Asa yang Tertunda |

in #fiction6 years ago (edited)


Source


SUARA ketukan mesin tik dari kamar sebelah menyadarkanku dari kelelapan tidur siang. Shit! Anak tak tahu diri itu kali ini benar-benar telah merampok kebebasanku. Bergegas aku menuju ke kamar sebelah dan mendobrak pintu yang memang tidak dikunci.

“Heh, tak bisakah kamu mengetuk pintu lebih dulu?”

“Apa itu perlu untuk masuk ke kamar pengacau?” balasku sengit.

“Siapa pengacau?”

“Yah, siapa lagi. Kamu telah mengganggu tidur siangku, tahu?”

Sam tersenyum. Fuih, mending kalo manis!

“Ini sudah jam empat, Non,” katanya sambil bersiap melanjutkan pekerjaannya.

“Tapi aku baru tidur setenga jam lalu.”

“Setengah jam sudah cukup buat kamu yang tidak mempunyai tugas apa-apa.”

Aku mendengus kesal. Sejak dia berada di rumah ini seminggu lalu, dia telah merusak ketenteramanku. Kini benar-benar kusesali mengapa Mama mengizinkan anak tak tahu diri itu menetap di sini.

“Sudah , jangan memelototi aku seperti itu. Sebaiknya kamu segera keluar agar aku bisa melanjutkan pekerjaannku.”

“Kau tak berhak mengusirku, ini rumahku,” tukasku keras.

“Tapi ini kamarku. Dan aku nggak bisa berkonsentrasi penuh kalau ditongkrongin dara manis seperti kamu.”

“Gombal!”

“Hehehe…. Kamu memang manis, kok.”

Aku berbalik dengan rasa kesal yang membuncah. Sam selalu begitu, selalu menanggapi kemarahanku dengan ketenangannya yang terkadang memuakkan bagiku.

“Ta, kalau kamu ke dapur, tolong buatkan aku teh manis.”

“Aku bukan babumu!” sahutku sambil membanting pintu kamar Sam dengan keras.



Source


“Papa Sam sahabat baik mendiang papamu. Dia banyak membantu usaha Mama sehingga berhasil seperti sekarang. Jadi mama harap kamu bisa berlaku baik selama Sam berada di sini.”

Itulah awal kehadiran Sam di rumah ini. Anak itu mendapat tugas praktek kerja di kotaku. Hari pertama kehadirannya saja dia sudah membuatku kesal dengan ucapannya.

“Oh, ini yang namanya Nirita, Tante. Sudah begini gedenya,” Sam menggeleng-gelengkan kepala sambil menatapku. “Masih suka ngompol seperti dulu?”

Aku menatapnya tajam sebagai isyarat kurang senang terhadap ucapannya barusan. Bola mataku sengaja kulebarkan.

“Oh ya, Nirita, mungkin kamu sudah lupa kalau Sam pernah ke sini bersama Papa dan mamanya dulu,” kata Mama menjelaskan. Tapi aku sudah telanjur kesal pada cowok yang bernama Sam itu. Ucapannya Mama hanya kutanggapi seadanya saja. Sekadar memberi kesan baik. Setelah itu aku langsung menuju kamarku dan pergi tidur. Tapi belum apa-apa Sam telah menggangguku dengan keluhannya.

“Ta, kunci jendela kamarku ngadat, mungkin karena sudah terlalu lama enggak dibuka. Bisakah kamu membantuku membukanya sementara aku mendorong dari luar?”

Aku mengeluh kesal. Tapi karena mengingat anjuran Mama tadi, aku terpaksa melakukannya. Meskipun sebenarnya masih ada Mang Simin yang lebih pantas melakukan ‘pekerjaan’ itu.

Huh, anak itu memang sangat menyebalkan.



Source


Sam buat ulah lagi. Kali ini bukan aku saja yang mendapat kurugian akibat kekonyolannya. Tapi juga Ineke, teman sekelasku.

Sore tadi Ineke ke rumah untuk suatu keperluan. Sialnya, aku tidak sedang berada di rumah sehingga Ineke terpaksa ditemani Sam yang sore tadi memang tidak ada kegiatan. Tapi dasar anak berandal, Sam sama sekali tidak menjaga perasaan Ineke yang halus. Entah apa yang dikatakannya pada Ineka sehingga gadis itu langsung pergi tanpa menanti kepulanganku.

