kendati kami tidak terlalu akrab karena aku hanya berada di kampung ketika liburan semester atau liburan hari-hari besar. Kisah tentang hidupnya sudah sering aku dengar dari berbagai mulut baik dengan nada memuji maupun menghujat. Dulu, ketika dia masih mengangkat senjata, aku pernah bertemu dengannya di kampung secara kebetulan. Katanya, aku juga sedang berjuang meski tidak mengangkat senjata. “Di zaman Rasulullah, pemuda yang berjuang dengan menuntut ilmu, layak mendapatkan bagian dari zakat. Kalau kita sudah merdeka nanti, orang-orang seperti kamulah yang jadi pemimpin.”

Kami tidak sempat berbincang panjang lebar karena ia harus bersembunyi dari incaran tentara. Dia muncul dengan cara tak terduga, lalu menghilang juga dengan cara tak terduga.




DENGAN ditemani beberapa pemuda tanggung, aku menuju ke makam kampung yang terletak di dekat areal persawahan yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Namun, bunga bangkai itu sudah tidak ada lagi di sana.

“Diambil orang Dinas Perkebunan kemarin sore. Katanya untuk pameran dan penelitian,” kata kepala dusun.

Aku hanya menemukan lingkaran tanah segar di atas makam bekas bongkahan akar bunga bangkai. Makam tersebut terlihat bersih, tidak ada ilalang yang tumbuh di atas maupun di sekelilingnya. Pohon jarak di bagian kepala dan kaki makam terlihat sudah terpangkas rapi. Menurut anak-anak, selama ini makam Markam tidak terawat sama sekali. Mungkin orang-orang dari Dinas Perkebunan yang membersihkannya.

Kami pulang setelah aku berdoa sebisaku di depan makam Ayah Markam. Di sepanjang perjalanan menuju rumah, anak-anak masih sibuk menceritakan dampak dari tumbuhnya bunga bangkai bermata Dajjal itu. Bukan mitos yang melingkupinya yang menjadi topik pembicaraan mereka, melainkan mereka bisa masuk televisi setelah wartawan memberitakan kejadian tersebut. Masalah kehidupan Ayah Markam sama sekali tidak disinggung dalam pemberitaan. Demikian kata mereka.

Suatu pagi, ketika masa liburanku sudah habis dan sedang bersiap kembali ke kota, aku dikejutkan dengan teriakan anak-anak. Mereka kembali mengajakku ke makam Ayah Markam. Katanya, bunga bangkai bermata Dajjal tumbuh di atas semua makam, kecuali makam Ayah Markam. Aku melemparkan ransel di lantai dan melangkah keluar. Terpaksa aku menunda keberangkatan untuk membuktikan kabar itu. Dan ketika sampai di makam, aku menyaksikan bunga bangkai berwarna ungu tumbuh di atas tanah kuburan. Warna dan bentuknya sama persis seperti bunga bangkai yang tumbuh di atas makam Ayah Markam yang kusaksikan di telepon genggam anak-anak kampung. Lengkap dengan lingkaran putih serta sebuah noktah hitam di tengahnya yang menyerupai bola mata.

Satu bunga bangkai saja tidak pernah kusaksikan secara langsung, apalagi puluhan bunga bangkai yang tumbuh di atas makam. Aku langsung mengabadikan pemandangan itu dengan telepon genggam. Setiap bunga kurekam sebaik mungkin dengan jarak dekat maupun jarak jauh yang menyorot piringan berwarna ungu yang terlihat sangat indah. Dari tempatku berdiri, areal pemakaman itu terlihat seperti taman bunga bangkai bermata Dajjal.

Lhok Seumawe, Pebruari 2012

Source








Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Jangan sampai ngerilaaah... @lontuanisme.

Sangat dramatis tuan.

Keren... Cara penyampaiannya lugas dan mengalir...

Terima kasih @re-kun. Salam literasi.


Postingan ini telah dibagikan pada kanal #Bahasa-Indonesia di Curation Collective Discord community, sebuah komunitas untuk kurator, dan akan di-upvote dan di-resteem oleh akun komunitas @C-Squared setelah direview secara manual.
This post was shared in the #Bahasa-Indonesia channel in the Curation Collective Discord community for curators, and upvoted and resteemed by the @c-squared community account after manual review.

Saya baru tahu itu bunga bangkai, pernah lihat tapi tidak mengubrisnya.

Posted using Partiko Android

Gurih, Bang...
Ledakan di ujungnya kena kali.

Cerita yang penuh dengan pesan moral

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63525.38
ETH 2645.15
USDT 1.00
SBD 2.76