Sarkawi: A Fiction on Poverty

in #fiction6 years ago


sumber

Bunyi gemerincing kerap terdengar setiap kali mata cangkulnya menghantam tanah ladang. Sarkawi tak peduli. Lelaki ringkih ini terus mencangkuli ladang berukuran kecil peninggalan ayahnya. Cahaya matahari yang luar biasa panasnya begitu leluasa menjilat tubuhnya; hempasan debu begitu gembira bermain-main di depan matanya yang makin pedih. Keringat dan airmata bercampur merobek bola matanya. Sekiranya ,....Pikirannya terbang ke istrinya yang sedang merintih kesakitan di ranjang sehingga tangan kekarnya terlepas begitu saja dari tungkai pacul. Melihat cahaya matahari kian memutih dia memutuskan pulang meninggalkan sisa-sisa bongkahan yang belum merata.
Sesampainya di rumah, dia melihat istrinya sedang batuk-batuk tergulai lemas di atas lantai tanah. Dia buru-buru menaruh cangkul dan mengangkat tubuh kurus istrinya itu kembali ke ranjang.

“Agam mana, Ma? Tanya Sarkawi lembut.

Mata istrinya menguning akibat komplikasi penyakit yang tak kunjung sembuh. Sambil batuk-batuk istrinya menjawab,

“ Sejak pagi tidak nampak batang hidungnya.”

Agam anak semata wayangnya kerap menghabiskan waktu di luar. Setelah putus sekolah remaja tanggung ini sering menghabiskan waktu dengan orang-orang di atas usianya.

“Anak celaka!” Rutuk Sarkawi.

Sarmiah perlahan merebahkan tubuh lemasnya. Kedua bola matanya membesar macam mau keluar dari kelopak menatap lekat-lekat wajah legam Sarkawi. Pikiran istrinya bermain-main ke wajah suaminya itu. Tersenyum, tatkala merasakan kesetiaan Sarkawi. Meskipun di kampung Langa tak banyak yang mengalami nasib seperi Sarkawi tetapi setidaknya Lelaki Tua ini telah berjuang keras untuk memperbaiki hidupnya. Mulai jadi kuli bangunan hingga tukang panjat kelapa. Sarkawi beranjak ke dapur dekat ranjang. Perut terasa begitu kosong. Membuka tudung saji, yang tampak hanya panci kosong. Dia mendesah lalu keluar untuk memetik daun umbi tua. Sarmiah masih berbaring. Mulutnya komat-kamit seperti maut sedang mengitari ubun-ubunnya.

Setelah direbus. Daun umbi yang sudah berwarna kecoklatan dicampur dengan nasi sisa tadi pagi. Dengan gerak gemulai dia menyuap istrinya. Tak ada ruang makan di rumah Sarkawi. Kamar tidur ia jadikan tempat segala kegiatan. Mulai dari shalat hingga bermacam kegiatan rumahan lainnya. Dia keluar untuk mencari apa saja buat bekal nanti. Di dekat rumahnya terdapat sepetak tanah milik tetangga. Di kebun itu banyak terdapat sayur-sayuran dan buah-buahan. Tanpa diketahui pemiliknya dia masuk perlahan. Pagar kawat seakan bukan halangan. Dia memetik sayur bayam selanjutnya bunga pepaya. Untung tetangganya yang garang itu tidak ada di rumah atau barangkali nasibnya saja sedang beruntung.

Tetangganya yang sudah bosan ke tanah suci itu, pelitnya bukan main. Pernah sekali Sarkawi ditampar karena memungut sebuah pepaya busuk. Begitu menyakitkan manakala dia mengingat kejadian itu. Kali ini dia tidak peduli biarlah dia mati asal bininya bisa makan. Sarkawi bukan orang bodoh yang tidak tahu hukum. Apapun alasannya, mencuri tetap berdosa. “Persetan dengan dosa, banyak yang sudah jadi pencuri di negeri ini hingga aku jadi begini” gerutunya.

Dia berpikir bahwa Tuhan telah lalai dengan orang-orang kaya dan para pejabat juga ikut bosan dengan orang miskin sepertinya. Setelah menyimpan hasil curian itu, dia mendekat dan menyentuh tubuh Sarmiah. Lelaki tua ini tersentak. Tubuh dekil Sarmiah makin panas rupanya. Lantas, dia membopong tubuh kurus perempuan itu menuju ranjang tempat duduk besi berkarat selanjutnya diikat tubuh lunglai Sarmiah ke tubuhnya menggunakan selendang. Setelah memastikan ikatan sudah pas dia bersusah payah mengayuh sepeda. Jalan berlobang tidak lantas memperlambat putaran roda sepeda bututnya walaupun sesekali Sarmiah terpintal-pintal di belakang.

