Bulan Merah : Kilas Fiksi Pura-Pura

in #fiction6 years ago (edited)

Bulan Merah


sumber

“Kurang ajar, kau makan itu guru!!”

Kata-kata itu sungguh menyakitkan bila pikiranku terbawa ke masa-masa sekolah dulu. Cita-cita menjadi guru hanya untuk orang-orang yang pikirannya mandek. Guru tak lebih tong sampah yang terletak berjejer di tiap pintu toko. Tugas segunung, pendapatan tak seperti dibayangkan. Belum lagi ada sunat menyunat. Pokoknya, siapa saja yang ingin menjadi guru maka siap-siap menderita, begitu kata Ayahku. Aku memahami, beliau memang pengusaha terbilang sukses, kilang padinya tak pernah sepi meski ada beberapa pelanggannya yang memilih kilang pada jalanan. Setidaknya, aku bisa menjadi penerus usahanya. Namun, hatiku berkata lain, aku musti jadi guru, persetan dengan kata ayah. Sikapku yang keras dengan lantang ia patahkan. “Bila kau jadi guru, siapa memang yang akan menjadi muridmu?” katanya sambil mengeluarka ludah “guru taik kucing,”

Lalu sebatang rokok membawa pikiranku ke Laila, gadis yang barangkali sudah hidup bahagia dengan seorang pengusaha atau lelaki pengangguran yang hidupnya lebih menyedihkan. Gadis semampai itu sempat menjadi pembicaraan orang bahwa dia akan dijodohkan denganku. Wajar saja, karena Laila kerap main ke rumahku bahkan Ibu sudah menganggap seperti anak sendiri. Sesekali mata indahnya memecahkan asap yang keluar perlahan-lahan di depan wajahku. Setelah aku pergi, Laila dilamar oleh orang luar kampung. Barangkali dia juga sudah memiliki beberapa anak lucu, cantik seperti ibunya.

Lima tahun aku tidak pulang kampung. Gajiku yang pas-pasan menjadi alasan kenapa aku tidak pulang. Aku meninggalkan kampung, meninggalkan kedua orang tuaku tak lain untuk menunjukkan bahwa cita-citaku tidak salah. Meskipun kata-kata kasar ayah kerap membanyangi pikiranku tidak lantas membuatku benci kepadanya. Sekeras apapun sikapnya terhadapku, aku masih menganggapnya seorang ayah. Lelaki ulet yang merawatku, membelikan setiap kebutuhanku. Tapi juga ada hal lain yang membuat hatiku mendidih, kata-kata yang diucapkan Laila, “Tak banyak yang bisa diharapkan dari guru, jangankan rumah mewah, susu buat anak saja harus ngutang sana-sini.” Kala itu petir menyambar otakku, seakan terbelah begitu saja. Ternyata, dia mata duitan juga. Jalan pikirannya sulit kumengerti, kala itu dia juga berkata, apapun yang terjadi kita tetap akan bersama.

Dering hape menghentak-hentak saku celana, membuyarkan lamunanku ke Laila. Sepotong nomor tanpa nama muncul di layar hape yang sudah retak.

“Assalamualaikum..” kataku lembut.
“Ini ayahmu, Goblok!”

Aku terkejut bukan main manakala mendengar kata-kata ayah. Selama lima tahun ternyata dia belum juga berubah. Kehilanganku tidak sedikit pun membuatnya santun.

“Ibumu sedang sakit,” katanya “ dia selalu menyebut namamu, nama anak tak berguna.”

Setelah pembicaraan tak sedap usai. Aku terduduk, mengusap rambut keritingku seketika rasa penyesalan memenuhi batinku . Di malam itu hatiku benar-benar tak tenang. Ayah tidak sedikit pun mengharapkan aku pulang. Kalau ibu sudah pasti, seorang ibu akan selalu sayang kepada anaknya sekalipun seorang bangsat.

Keesokan hari, dimana sinar matahari mulai terbit. Aku berangkat ke sekolah, di tengah perjalanan aku masih memikirkan berita semalam. Pikiranku mulai tak tenang seakan ada sesuatu yang sedang menggantung di urat sarafku. Tanpa pikir panjang aku menghadap kepala sekolah, meminta izin dengan alasan ibu sakit. Aku bergegas pulang, menggantikan seragam dan mengambil beberapa potong pakaian. Setelah aku melihat Ibu, aku langsung balik ke Medan.

