Mereka Menunggu Dalam Bisu

in #fiction6 years ago (edited)


sumber

Menjelang tengah malam, aku tiba di pekarangan rumah. Seperti biasa, Kakek masih duduk di balai teduh, menunggu kepulanganku dalam bisu. Dalam teduh cahaya malam, aku melihat Kakek sedang mengulum rokok nipahnya, tak peduli meski penyakit TBC sedang menggorogoti tubuhnya seakan Kakek ingin cepat mengakhiri hidupnya ketimbang mengurus cucunya yang tak tau diri ini. Aku menyalaminya, diam seribu basa. Malam itu benar-benar hening sehening tambak Haji Daud.

Aku memutuskan untuk menghabiskan waktu di rumah bersama nenek dan kakek. Sejak semalam kedua insan bijak bestari yang amat kusayang ini tidak menyapaku, wajah mereka tawar, artinya aku harus melihat meja makan safe and sound alias sepi dari menu-menu kesukaanku. Kadang aku tersenyum sendiri kala melihat sikap mereka sedikit konyol, dan kekanakan itu, hanya itu yang mampu mereka lakukan untuk menunjukkan sikap marahnya dengan kepergianku ke Banda Aceh tempo hari.

“Kan Syamaun sudah memberitahu kakek?” Kataku mencairkan suasana pagi.

Cahaya menyilinap malu-malu masuk lewat celah dinding papan rumah, melemparkan sepotong cahaya keemasan ke wajahku yang masih kusut. Pagi menyambut, aku beranjak keluar untuk menghibur diri sembari melihat tingkah mereka yang kunyakini masih belum berubah. Ingin kukatakan padamu kawan, Kakek dan Nenekku seperti dua insan berperangai sama, sikap dan karakter tak jauh beda. Bila Kakek diam, Nenek juga ikut diam, bila Kakek menunjukkan wajahtawar, Nenek ikut meangamini. Sekali waktu, Nenek mengeluarkan kata kurang sedap, misal baju Abah bau pesing atau _ rokok nipah membuat gigi Abah busuk_. Kakek diam, menunjukkan wajah tawar, lalu Nenek berhenti, dan diam selama satu hari satu malam.

Aku beranjak ke sanggar tikar pandan, Nenek sibuk menyaruk jarum yang dibuat dari kayu ke celah-celah tikar setengah jadi, ditambalnya ruas-ruas kosong itu lalu dibentuk sesuai dengan keinginan pelanggan. Jemarinya cekat mengikuti pola penuh dengan estetika seni, bila ada perlombaan membuat tikar pandan di olimpiade, maka Nenekku akan menjadi juara atau setidaknya masuk final. Sesekali kulihat wajahnya, masih tawar, mulutnya monyong bertanda Nenek tak menghiraukanku, sibuk dengan kerjaannya. Berjarak dua meter dengannya, cukup membuatku senang meski belum kudapatkan maaf darinya, terlebih aku bisa leluasa melihat jemari kerutnya melukis pola pinto aceh di tengah tikar. Mataku tak berpindah, aku melotot ke arah jemarinya, cepat, cekat dan teliti.

“Sebelah itu masih kosong, Nek!” kataku mencoba menarik perhatiannya.

Aku menunjuk di belakang punggungnya. Kawan! Tidak mudah menjinnakkan kemarahan Nenekku. Nenek tidak peduli, seakan berkata anak kemarin sore, nakal nauzibullah, tak tahu diuntung, begok, bla...bla..

Aku berniat tak ingin beranjak sebelum kutemukan senyum dari Nenek, senyumnya lebih berharga dari apapun. Ingin kugambarkan, satu saja senyum nenek di pagi itu mengalahkan sejuta senyum perempuan cantik kota. Namun belum kudapatkan. Aku tahu, diamnya yang berkarat itu tak lain adalah wujud dari kepeduliannya yang amat dalam kepadaku, pada akhirnya lahirlah sikap acuh sedemikian rupa.

“Kayaknya kopi Bang Ja nikmat sekali, Nek!” jurus terakhir untuk melunakkan peragainya.

Nenek berhenti merajut, melongok ke arahku. Dari bibirnya yang keriput itu, muncullah berlian berkualitas tinggi, yakni senyum Nenek. Tiga jam kugali lumpur, peluh di tubuh, bermandikan lumpur akhirnya kemilau berlian centang perenang menyibakkan keangguan tiada tara.

Tanpa buang tempo, aku berlari ke kedai Bang Ja, aku menyuruhnya membuat kopi spesial untuk nenek, kusuruh ganti bubuk kopi yang baru, Bang Ja mengangguk, tersenyum lalu dijerangnya, berbuih bergelombang-gelombang di dalam cangkir, mengeluarkan aroma khas kopi Indaco, kopi kesukaan Nenek. Bubuk kopi baru merupakan incaran para petani tambak, tapi aku tak peduli. Kali ini aku harus mempersembahkan kopi nikmat, tak lain untuk melihat senyum Nenek.

Kopi yang telah ditaruh dalam plastik bergoyang riang mengikuti gerakku, ingin sekali aku berterimakasih padanya karena di pagi ini, ya di pagi ini, ia telah menyelematkanku dari sikap acuh Nenek. Kuambil gelas, setelah kopi itu menampakkan wujud indahnya, aku berikan kepada Nenek. Perlahan Nenek menyeruput, melihat ke arahku, senyumnya mengembang. You are already forgiven! Begitu kuterjemahkan senyumnya.

