Jemari Tua
Saujana sedang membersihkan pekarangan surau di saat Teungku Imum datang mengunjunginya. Melihat Orang Terhormat tiba, dia berdiri dan menyambutnya penuh senyum. Segera ia meletakkan cangkul dan beranjak ke bawah surau sambil mengapit tangan Tengku Imum.
Saujana menawarkan minum. Teungku imum mengangguk. Tubuhnya yang cengking itu beranjak ke warung kopi. Di sela-sela menyuruput kopi.
“Sudah begitu lama anda disini. Tidakkah anda bosan?” Tanya teungku Imum.
Dia mengusap kepala gundulnya.
“Saya tidak akan pernah bosan selagi saya bisa menikmati ibadah ini.”
“Saya tidak tau mau kemana lagi. Istri sudah tidak ada. Anak pun tak punya.”
Teungku Imum yang berperawakan sederhana tak bisa berbuat apa. Dia hanya menyemangati Saujana supaya tetap tabah setabah asap rokok gudang garam kretek yang selalu keluar dari lubang hidungnya. Yang pada akhirnya, Teungku Imum berkesimpulan, asap rokok zat magis yang bisa membuatnya melupakan kesedihan dan kesengsaraan yang dia alami meski barang sejenak.
“Hari sudah siang, saya pamit dulu.”
Saujana mengangguk sambil mungucapkan terima kasih. Dia merebahkan tubuh tuanya di atas bangku yang berlobang akibat dimakan rayap. Saking keasyikan membayangkan nasibnya, dia nyaris terjatuh manakala segerombolan kumul-kumul menyentil ujung kaki kasarnya.
Lelaki Ringkih ini bangun menuju bak air yang penuh lumut. Perlahan-lahan dia membersihkan lumut-lumut dengan jemarinya yang kian menua. Ternyata, lumut-lumut itu juga tak diam menyiksanya, Saujana terjungkal. Ia bangun sambil mengusap-ngusap pinggangnya yang perih. Dia melanjutkan membersihkan bak air dengan tangan kanannya sementara tangan kiri ia gunakan untuk menekan pinggangnya yang perih itu. Setelah berkelebat dengan tantangan, bak air itu pun bersih. Dia terseok-seok kembali ke kamarnya yang berbentuk kubus terletak di sebelah surau, membuka pakaian, terlihatlah rusuknya bak dawai gitar, menonjol hingga membuat dadanya semacam orang sedang diserang TBC.
Waktu zuhur tiba, dia mengambil mik dan mengumandangkan azan. Suaranya terbata-bata sesekali batuk dan muncratnya menutup lobang kecil mikrofon sehingga suara azan terdengar sangat tidak jelas. Lazimnya di kampung Lamdong, para penduduknya lebih masyuk berdiam di rumah daripada menemani Saujana di surau.Sesudah shalat dia beristirahat sembari menunggu ashar tiba. Tugasnya menjaga jadwal sembahyang. Untuk biaya hidup, dia mengandalkan pemberian orang kampong Lamdong. Ashar tiba. Magrib datang setelahnya. Para jamaah sebanyak jumlah jari datang. Kebanyakan jamaah berumur 50 tahun ke atas sesuai dengan kondisi surau yang memprihatinkan itu.
“Allahu Alba…Allahu Alba…” Bergema begitu mengagetkan. Batuk ia tahan, airmatanya keluar menahan sakit. Sedari dulu Saujana tidak bisa mengeja huruf r, sudah lazim baginya. Teungku Imum sudah memakluminya. Ingin dia ganti dengan muezzin lain, berarti sama saja dengan mengusirnya dari kampung itu. Azan adalah interprestasi ketaatannya beribadah.
Tiap kali dia azan, pemuda kampong cenge-ngesan, ada yang ngakak, mengejek suara Saujana. Hambun dan Mahmud, dua pemuda ini sering mengusik ketenangan Saujana. Mereka memilih rangkang dekat sawah melewati magrib. Tugasnya, menyimak baik-baik kesalahan orang lain, lalu mengejeknya.
Selepas azan, dia gelar tikar buat jamaah. Baju koko satu-satunya pemberian Teungku Imum selalu ia pakai saat shalat. Peci bermotif pinto Aceh memudar, tak mau ia ganti. Karena itu satu-satunya pemberian mendiang ibunya. Hanya peci itulah kenangan tanpa batas.