Aku baru saja menepikan mobilku ketika kulihat Ineke memanggil taksi. Aku berteriak nyaring memanggil Ineke, tetapi taksi itu telanjur membawanya pergi. Dan setelah menelepon Ineke, barulah aku mengerti apa yang terjadi.

Dengan memendam amarah yang siap meledak aku menemui Sam dikamarnya.

“Hey, Kunyuk! Kau apakan si Ineke?” tanyaku kasar. Kupikir tak ada gunanya berlembut-lembut menghadapi anak itu.

“Nggak apa-apa, memangnya Ineke bilang aku apakan?”

“Kamu gila,” cetusku kesal. “Ucapanmu telah membuat Ineke tersinggung, tahu!”

“Sori, tadinya aku mengira dia gadis keras seperti kamu. Tak tahunya…”

“Kamu jangan menyamankan Ineke seperti cewek lain!”

“Sori deh, Ta, sori….”

“Huh! Sori, sori. Kamu kira semudah itu aku memaafkanmu?!” pekikku keras.

“Heh, kamu marah beneran rupanya.”

Sam menaikkan bulu keningnya. “Tapi aku ‘kan sudah minta maaf. Sudah mengakui kesalahanku dengan jujur. Perihal dimaafkan atau tidak, itu urusanmu dengan Tuhan,“ ucapnya tenang.

“Kamu memang gila!” makiku sambil meninggalkan kamar Sam. Kurasakan kini kebencianku pada cowok itu semakin menggunung.



Source


Sam sebenarnya anak baik. Hanya terkadang dia suka iseng sehingga memberi kesan bengal. Kamu tahu ‘kan dia sekolah kejuruan yang cowok semua. Cobalah mengerti akan sikap Sam itu.”

“Sudah, Ma, sudah. Tapi memang kelakuan Sam sendiri yang keterlaluan. Nirita sekarang jadi malu bila bertemu dengan Ineke,” aduku pada Mama. Aku memang memilih jalan ini untuk mengatasi sikap-sikap Sam. Siapa tahu Mama bersedia mengigatkan anak itu. Tetapi yang kudapat sungguh membuatku kecewa. Mama sama sekiali tidak mengambil tindakan apa–apa terhadap Sam. Beliau malah meminta pengertianku. Bah! Semakin besar kepala anak itu nanti.

Kecewa atas tanggapan Mama terhadap persoalanku, aku melakukan aksi protes dengan menolak makan malam bersama seperti biasa.

“Nirita, ayo dong buka pintunya, Sayang. Kamu belum makan malam, ‘kan?” bujuk Mama sambil mengetuk pintu. Aku diam tak bergeming.

“Nirita, kamu dengar tidak kata – kata Mama? Ayo buka pintunya, Mama ingin bicara denganmu. Penting!”

Aku masih tak bereaksi. Telingaku sudah telanjur kutulikan. Beberapa menit kemudian aku mendengar langkah–langkah Mama menjauh. Barangkali beliau sudah putus asa membujukku.

Kukunyah cemilan sebagai penganti makan malam. Mulai malam ini aku memutuskan tidak akan pernah makan malam di ruang makan bersama Sam. Huh, bisa – bisa nafsu makanku lenyap melihat muka anak itu.

Terdengar ketukan dipintu kamarku.

“Siapa?”

“Buka pintunya, Nirita, ini Mama bawakan makan malammu.”

Aku melompat dari tempat tidur. Kuayun langkah menuju pintu kamar.

“Kamu harus makan dulu, nanti maag-mu kambuh,” kata Mama seraya menyodorkan sepiring nasi yang dengan lauk di hadapanku. “Tapi Nirita belum lapar, Ma.”

“Jangan menolak. Ingat kondisi tubuhmu. Kalau kamu sakit untuk sementara Mama nngak bisa jagain, lho,” kata Mama.” Mulai besok Mama ada urusan penting di luar Kota.”

Aku menyuapkan nasi tanpa selera, sekadar menghargai usaha Mama yang telah bersedia mengantarkan makan malam ke kamarku.

“Kapan Mama kembali?”

“Mungkin seminggu kemudian. Atau mungkin juga lebih, tergantung keadaan.”