Aku beranjak ke balai teduh, Kakek menunjukkan wajah cemburu. Aku tahu, Kakek sedang menginginkan keadilan. Sesampainya di balai bersegi empat, berlantai papan lapuk, Kakek membuang muka ke arah pelataran tambak, pura-pura tidak melihatku. Aku terkekeh, perangainya sudah kurekam sejak semalam, tinggal aku harus mencari cara menaklukkan sikap benci tapi sayang itu. Tak lain dan tak bukan, keinginanku sama yakni bibir hitamnya yang mulai pecah-pecah itu melebar dengan kedua mata girangnya. Aha! Di sebelah kiri balai nampak olehku sepeda Ludion buatan Cekoslowakia masih berdebu. Aku mengambil minyak kilang jahit lengkap dengan kain lap. Kuoleskan minyak itu lalu mengusapnya ke setiap lekuk rangka, depan-belakang dan kiri-kanan, berlanjut ke jari-jari. Setengah jam, sepeda kesayangannya itu mengeluarkan cahaya manik-manik akibat terimbas sinar pagi. Aku sengaja mendorong sepeda di hadapanya, kuputar jari-jari sesekali melihat wajahnya. Berpura-pura tak melihat, tapi kala jari-jari itu mengeluarkan bintik-bintik cahaya, aku menolehnya lagi. Aih! Tak tahan, akhirnya Kakek tersenyum, sepeda kesayangannya itu seumpama kelepak sekumpulan jenara di dalam jaring pukatnya. Indah bukan buatan!

Lebih empat jam aku bersusah payah membuat mereka tersenyum, lantas kusadari meminta maaf kepada orang yang telah menginjak usia keropos tidak semudah yang dibayangkan. Kali ini aku mendapatkan maaf dari Kakek dan Nenek, artinya aku masih diberi kesempatan menjejal kenakalanku bersama Raman dan Nas. Ada tapinya, aku harus bercokol seharian penuh di rumah bersama kedua insan bijak bestari itu.

“Lain kali, kau harus menghadap Kakek, meminta izin, Syamaun bukanlah orang yang tepat sebagai penyampai amanah!” gerutunya.
“Baiklah!”

Aku paham sikap dongkolnya itu, Syamaun pasti telah membual perihal kepergianku ke Banda Aceh, tapi aku urung menanyakan perihal amanah itu dikwatirkan penyakit diamnya kambuh lagi. Lalu diam-diam, Kakek membisik

“Ramai tak orangnya di kota tu, Gam?” tanyanya penasaran.

Mendegar itu, aku senang bukan kepalang, kuceritakan tentang kisah heroikku, mulai dari keberanianku duduk di atas kap truk, mengikat kepala dengan kain putih, disambut meriah oleh penduduk kota, diteriaki pahlawan di saat pulang. Sungguh cerita ini membuat Kakek bangga. Seperti sekelompok prajurit yang baru menang perang saja.

“Para serdadu seperti anak kecil kena tifus, tak berdaya, Kek” kataku penuh semangat
“Betulkah itu, Gam?”

Aku mengangguk, kakek mengangguk tiga kali, menyiratkan rasa bangga kalian bukan siapa-siapa di depan cucuku ini.

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Sort:  

Kenapa tiba-tiba saya bernostalgia setelah membaca cerpen ini adalah reaksi yang wajar dalam teori kekuatan literasi. Mantap, Bang @abduhawab.. :)

ternyata susah banget menguatkan literasi dalam sebuah cerita, diksi masih terbatas, dan saya harus belajar banyak lagi, tentunya.

Ah, kalau untuk Bang @abduhawab tidak susah lagi. Hanya lebih sering menulis akan mempercantik sendiri. Perbendaharaan kata dan keberagaman diksi memang sulit digenggam, tapi tidak kalau kita lebih banyak menyisihkan waktu untuk kembali membaca.. Cerpen abg "hidup" semuanya... :)

terima kasih atas dukungannya...dan terima kasih atas apresiasinya...

Dengan senang hati, Bang. Terima kasih sudah mengajarkan kami melalui postingan-postingan bernasnya.. :)

@mukhtarilyas, tokoh dan watak dalam cerpen di atas banyak kita dapat dalam hidup ini pak @abduhawab, walaupun itu fiksi, teruslah berkarya. Salam

terima kasih pak @muktarilyas atas apresiasinya...

Ntah kenapa saya terus membayangkan tikar pola Aceh yang dianyam nenek dalam fiksi ini, saya berharap tadi ada gambarnya tadi di cerita bang @abduhawab bagikan malam ini. Dari keseluruhan kisah kehidupan dua insan senja ini, menyentuh sanubari dalam hati .

Kreatif sekali dan layak dapat apresiasi, salam sukses selalu bang.

susah cari gambarnya,hehe...terima kasih midi atas apresiasinya

Sama-sama bang @abduhawab😊

Tulisan yg menarik dan begitu memikat bang, sepertinya terinspirasi dari kehidupan nyata dan saya sepertinya yakin si Gani akan mengulangi lagi perbuatannya pada kesempatan yg lain. Salam hangat dari ketinggian.

Maaf telat lagi bg @abduhawab dalam fiksi ini samat banyak iktibar yang bisa kita ambil untuk memotivasi perjalanan kehidupan ini, hampir ditiap sisinya mewakilkan semua sisi kehidupan seseorang. Mantap sangat bg, ditunggu yang lainnya

Seperti realita ya bang. Hehehe

Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by abduhawab (koffieme) from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.

If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63188.04
ETH 2570.49
USDT 1.00
SBD 2.79