“Silahkan….,” sambut para jamaah-jamaah uzur itu.
Jamaah tersenyum. Dia terseok-seok mencari celah shaf depan.
Magrib usai. Datanglah seorang pemuda kampong urakan.
“Hahaha….”
Dia terkejut lalu ia lihat warna putih berayun. Dia menelungkup. Mulutnya komat-kamit, membaca doa-doa pengusir setan.
Dia toleh sekali lagi bayang itu menghilang. Pemuda itu bangga sekali telah membuat Saujana ketakutan.
“Kau tau gak Marmot…si tua Saujana takut, ternyata badannya yang ceking itu tergulung dalam lipatan tikar kamarnya,” kata Hambun kepada Mahmud, sering dia panggil Marmot.
“Hahahha…..” Marmot tertawa. Seolah mengerti benar apa yang telah dilakukan Hambun.
Mahmud menderita sakit telinga. Saat dia berumur 20, dia mencongkel telinganya menggunakan paku 2 inci. Merayaplah benda keras nan tajam itu ke dalam cuping telinganya yang delapan sembilan mirip roti pancung. Setelah ke rumah sakit, dengan izin Tuhan paku itu berhasil dikeluarkan. Asbab inilah, di saat ada yang berbicara dengannya musti diulang dua kali. Kalau tidak dia akan memilih ketawa, berpura-pura mengerti.
“Apa haha pekak!! bentak Hambun.
“Saujana kekencingan tadi…tau kau Mot?’
“Hah…”kembali dia tertawa.
Saujana keluar dari kamar setelah melihat tak ada lagi penyakit yang meganggunya. Ke warung kopi Cek Tar dekat Surau.
“Kental satu Cek.”
Cek Tar mengangguk. Kopi pun sampai di atas meja. Kopi berstekstur kental, hitam pekat macam kena madu dilidahnya. Nikmat tak tertara. Peminum kopi kental biasanya orang yang mau dijangkiti penyakit insomnia. Dan bersiap-siap melek sepanjang malam. Benar dia tidak bisa tidur lagi akibat diganggu oleh Hambun.
Dua orang berpenyakit saraf tadi muncul di warung Cek Tar. Hambun melihat Saujana dengan ketawa kecil.
“Sudah dicuci kencingnya…najis tu?” Sindir Hambun.
“Hahaha…”Marmot ketawa. Masih tidak tau.
Otak Saujana berduri. Berang. Sangkanya benar. Dia diam. Acuh. Senyum tulus kepada orang yang harus dibenci itu.
Mereka duduk berselang beberapa meja dengan Saujana. Lelaki tua penyabar, duda lapuk yang direnggut oleh kekejaman dunia.
Subuh ia kerap shalat sendiri, sesekali dia ditemani Tengku Imum. Surau itu hanya hidup saat magrib, maulid dan pagi lebaran. Selebihnya, bangunan bertingkat itu tak lebih tempat mengadu nasib seorang lelaki tua Saujana.
Pagi itu, pagi yang mengesankan seumur hidupnya. Tiba-tiba saja Raja Hamdan, Keuckhik kampong Lamdong muncul. Dia sangat suka dipanggil Raja Hamdan. Di saat kata’raja’ keluar dari mulut rakyat jelatanya. Kuping besar naik, bahunya tinggi. Bangga bukan main. Seakan kasta tertinggi itu telah benar-benar dia dapatkan.
“Sehat Bos Sauja…,” sapaan akrabnya kepada Saujana.
“Alhamdulillah…,”balasnya sambil menutup pintu kamar.
“Ayo ikut saya…”.
Tak membantah, dia meluncur dengan motor Raja Hamdan. Motor CB pusaka kakeknya. Suaranya macam suara mesin ketek. Saujana takzim diboncengin Raja Hamdan menuju ke sebuah rumah yang letaknya dekat sawah.
“Cesss….”motornya mati macam suara bersin akut.
Mereka turun. Penghuni rumah itu keluar.
“Raja…Bos Sauja…, ada apa gerangan membawa saudara-saudara kesini?” tanya seorang perempuan paruh baya bernama Hindon bin Syuib.
