Kembali Ke Kampung Mati

in #fiction6 years ago (edited)


sumber

Setelah sekolah kami dibakar. Gairahku untuk belajar lambat laun juga ikut surut, buku-buku pelajaran tak lagi menjadi perhatianku. Mereka sudah seperti bangkai yang menjijikkan. Bahkan, aku sering mengabaikan perintah kakek untuk belajar di rumah. Bagiku belajar tidak begitu penting lagi tatkala menyaksikan kondisi Republik ini yang di ambang runtuh, tenggelam ke dalam nestapa. Yang ada di pikiranku hanyalah bagaimana aku bisa mahir menangkap udang dengan kedua tanganku, mendapatkan uang lebih banyak dari hasil pekerjaan yang terlarang itu. Demikian juga dengan kebebasan yang sangat kunikmati sekarang ini. Lamunanku buyar di saat melihat Rahman berjalan begitu gagah dengan penampilan yang mengagumkan. Dia melihat ke arahku lalu tersenyum, isyarat dia ingin mengajakku. Aku bergegas turun lalu mengikutinya. Seperti biasa kami singgah di depot Muslem untuk memastikan kemana kami akan pergi. Tak lengkap rasanya bila Nasir tidak ada. Setengah jam kemudian Lelaki itu pun muncul.

“Ke Kampung Mati lagi?” Tanyaku.

Mereka berdua mengangguk penuh semangat seolah Kampung Mati adalah tempat terakhir buat menikmati indahnya hidup ini. Melalui penampilan mereka rasanya mustahil kalau mereka ke kampung yang sangat misteri itu. Tapi begitulah keadaan pemuda Kelayu. Akhirnya kami pun ke kampung terkutuk itu sembari mengecohkan tatapan Muslem yang awas. Kali ini kami memilih jalan kecil, jalan yang hanya dilalui anjing-anjing kurapan dan babi bunting.

“Jalan pintas,” ucap Nasir terkekeh.

Aku mendesah disertai rasa gugup ketakutan akan binatang-binatang liar yang tak kenal waktu bisa membunuh kami. Kami pun harus melewati jalan celaka itu penuh waspada. Seekor babi yang sedang menyusui anaknya di sudut pagar kebun kosong menatap tajam ke arah kami. Melihat pandangan binatang jalang itu kami berlari sambil ketawa-ketakutan. Dan akhirnya kami pun sampai di tujuan.

Hal yang paling kubenci sekaligus kusenangi pun berlaku. Kali ini kami menikmati pucuk daun haram itu di pinggir sungai. Untuk mencapai sungai yang angker itu kami harus berkelahi dengan semak belukar. Tak peduli, karena menurut kami tempat itu sangat aman untuk melinting. Tumbuhan-tumbuhan liar begitu semangat merobek dinding sungai. Setelah menemukan tempat yang cocok kami pun duduk dan menghabiskan berbatang-batang. Kali ini, Nasir dan Rahman memilih untuk tidak menggunakan kertas melainkan daun ubi muda yang kenyal nan memukau. Dengan lembut mereka melinting lalu mengelem menggunakan ludah.

Asap mukjizat itu centang perenang berterbangan membentuk bentuk-bentuk aneh lalu menguap tak berbekas. Setelah beberapa hisapan, kami mulai menemukan hal-hal lucu di sekitar, tempurung mulai berjalan terseok, ilalang mulai bergoyang,dan sungai mulai menyanyikan lagu senja. Melihat tingkah alam seperti itu, gelak tawa pun pecah kala tempurung itu menambrak ilalang. Hal-hal itu membuat kami merajai tempat ini, hutan-hutan kecil yang menghiasi sepanjang bantalan sungai tidak lagi terlihat angker, semua yang kulihat nampak bersahabat. Matahari yang mulai memicingkan sinarnya tak begitu jadi perhatian kami. Kami kian masyuk dalam dunia yang kami tasfirkan sendiri. Apapun yang keluar dari mulut kami semacam petuah yang selanjutnya dijadikan kebanggaan atas kata bijak efek asap semloha itu. Begitulah keadaan orang-orang yang hampir kehilangan akal. Tiap hela nafas, efeknya kian menyesak membuatku kelimpungan, setengah akal sehatku tenggelam dalam hisapan, melemahkan nalar, merabunkan bola mata menciptakan malam begitu cepat. Melihat kondisi payah, kami pun beranjak pulang sempoyongan, kakiku seakan berlipat manakala menyentuh tanah yang berpasir, terasa begitu berat untuk berjalan, yang pada akhirnya aku pun terjatuh.

Aku tergulai lemas, yang menurut mereka, ini semacam lelucon, dari sorot mataku yang lemas itu, aku bisa melihat mereka tertawa beberapa, dan pada akhirnya mereka mengangkat tubuhku. Masih dengan langkah terseok-seok aku berusaha keras untuk bisa berjalan secepat mungkin. Dalam pikiranku yang masih tersisa sedikit kewarasan, melintas imaji kakek. Dia pasti mencariku. Pasti!