Dari jauh kulihat bus berwarna hijau sedang mendekat. Tak lama kemudian berdiri di hadapanku, aku bergegas naik. Kursi penuh, hanya tersisa satu lagi, tak peduli meski busa mengeluarkan bau tak sedap. Aku langsung duduk berdekatan dengan seorang perempuan tua yang sedang mengunyah sirih dan sesekali memuncratkan air berwarna merah ke kantong plastik di tangannya. Dia memaling, tersenyum dan menguyah lagi. Sungguh, ini sangat mengangguku. Aku merebahkan punggung mencoba melupakan kata-kata ayah semalam dan dunia pun menjadi gelap. Tak lama kemudian, aku terbangun ketika bunyi keletuk yang keluar dari mulut perempuan tua itu yang akhirnya kutahu dia sedang berusaha membelah pinang. Dia tersenyum menampakkan giginya yang menghitam. Aku meresponnya biasa saja mencoba menghindari ceramahnya.

Tujuh jam aku sampai di simpang Langa. Butuh beberapa menit lagi untuk sampai ke kampungku. Aku tiba di tempat itu ketika matahari mulai tenggelam, tukang ojek berebutan memaksa naik ke kereta mesin mereka, aku menolak. Mengingat, uang di dalam kantongku tak cukup untuk kembali ke Medan. Jadi aku putuskan untuk jalan kaki saja. Bukankah jalan kaki lebih sehat daripada kereta mesin yang suaranya bisa memecahkan gendang telinga dan kerap menganggu kenyamanan orang.

Setelah shalat Magrib aku kembali berjalan hingga tiba di rumah masa kecilku dulu. Pintu masih terbuka. Setelah mengucapkan salam aku langsung masuk. Ayah tak terlihat di rumah, lalu aku masuk ke kamar Ibu. Di situ sedang terbaring seorang perempuan lusuh, seluruh tubuhnya ditutupi kain batik. Ujungnya diikat mengikuti bentuk kaki. Perlahan aku mendekat perlahan. Namun, belum sampai aku menyentuhnya, dia berbalik dan memelukku erat-erat.

“Akhirnya kau pulang juga, Khalid,” katanya dengan nada lemas.

Aku mengangguk sembari mengusap rambutnya yang beruban. Airmataku mulai turun perlahan mengingat aku sudah meninggalkannya begitu lama. Rasa haru tak bisa kutahan, melihat kondisinya itu seakan aku ingin menangis seperti anak kecil.

“Kenapa kamu baru pulang sekarang, Nak?” dia berkata diiringi batuk kecil.

Aku memilih diam sementara tanganku mengelus-elus tangan Ibu. Kulitnya begitu kering, urat-urat kecil menggelantung di bawah lengannya. Ibu tersenyum, dia berusaha bangun, aku mendudukkannya. Malam tiba. Seberkas cahaya bulan menyeruak masuk ke kamar Ibu lewat celah jendela yang dibiarkan terbuka. Setelah makan, aku kembali ke kamarnya dengan membawa sepiring nasi, dan menyuapinya.

“Ayah belum pulang, Bu?” tanyaku


sumber

Ibu menunduk bisu dan mengunyah nasi perlahan-lahan. Wajahnya pias sesekali matanya menatapku penuh nanar seakan pertanyaanku membuatnya terluka. Aku mulai curiga, barangkali selama ibu sakit ayah sedang berpesta pora dengan perempuan lain. Karena dia memang begitu. Dulu, aku pernah melihatnya bersama perempuan binal di sudut kampung Serdeup. Tapi aku tidak mengatakan pada Ibu karena ayah berjanji akan membelikanku sepeda bagus. Dengan kehidupannya yang terbilang mapan tentu tidak sulit untuk menemukan perempuan yang haus akan uangnya. Bila dengan perempuan ayahku bertindak sebagai dewa penolong. Apa saja yang mereka minta, pasti dikasih. Tapi, giliran Ibu yang minta uang buat belanja, Ibu disemprot habis-habisan. Suami macam apa dia?

“Jadi Ayah jarang pulang, Bu?” aku kembali bertanya.
“Sudahlah Nak, yang penting kau sudah ada disini sekarang,” jawabnya dengan nada berat.