Janda. Suaminya meninggal 5 tahun lalu dan tidak memiliki anak. Kerutan sudah memenuhi wajahnya, jari-jarinya panjang. Kukunya sedikit hitam akibat membalik-balikkan bongkahan tanah sawah. Nasibnya tak jauh beda dengan Saujana. Lantaran itulah Raja Hamdan ingin menjodohkan Saujana dengan perempuan yang sudah berumur 50 tahun itu.
“Masuk….” Pinta Miwa Hindon. Miwa panggilan akrab untuk perempuan yang sudah berumur.
Saujana tersipu malu, seakan tahu benar niat Raja Hamdan.
Mereka masuk. Pintu terbuka. Apa pun ceritanya, perempuan tidak boleh menerima tamu laki-laki apabila mahrimnya tidak ada di rumah. Untuk menghindari fitnah, dia mafhum akan hal itu dan pintu dibiarkan terbuka.
“Bagaimana keadaan Miwa Hindon”tanya Raja Hamdan, membuka percakapan.
“Alhamudillah sehat. Saudara-saudara bagaimana?” jawabnya,.
“Sama”jawab Raja Hamdan singkat.
Saujana masih tersipu malu. Dia merapikan peci lapuknya akibat ditiup angin pagi.
“Apa hasrat membuat saudara kesini?” tanya Miwa Hindon santun.
Raja Hamdan melirik Saujana. Mencari-cari alasan. Jangan sampai rencana Raja Hamdan terbongkar lebih cepat.
“Kita akan mendapatkan sedikit bantuan dari Pemerintah untuk orang-orang fakir. Jadi kami ingin tahu lebih jelas identitas Miwa Hindon.”
Ini alasan yang ganjil. Seorang Keuchik harus tau benar identitas rakyatnya. Maklum, Raja Hamdan bukan penipu yang ahli. Saujana duduk, dia asyik menampakkan giginya yang berkarat. Diam, senyum, itulah senjata ampuhnya.
Beberapa jenak kemudian. Mereka pamitan, meluncur ke warung kopi Cek Tar. Warung kopi itu sudah menjadi rumah kedua bagi penduduk kampong Lamdong. Warungnya tidak begitu luas. Tersedia beberapa meja saja. Tapi yang lebih menarik adalah pilem india. Saban hari orang-orang malas menghabiskan waktu menonton pelem india. Bayangkan, pelem india termasuk pelem berdurasi terpanjang di dunia. Jam 8 pagi, warung Cek Tar sudah ramai. Tipi berwarna, ukuran 14 inci siap menyejukkan setiap mata rakyat Raja Hamdan. Mereka yang pemalas kerasan menghabiskan waktunya di kursi yang malas itu
Amitabachan….Reni Muckerje…Syahruh Khan adalah nama yang cukup popular di kampong Lamdong malah lebih popular daripada nama Teungku Syik Maun, orang yang dihormati di kampong itu. Dari anak-anak sampai tua renta asik bercermin untuk mendapatkan sebuah pengakuan bahwa ‘saya mirip Amitabachan’. Yang perempuan pun keranjingan juga dengan Reni Muckerje. Sehingga banyak dari mereka membeli kontek lense agar mata mereka mirip dengan artis india itu.
Hambun dan sekondannya juga penggemar berat pelem india. Marmot yang kuping sebelah kanannya tak berfungsi seolah tau benar isi cerita. Sayangnya, pilem tak mungkin diulang.
Mata Saujana terbeliak melihat aksi Amitabachan melompat dari kereta api dengan burung elangnya berwarna abu-abu. Aksi yang luar biasa. Raja Hamdan tau benar, Saujana penyuka pelem India. Jadi Raja Hamdan tidak mengganggunya dengan percakapan yang lebih penting itu.
Pukul 8 pagi hingga 11, merupakan durasi yang lama. Tapi singkat bagi sebagian penduduk kampung itu. Pilem pun khatam, satu persatu orang meninggalkan warung. Saujana dan Raja Hamdan sedari tadi duduk berdekatan, dan mengamati tingkah polah rakyat jelatanya. Kopi yang sudah dingin macam kopi orang yang tidak berbulu hidung itu disuruputnya perlahan. Gudang Garam merah disulutnya “uhukk..”. Terjadilah percakapan yang merubah hidup Saujana.
“Bagaimana menurut bos Sauja…”
Saujana mengaruk kepala. Matanya yang kuning menoleh ke arah anak-anak muda tadi. Tersenyum.