Aku mengeluh dalam hati. Seminggu tanpa Mama di rumah, bisa – bisa kelakuan Sam semakin merajalela.

“Kenapa? Nirita merasa kesepian nggak ada Mama?”

Aku menggeleng. “Nirita khawatir sikap Sam semakin menjadi–jadi,” jelasku terus terang.

“Sam itu anak baik, Nirita hanya….”

“Hanya terkadang dia suka iseng, hingga memberi kesan bengal,” kataku memotong ucapan Mama. Mama tersenyum.

“Kayaknya Nirita kurang senang terhadap Sam?”

“Memang. Sikapnya itu sangat menjengkelka, Ma. Sejak dia di sini, Nirita nggak pernah bisa tidur siang dengan tenang. Ada saja yang dilakukan Sam. Kalau nggak mengetik. Sam menyetel musik dengan keras. Dan Sam suka memerintah ini itu pada Nirita. Minta dibuatin teh manislah, nyiramin bungalah, ngelap keramiklah….”

Mama tertawa. “Tapi itu ‘kan baik. Seharusnya tanpa disuruh pun Nirita harus melakukannya.”

“Nirita nggak suka diatur–atur, Ma. Terlebih oleh Sam yang belum Nirita kenal baik,” aku mengembalikan piring itu pada Mama. Padahal belum ada separuh dari isi piring tersebut yang berpindah ke perutku.

“Dihabiskan Nirita.”

“Aku menggeleng, “sudah kenyang, Ma.”

Mama berbalik dengan membawa sisa makan malamku. Di muka pintu langkah beliau terhenti. “Mama akan bicara dengan Sam tentang keluhanmu. Tapi Mama harap Nirita bisa akur dengan dia Selama Mama nggak ada di rumah. Oke?” ujar Mama sebelum berlalu.



Source


Ini hari ketiga Mama tidak berada di rumah. Dua hari belakangan hubunganku dengan Sam memang bisa akur. Sam lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengetik di dalam kamar. Tapi keakuran itu ternyata tidak berusia lama. Sam memulainya dengan satu kesalahan.

“Mau ke mana kamu?” tegur Sam ketika melihatku melintasi ruang tengah.

“Pergi,” sahutku pendek,

“Pergi ke mana ?”

“Pesta ultah temen. Kenapa? Nggak boleh?” tanyaku sinis.

“Boleh-boleh aja. Tapi …. “ Sam menurunkan pandangannya, “sebaiknya kamu mengganti rok pendek itu dengan pakaian yang lebih sopan,” katanya kemudian.

“Kalau aku tidak mau?”

“Itu tandanya kamu tidak mengerti tata kesopanan,” sahut Sam enteng. Aku melongo.

“Kamu nggak punya hak melarangku!”

“Aku cuma member saran. Dituruti atau tidak terserah kamu.”

Aku menatap sam tajam “Kamu kok usil amat sih sama urusanku? Mama aja nggak pernah ngelarangku macam-macam. Dasar!” cetusku sambil melangkah keluar.

“Jangan pulang terlalu malam!” teriak Sam dari dalam.

“Suka-suka!” balasku nggak mau kalah.

“Eit, tunggu dulu,” panggil Sam tiba-tiba. “Aku akan mengantarmu,” tawarnya.

“Nggak perlu, sebentar lagi aku akan dijemput,” sahutku tak acuh.

“Siapa yang menjemputmu?”

“Nggak perlu tahu. Yang jelas dia seorang cowok, tapi nggak cerewet dan usil seperti kamu,” sahutku menyindir. Kulihat Sam menatapku dengan sorot yang aneh. Barangkali dia merasa tersinggung dengan ucapanku tadi.



Source


Entah kenapa, malam ini aku seperti ingin memancing reaksi Sam. Setelah pesta usai aku minta izin menginap di rumah Agnes, teman sekelasku.

“Boleh, tapi kamu harus menelepon mamamu dulu,”jawab Agnes.

“Mama nggak ada di rumah, Nes.”

“Ya, tapi kamu tetap harus memberi tahu orang di rumah agar nggak kelamaan menunggu.”

Menunggu aku pulang? Aku jadi ragu apakah Sam bersedia melakukan itu. Aku malah berpikir cowok itu sekarang sedang asyik menikmati malam Minggu bersama teman-temannya.