Orang-orang hanya melihat perjuangan Sarkawi yang begitu menyedihkan. Dia masih mengayuh. Setengah jam kemudian mereka sampai di Puskesmas. Ketika istrinya hendak dimasukkan ke ICU. Dia dicegat karena pihak Puskesmas meminta uang untuk biaya obat, infus serta uang administrasi. Lelaki Malang ini terkejut bukan main dan menundukkan kepala gundulnya. Seketika kedua lutut Sarkawi menyentuh tanah.

“Biarkan aku mencium tanah seberapa banyak yang kau minta,” katanya sedih.

Dengan lantang perawat cantik itu menjawab, “ seberapa kali pun kau cium tanah, istrimu tetap tidak bisa dirawat. Karena ciuman itu tidak menghasilkan uang!” Orang-orang di sekitar saling berpandangan. Dia bangun, mengendong istrinya lalu dia lakukan persis ketika dia membawa istrinya ke rumah sakit. Hatinya berdarah-darah manakala mengingat kata-kata perawat itu. Di tengah perjalanan, rantai sepeda bututnya putus sehingga terpaksa dia mendorong penuh hati-hati agar istrinya itu tidak terjatuh. Keringat kian mengucur dari pori-pori wajahnya yang melebam.

Setelah lelah menghantam, tubuh Sarmiah diletakkan kembali di atas ranjang bambu beralaskan tikar pandan lusuh. Lalu dia terduduk di pojok ranjang memperhatikan wajah istrinya yang pucat dan bibir yang mengering. Sarkawi sangat awam dengan penyakit yang sedang menyerang istrinya. Sudah dua tahun Sarmiah terbaring tak berdaya. Pernah sekali, dengan uang hasil panen jagung dia membawa istrinya ke Rumah Sakit Kabupaten, tetapi bukan sembuh melainkan penyakit istrinya itu bertambah parah. Uang hasil panen ludes buat membayar obat-obat mahal dan biaya perawatan rumah sakit yang terkesan membodohinya. Masih di pojok ranjang bambu dia memikirkan cara untuk mengobati Sarmiah yang sudah bersamanya selama dua puluh tahun.

“Tolong ambil segelas air, Yah,” Sarmiah berkata terbatuk-batuk.

Sarkawi bangun dan menuangkan air ke dalam gelas plastik lalu dia angkatnya tubuh Sarmiah. Perlahan, dia memberi minum istrinya itu. Sarmiah kembali terbatuk-batuk. Dia mengelus rambut putih istrinya seraya bernostalgia masa lalu. Bibirnya mengembang manakala mengingat ketika Sarmiah mengajaknya mencari belut di kali. Seekor hewan panjang menari-nari di air keruh. Sarmiah menyuruhnya untuk menangkap. Ketika ditangkap ternyata yang dapat bukan belut melainkan ular sawah. Sarmiah meloncat-loncat saat melihat binatang licin itu di tangan Sarkawi. Bukan dilepaskan, Sarkawi malah menakuti istrinya hingga Sarmiah tercebur. Kala itu, tubuh Sarmiah menggigil dan darahnya seketika turun ke kaki. Sarkawi melepaskan ular kecil itu lalu tertawa terbahak-bahak. Dia kembali melihat istrinya yang sedang berusaha tersenyum tapi tidak sanggup. Senyuman yang hendak dikeluarkan tertahan lalu tertidur.

Setelah shalat asar, Lelaki Malang ini pergi ke pasar untuk bekerja sebagai pengupas kulit bawang. Dia memberanikan diri meski tauke sudah memecatnya beberapa waktu lalu.

“Tolong tauke, istri saya sedang sekarat,” Lelaki Malang ini mengiba.

Tauke itu sepertinya tidak tertarik dengan kata-kata Sarkawi. Dia asik menghitung hasil jualan tadi pagi. Sarkawi kembali mengiba, tetapi tauke itu bergeming. Melihat Sarkawi memohon, tauke bermata sipit itu akhirnya berkata sembari mengangkat kacamata tebalnya.