Dia menarik nafas panjang. “Bagi saya tidak masalah, bahkan saya tidak tahan lagi hidup sendiri. Maunya kiamat segera tiba. Sangkala segera terdengar, sehingga aku dibangkitkan bersama orang-orang duda disana.”
“Hahaha!” Penguasa alam Lamdong tertawa. Kumisnya sedikit naik mendengar ungkapan hati seorang lelaki tua kurus itu.
“Tenang! Biar saya tangani. InsyaAllah Hindon bin Syuib itu tertarik.”
Senyum harapan mengambang. Sang penguasa alam Lamdong itu berangkat. Saujana masih menikmati kopi, sebentar lagi zuhur. Azan tetap meski jamaah kosong.
Dua bulan berlalu. Hindon bin Syuib menerima lamaran Saujana yang sudah berumur 60 tahun, dan mengidap penyakit batuk akut. Dia girang bukan kepalang. Penguasa alam Lamdong tampak sumringah. Dia bangga telah membahagiakan rakyatnya. Pesta kecil pun digelar. Raja Hamdan beserta Tuha-tuha kampong berkumpul mengucapkan selamat kepada Saujana. Dia tersenyum bangga. Kiamat musti ditunda.
Hambun dan Marmot masih jail. Di saat malam pertama dimana ketegangan meliputinya. Datanglah kedua penyakit saraf ini. Mencari celah dinding kamar mereka. Rumah Miwa Hindon bin Syuib memang reot betul. Berlantai tanah berdinding rumbia. Dengan mudahlah lobang itu terbentuk.
“Krekk…”terdengar suara kaki pemuda penyakitan itu.
“MasyaAllah…”Saujana dan istrinya terkesiap.
Saujana tau pasti Hambun dan Marmot si Pekak itu. “Mereka sudah keterlaluan.” Hatinya berbisik. Dengan langkah cepat dia keluar. Mereka kabur!!
Berlalulah malam yang indah itu. Malam keramat yang sudah dinantinya selama 20 tahun.
Pagi menjelang shubuh. Dia ke surau. Mengumandangkan azan seperti lazimnya. Shalat sendiri. Berdoa. Mengiba pada yang kuasa.
Usianya makin tua. Hari-harinya bersama Hindon bin Syuib bahagia, penuh cinta dan kasih. Kesabarannya terhadap prilaku kedua pemuda saraf itu nampak lewat. Mereka kini meringkuk di dalam penjara. Di saat asik melinting. Polisi tak berseragam membekuknya. Uang tebusan tidak ada. Berharap, penjara mengajarinya menjadi manusia beradab!
Gambar penuh makna
Sep hek bak ta baca, sep panyang,,, ha ha ha ... Sukses terus bang.
Cerita yang sangat mengharukan 😥😥😥
Saya jadi membayangkan, kalau sosok
Saujana ada dialam nyata. Dengan kepala gundul, dan susah mengucapkab kalimat "R"😁
Pun begitu, kisah pak Saujana ini menginspirasi saya, kita bisa tiru semangat dari pak Saujana ini, beliau sosok yang inspiratif, dengan semangat yang terus menyala dalam diri.
Kisah yang luar biasa 👍👍👍
lon khem beurayeuk sigeu beuh...hahahahahhahaahahahahahajahahajahahahahahja
Tulisan yang menarik bang, penuh dengan makna sebuah kehidupan. Terima kasih salam hangat.
Wkakakakakak... tubuh yang ceking tapi kuat juga merokok? Eh!
Posted using Partiko Android
Selamat! Tulisan anda masuk peringkat 5 kategori Tulisan Dengan Upvote Terbanyak, di 10 Besar Tulisan Hari Ini di https://steemit.com/peringkat/@puncakbukit/10-besar-tulisan-hari-ini-sabtu-11-agustus-2018 ..
Selamat! Tulisan anda masuk di Trend Tulisan Pekan Lalu kategori Tren Jumlah Upvote Rata-rata, di https://steemit.com/tren/@puncakbukit/tren-tulisan-pekan-lalu-pekan-ke-33-tahun-2018 .. =]
Selamat! Tulisan anda masuk di Trend Tulisan Bulan Lalu kategori Tren Jumlah Upvote Rata-rata, di https://steemit.com/tren/@puncakbukit/tren-tulisan-bulan-lalu-agustus-2018 .. 😋