Aku membaringkan tubuh lemasnya, dan mengelus-ngelus punggungnya hingga beliau tertidur. Melihatnya terlelap hatiku begitu bahagia. Aku mencium dahinya lalu keluar menuju teras. Di tempat yang berukuran 3x5 masih terasa hangat. Tempat di mana aku kerap bermain-main bersama kawan-kawan kecilku. Di tempat itu pula aku sempat merasakan sikap kasar ayah tatkala mengusir kawan-kawanku yang miskin itu. Aku sangat sedih kala itu, sikapnya benar-benar menjengkelkan.

Lalu aku duduk di kursi rotan sambil melihat bulan merah bertengger di cakrawala. Cahayanya serupa kumpulan api yang siap membakar seluruh bumi. Sebatang rokok kuhisap dalam-dalam, asapnya kusembur kemana saja. Tak sadar kenangan Laila memenuhi pikiranku. Kala itu, dia duduk di kursi ini, bercerita perihal masa depan. Senyumnya yang manis diikuti dengan wajah tirusnya sesekali juga ikut melintas, aku makin tak berdaya seakan bayangannya sengaja menjelma tiap saat. Sekalipun dia sudah bersama lelaki lain, pintu hatiku masih terbuka. Lalu seberkas warna putih mengkilat itu terbang menyisir wajah ayahku, “kau masih kurang ajar rupanya, “ katanya, “ itulah kenapa aku tak ingin kau jadi guru, kau pikir dirimu sudah hebat!” aku terkejut bukan main, buru-buru aku bangun dan mencium tangannya. Hidungku menangkap bau yang langsung masuk ke otakku, menjelma menjadi sebentuk firasat buruk seakan aroma itu sengaja ditumpahkan di tangan Ayah.

Dia beranjak masuk tanpa peduli lagi kepadaku. Aku kembali duduk di kursi rotan, kini pikiranku terbawa ke aroma tangan lelaki tegap itu. Mungkin dia seorang pelacur atau perempuan jalang tak tau malu yang sengaja membuat Ibu curiga. Di dalam kamar aku mendengar Ibu terbatuk-batuk, aku ingin masuk, tapi terhenti di saat mengingat sikap Ayah. Di kursi rotan itu, aku mencoba menenangkan diri sembari menanti apa yang bakal terjadi di dalam kamar Ibu.

“Engkau baru kembali dari rumah Aklima?” Ibu bertanya.
“Iya, kenapa?”

Isak tangis memecah ketenanganku. Lalu, aku mendekatkan kuping ke dinding beton kamar Ibu, mendengarnya sedang terisak.

“Aku sadar, aku bukanlah seorang perawan di saat kau menikahiku. Aku seorang janda, seorang perempuan yang tak berdaya,” setelah diselangi batuk, Ibu melanjutkan, “ Aku lebih senang hidup bersama anakku kala itu, tetapi kau sering memaksa bahkan mengancam akan mengambil semua harta benda ayahku karena tidak sanggup membayar hutang.”
“Itu dulu, Fatimah. Kau sekarang tak lebih sebuah beban yang tak memberi arti sedikit pun dalam hidupku.”
“Kurang ajar!!”
“Ya aku memang kurang ajar,”

Hatiku gaduh, keringat seketika mengalir ke seluruh punggung. Pikiran kacau, dan akhirnya terbukti sudah kenapa ayah tak pernah suka kepadaku, apapun yang kulakukan serba salah di matanya.

“Khalid...!”

Lelaki itu berteriak keras memanggil namaku. Aku buru-buru masuk, kulihat matanya merah, bau harum dari tangannya kian menyengat.

“Kau, dan Ibumu sekarang keluar dari rumahku,” katanya dengan nada keras.

Bumi hancur begitu saja, lututku gemetar diikuti hati yang berdarah-darah. Ingin kubantai lelaki yang berdiri di depanku itu, tapi tak berdaya. Aku hanya mampu menunjukkan wajah menantang sambil mengangkat Ibu.

“Apa kau tunggu lagi, sekarang keluar!!”

Aku membopong Ibu keluar rumah lelaki biadab itu. Tetangga melihat kami penuh kasian. Tapi mereka hanya melihat saja. Samar-sama kudengar, “Si Razali benar-benar keterlaluan.”