“Kamu sudah kupecat. Orang yang sudah dipecat tak layak lagi bekerja disini.”

Tubuh Sarkawi yang kerempeng terasa ringan hingga ia terduduk begitu saja di lantai keramik, dia mengusap wajahnya lalu beranjak pulang dengan hati yang meluap-luap di bawah matahari yang mulai menutup selangkangnya. Warna kemerahan di ufuk tak mampu meredamkan penderitaan Sarkawi. Di atas sepeda, matanya berkaca-kaca manakala membayangkan istrinya yang sedang merintih. Perlahan dia mengayuh hingga sampai di rumah bersamaan dengan azan magrib. Setelah menaruh sepeda di dekat kamar, dengan langkah cepat dia masuk. Istrinya tersungkur lagi di lantai dengan posisi telungkup. Lantas, dia mengangkat tubuh kurus itu kembali ke ranjang. Melihat mata Sarmiah masih tertutup, pikiran Sarkawi kian kacau. Tangannya mengoyang-goyang kaki Sarmiah namun kedua bola matanya belum juga terbuka.

Dia berlari menuju rumah tetangga yang berjarak beberapa meter saja tetapi tidak ada seorang pun membantunya. Mereka berdalih penyakit istrinya itu menular. Hati Sarkawi mendidih, tubuh kerempengnya bergetar dahsyat. Dia pulang dengan langkah putus asa.Mata Sarmiah belum juga terbuka. Di saat azan selesai berkumandang. Nafas perempuan malang itu berhenti. Seumur hidupnya tak pernah dia menangis begitu keras bahkan suara tangisnya itu terang tedengar. Namun, tak ada seorangpun yang peduli.

“Matikan saja aku bersamanya, Tuhan! Kau pasti dengar. Karena Kau Mahamendengar!” dia berteriak diiringi isak tangis.

Sarmiah terbujur kaku. Dengan selembar kain lusuh dia menutupi jenazah istrinya itu. Usai shalat magrib Teungku Imum beserta tetua kampung Langa ke rumahnya.

“Dia sudah mati!” Sarkawi berteriak putus asa..

Dua hari kemudian, kabar tentang Agam sampai ke telinganya. Anak terkutuk itu sekarang di dalam penjara. Polisi menangkapnya bersama satu kilo ganja dua hari lalu tepat di hari kematian ibunya.

“Haramjadah, biar busuk kau disana!” Dia berteriak dalam hati.

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Sort:  

Hidup ini memang terkadang tak adil, lebih-lebih jika kita berada di posisinya Sarkawi, sering mendapat perlakuan tak layak, contohnya perawat cantik tadi yang begitu lancang berkata kasar terhadap Sarkawi dan istrinya. berharap bantuan pada pemerintah pun mereka sibuk memakan uang rakyat, punya anak Agam pun tak bisa diandalkan. Kisah ini juga kerap terjadi di dunia nyata, semoga kisah pilu Sarkawi di cerita bang @abduhawab malam ini, tidak merembes kepada Sarkawi yag ada di dunia nyata.

Bereh that cerita malam nyoe bang, weuh loen wate akhee cerita jih😢

hehe...semoga saja tidak terjadi di kehidupan nyata. terima kasih @midiagam atas komentarnya

Sama-sama bang @abduhawab😊

Sekelumit kisah yang mengharu biru, biarkan saya diam dan menikmatinya dalam keteduhan serti kesedihan, inilah sisi lain yang paling membuat saya kagum dan ingin belajar banyak dari bg @abduhawab

Tidak ada satupun fiksi Bang @abduhawab yang tak bisa menarik perhatian. Selalu keren, Bang :)

Sarkawi... sarkawi...
TetaP ada hal bisa engkau ajarkan melalui kisahmu. Mungkin Allah punya rencana melalui penulis kisahmu. Hehehe...
Fiksinya 👍👍👍
Pgn Qdatangi tetangganya yg pelit, perawat yg cantik ma bos bermata sipit itu!

Hanyut dalam ceritanya bg.. Keren...

Halo, hai @abduhawab! Selamat! Tulisan anda masuk peringkat 1 kategori Tulisan Dengan Upvote Terbanyak, di 10 Besar Tulisan Hari Ini di https://steemit.com/peringkat/@puncakbukit/10-besar-tulisan-hari-ini-minggu-16-september-2018 ..

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.13
JST 0.028
BTC 57408.28
ETH 3079.77
USDT 1.00
SBD 2.31