Di saat kumandang azan magrib yang terdengar samar-samar di telingaku. Aku mulai gelisah tak tertara seakan ada sesuatu yang akan menimpaku. Magrib itu kian merisaukan. Akhirnya kami sampai di depot Muslem lalu masuk melalui pintu sempit. Aku terjatuh di atas ranjang kecil di belakang depot papan itu. Terasa sedikit sentuhan di kakiku lantas seluruh tubuhku mati rasa. Aku tersentak manakala mulut ini mencicipi air asam yang perlahan mengalir hingga ke tenggorokanku.

“Pukul berapa sekarang?” tanyaku terbata-bata.
“Delapan,” balas Muslem.

Di dalam depot Muslem tak terlihat lagi Nasir dan Rahman. Barangkali mereka sudah pulang ke rumah atau mungkin sedang bersantai sembari memamerkan sikap mabuknya di depan gadis-gadis Kelayu. Setelah merasa keadaanku kembali normal, aku beranjak pulang.

“Kakek mana, Riq?” Tanya Nenek yang sedang duduk di atas balai teduh.

Perasaanku mulai tak tenang. Tak biasanya Kakek belum pulang. Biasanya tempat itu sering diduduki Kakek.

“Tidak tahu, Nek.”
“Kakek kemana?” Nenek bertanya.
“Kakek mencarimu.”

Melalui temaram bisa kulihat wajah nenek yang nampaknya tidak begitu menyenangkan. Aku pun menghampirinya, mengambil posisi duduk di sebelah kirinya. Beberapa saat kemudian suasana begitu riyuh. Dari balai teduh bisa kulihat orang tergopoh-gopoh berlari mendekat ke arah kami yang sedang diliputi kecemasan. Tangan mereka begitu berat. Makin dekat, jelaslah terlihat sosok tubuh sedang mereka usung.

Sosok itu pun ditempatkan di atas balai teduh. Aku masih belum percaya kalau sosok tubuh tua itu adalah Kakek.

“Kami temukan beliau di dekat Kampung Mati,” kata orang asing itu.

Syeh Amad juga ikut membantu. Kulihat dia hanya menunduk saja. Kumisnya yang tebal tak lagi membuatku takut. Tatkala matanya tersorot ke arah tubuh kakek dia berubah menjadi lelaki yang penuh santun.

“Katanya dia mencarimu, Tariq.” Sambung Syeh Amad.

Seketika tubuh ini terasa tak bertulang. Jiwaku terasa remuk tak kentara. Aku langsung terduduk di ujung balai sambil menyaksikan isak tangis nenek yang kian tak henti. Beberapa jenak kemudian orang-orang baik itu pulang meninggalkan aku dan nenek serta kakek yang belum siuman. Nenek menyuruhku membuat air limau hangat. Setelah air asam itu masuk ke dalam mulut kakek tak lupa juga diikuti beberapa bait doa, kaki lunglai Lelaki Tua itu mulai bergerak yang selanjutnya diikuti seluruh anggota tubuh.

“Dimana aku?” Tanya kakek dengan nada lirih.
“Di rumah.”

Kemudian kedua bola matanya tersorot ke arahku. Aku menunduk sembari tanganku
meremas-remas pahanya yang lunak itu.

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Sort:  

Tulisan yang menarik bang, cerita fiksi ini sepertinya diangkat dari kisah yang nyata. Banyak diantara kita yang mungkin memiliki cerita masa lalu yg tidak jauh berbeda seperti cerita ini, termasuk kami. Salam hangat dari ketinggian.

Posted using Partiko Android

Saya yakin ini merupakan kisah nyata abg @abduhawab
Mengingatkan saya juga mengalaminya masa komplik
Yang cukup membenak di hati saya sampai saat ini.
Dari itu semua menjadi pelajaran yang sulit dalam hidup ini untuk dijadikan memory yang tak kan lekang oleh waktu.
Terimakasih abg
Salam hangat dan sehat selalu bersama keluarga.
Saya mengajak mendoakan agar yang telah meninggalkan kita dimasa itu di berikan syurga jannatunna'im
Amin ya rabbal a'lamin

Kisah pilu penuh haru, miris dan menyedihkan. Kisah hidup yang membekas dan membuncah. Semoga setiap kita ada jawabnya, selalu mendekatkan diri pada ilahi Rabbi. Salam takzim cut abang

Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by abduhawab (koffieme) from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.

If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.

Ahhhh... Bang @abduhawab kembali muncul membawa cerpen yang susah bikin tidur... :)

Kisah ini membawa imajinasi saya kembali ke era 90-an, apalagi saat Nasir dan kawan-kawan berlari melewati babi yang sedang menyusui, dan menatap tajam kearah mereka. Saya juga penasaran dengan daun ubi muda yang mereka nikmati, mungkinkah sang kakek tumbang karena telah mengkonsumsi daun ubi muda tersebut ?

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63348.66
ETH 2668.99
USDT 1.00
SBD 2.78