Kami singgah di rumah tetangga yang tak lain adalah saudara Laila. Kami diizinkan menginap di tempatnya barang semalam. Empunya rumah kuatir bila si Razali tau, pasalnya Wak Rumlah masih tersangkut utang dengan ayah tiriku itu.
Di tengah malam, di saat Ibu sedang tidur. Aku beranjak ke tempat Wak Rumlah yang sedang asik membaca majalah di ruang tamu. Dia tersenyum dan mempersilakanku duduk.

“Aku baru saja kabarin Laila perihal masalah kalian,” katanya seraya memindahkan posisi duduknya lebih dekat denganku.
“Buat apa Wak kabarin dia, hanya buang-buang waktu saja,”
“Dia sebenarnya sangat mencintaimu, aku tahu karena dia kerap menceritakan tentangmu. Katanya, kau lelaki yang luar biasa,”
Aku tersenyum, “Benarkah, lalu kenapa dia kawin dengan lelaki yang tak jelas asal-usulnya itu?” aku bertanya disertai rasa penasaran yang membuncah.
“Ibumu?”
“Beliau sedang tidur,”

Aku makin gugup mendengar kisah selanjutnya. Dia berdiri, lalu duduk lagi. Majalah Sophie ia letakkan di sampingnya. Lantas ia menyilangkan kaki mulusnya. Matanya begitu awas seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan.

“Aku sudah janji dengan Ibumu,” ujarnya.
“Janji apa?” aku spontan bertanya.

Dia diam sejenak seakan dia sengaja membuatku bingung dan larut dalam rasa penasaran. Setelah menghidupkan tipi dia kembali duduk. Kali ini kedua kaki mulusnya ia luruskan di atas sofa. Setelah berdehem, dia berkata “ Laila terpaksa kawin dengan lelaki itu. Pasalnya, dia ingin pergi jauh dari kampung agar semua kisah tentang kalian terkubur dalam-dalam. Setelah ia tahu perihal tersebut, hatinya pedih bukan main. Dia nekad kawin dengan lelaki mana saja. Kebetulan seorang tentara yang dulu markasnya disini langsung melamarnya.”

“Perihal apa,”
Dia diam sejenak, dan menarik nafas. Aku kian penasaran, lalu perempuan paruh baya itu berdiri dan berkata, “Laila itu adikmu!".

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Sort:  

Nice story...I like it😊

Lagak that cerita..semoga sukses..tolong upvote loen bang @abduhawab..loen tgk andi ESPRESSO samalanga

Setelah membaca cerita ini saya jadi bingung harus bersikap bagaimana. Membenci sosok ayah, menyanyangi ibu atau meratapi nasib Khalid dan Laila. Tapi cerita ini begitu masuk ke dalam pikiran. Saya membayangkan kalaulah cerita ini nyata adanya, bagaimana Khalid setelah tahu ini semua. Semua jahannam ini... Ahhh Bang @abduhawab.. :)

hehe...dilematis memang. tapi yang jelas si Khalid sangat terpukul, dan mungkin dia akan berhenti jadi guru, memilih mengungsikan diri dari keramaian. Hatinya penuh luka, asmara kandas, dan apa lagi yang diharapkan selain merawat ibuny dengan baik...Ayah tirinya jahannam itu mungkin akan menambah jumlah istri. Terima kasih sammy. Ini cerpen saya yang lama sekali sudah tersimpan di laptop,heheh

Laki-laki manapun pasti akan mengutuk dirinya terlahir sebagai Khalid. Pun demikian, hidup tetap perlu dijalani dan disyukuri. Dan segala hal yang terberi untuk kita memang yang terbaik yang bisa kita dapatkan. Rupanya Cekgu @abduhawab benar-benar guru komplit. Makin tak sabar bertemu dan diskusi.. :)

Sangat menarik bang, long rasa nyoe na sambungan lom.. penasaran ku..

heheh...hana le sambongan, aneuk muda kapatoh talo...thanks

Tp ka penasaran teuh.

Bereh that cerpen nyan bang @abduhawab
Kembali lagi menulis..hehehhe

Mantap bang guru @abduhawab cerita percakapan guru dan murid.

hehe..terima kasih

sangat panjang lebar ceritanya ya,

memang sangat laur biasa salam KSI

Akhir cerita yang tak terduga.. hehehe
dalam setiap paragraf ya saya baca.. terhanyut oleh setiap alur yang begitu bagus.. imajinasi begitu bermain saat membacanya..

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.12
JST 0.034
BTC 64058.80
ETH 3150.15
USDT 1.00
SBD 3.99