“Nggak ada yang perlu diberitahu, Nes. Percayalah, Bik Mun pasti bisa menduga kalau aku menginap di rumahmu,” sahutku kemudian.

Agnes mengangkat bahu. “Okelah kalau begitu. Tapi bila terjadi apa-apa aku nggak mau disalahin, lho,” ujar Agnes seraya menjalankan mobilnya.

Besok paginya aku pulang diantarkan Agnes. Begitu memasuki ruang depan aku melihat Sam tidur diatas sofa. Anak itu pasti kecapean akibat begadang semalaman.

“Kau sudah pulang rupanya,” tegur Sam sambil menggeliat. ”Semalaman tidur di mana?”

“Di rumah teman,” jawabku jujur.

“Kenapa nggak telepon dulu?”

“Telepon pada siapa? Pada kamu? Huh, kamu pikir aku ini apamu?” tanyaku sengit.

“Keras kepala,” Sam menggeram.” Kamu tidak tahu kalau aku menungguimu di sini sampai ketiduran.”

“Salah sendiri, aku ‘kan nggak pernahminta kamu tunggui,” sergahku merasa menang. Kupikir, inilah saatnya aku membalas kejengkelanku pada Sam selama ini. Anak ini harus tahu kedudukannya yang sebenarnya di rumah ini.

Sam menghampiriku yang berdiri di dekat pintu kamar. Sesaat kemudian kulihat dia menarik napas dalam.

“Dengar Nirita, kamu memang nggak pernah minta ditunggui, tapi sebelum berangkat mamamu sudah berpesan agar aku menjagaimu selama beliau nggak ada di rumah. Aku yang akan bertanggung jawab seandainya terjadi apa-apa,” kata Sam dengan tegas.

“O, jadi Mama telah mengangkat kamu menjadi satpamku? Sori, aku nggak tahu,” ujarku sambil tertawa mengejek.

“Kamu memang nggak bisa diatur!”

“Dan aku nggak perlu kamu atur!” balasku sengit sambil meleset ke dalam kamar.



Source


Aku menatap titik-titik embun yang masih melekat di kaca jendela kamarku. Pemandangannya seperti ini selalu kujumpai setiap selesai hujan menguyur bumi. Dan entah kenapa aku sangat menyukainya, meskipun dia menciptakan keburaman dan menghalangi pandanganku ke taman belakang yang dipenuhi anggrek.

Sulit mengakui bahwa aku merindukan kembali suasana riuh pertengkaranku dengan Sam. Aku seperti ingin mendengar kembali perintahnya, peraturannya dan larangannya yang dulu begitu kubenci. Tapi mungkinkah itu?

Sam telah kembali ke kotanya seminggu lalu. Mulanya berita kepulangan Sam kusambut dengan gembira karena aku merasa terbebas dari kungkungannya. Tapi yang kurasakan kini justru rasa kehilangannya yang tidak mampu kujabarkan.

Seminggu lalu, ketika sam pamit pada Mama, juga padaku, dia mengatakan akan kembali lagi ke sini untuk menyelesaikan laporan praktek kerjanya. Inilah satu-satunya harapanku untuk bertemu kembali dengan Sam. Dan pada pertemuan nanti, aku akan menyambut Sam sebagai seseorang yang istimewa.[]

Cerpen di atas penah dimuat di majalah Anita Cemerlang nomor 453 tanggal 30 September – 10 Oktober 1993.



Source


Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Memang tulisannya tak diragukan lagi.

cerita yag bagus

Sesuatu yg kerap usil, tetap membuahkan rindu disaat senyap. Mantap tulisan nya🙏

Tulisannya mengalir, enak sekali dibaca. Benar-benar karya sang novelis.

Assalamualaikum bg Ayi.. saya barusan promosi buku Tgk Mahdi Idris Kutukan Rencong di blog saya @nasrol. Klok ada kesempatan dikunjungi bg.. he he e

Suasana cerpennya khas 1990-an ya. Cerpen ini pasti ditulis ketika masih "mondok" di Buket Rata. Jadi ingat masa-masa itu.

Dan banyak puisi tercipta di Buketrata Bro @musismail....

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.14
JST 0.029
BTC 67958.74
ETH 3273.25
USDT 1.00
SBD 2.65