Bolehkah Aku Bertemu Denganmu Malam Ini?

in #fiction6 years ago


sumber

Usai mengganti seragam sekolah, aku bergegas menuju kedai Keulayu Barat. Kedai yang terletak lebih kurang dua kilometer dari kedai Bang Ja sering ramai. Aku ingin mencari suasana baru di kedai yang katanya menjadi sentral permainan dadu. Aku mengayuh sepeda kakek, yang kebetulan beliau sedang pergi ke pesta di Krueng Mane. Bunyi berdecit menjadi hiburan tersendiri buatku, baru kali ini aku bisa leluasa mengayuh sepeda. Tubuhku terloncat-loncat di saat ban sepeda menggilas bongkahan tanah yang berserakan di badan jalan. Seenaknya saja para tukang tambak mengotori jalan. Aku terus mengayuh di bawah jilatan matahari yang menyengat. Sepeda kakek kutaruh di bawah pohon ceri yang tumbuh di dekat depot Bang Him lalu masuk ke kedai kopi Sedap Malam. Disitu terdapat beberapa kumpulan yang sedang berlomba membanting batu domino yang terbuat dari benda padat. Shaleh sang pemilik warung menjadi promotor utama untuk permainan ini. Tak heran kenapa warungnya selalu ramai, bila orang-orang tak melaut, atau sedang menunggu air tambak kering mereka kerap menghabiskan waktu bermain dadu yang jelas-jelas dilarang oleh Keuchik Rusli.

Aku memesan segelas kopi panas. Shaleh bangkit dan menjerangnya dengan gaya serupa penjarang kopi handal. Lalu kopi pancung itu takluk pada keahliannya, mengeluarkan buih berwarna kuning meluap-luap di dalam gelas. Aku menyeduh dan menenggak perlahan-lahan agar lidahku bisa selamat. Aku mengatupkan telinga di saat bunyi keras buah dadu menghantam meja triplek seakan mau meledak. Di situ terlihat Bang Him tertawa terbahak-bahak karena angka enam selalu bersamanya sementara Nek Syuib; ayah Syamaun menunduk bagaikan seorang anak kecil sedang dimarahai ibunya.

Matahari makin beringas menyengat kampung kami, dari situ aku bisa melihat beberapa orang yang bertelanjang dada sedang memperbaiki pintu air tambak. Badan mereka mengkilat bak mutiara hitam. Lalu kulongok ke saluran irigasi, perempuan-perempuan paruh baya sedang mencari tiram, wajah mereka dilapisi krim buatan sendiri sehingga sinar matahari tidak serta merta bisa merobek kulit wajah mereka. Setelah dikumpulkan, tiram yang masih utuh dimasukkan ke dalam empang lalu diletakkan di bantaran tambak. Setelah merasa lelah, mereka bangkit bersama dengan tangkapan mereka. Aku sangat terharu melihat perjuangan mereka, tapi sayang uang itu banyak digunakan buat membeli barang-barang yang tidak perlu, sementara kaum lelaki, uang dengan mudah ditumpahkan di atas meja kopi.

Aku pernah mendengar perihal perangai penduduk wilayah Keulayu Barat ini dari Syamaun. Katanya, kaum disini suka sekali berlama-lama di warung kopi sambil bermain dadu. Bahkan dia ingin membunuh ayahnya sendiri lantaran kerap menjual ayam yang ia pelihara buat beradu nasib di meja dadu. Berulang kali dia menasehati ayahnya, tapi apa untungnya nasehat anak kepada seorang ayah yang sama sekali tak paham soal etika dan moral. Tak seorang pun bisa merubah tabiat mereka, sekalipun itu bupati, atau Teungku Mahmud bahkan presiden harus angkat kaki dari wilayah ini. Di meja yang dikelilingi oleh empat orang, ditambah dengan pendukung yang bersorak-sorak di saat lawannya kalah cukup membuat wilayah ini semarak. Waktu seketika berhenti di warung kopi ini.

Aku masih duduk sambil memperhatikan mereka yang sedang larut dalam euforia. Bang Him tidak lagi peduli dengan depotnya meski ada pelanggan sedang menunggunya dengan cemas. Baginya tempat bersegi empat itu menjadi ladang rezeki yang menjanjikan. Nek Syuib bangkit, sarung ia sampir di bahu, dengan wajah tertunduk beranjak keluar lalu menghilang di sapu kedai-kedai kelontong. Lalu kursi itu diisi oleh Hamdan, lelaki pecandu kelas kakap. Matanya merah serupa biji saga, tangannya gemetar di saat dadu itu diletakkan pada urutan yang ditentukan. Sebatang rokok rakitan ia letakkan di ujung mulutnya menjelaskan bahwa dia seorang lelaki yang layak diperhitungkan. Bang Him nampak tidak terpengaruh dengan sikap Hamdan yang terbilang berani menyosor angka tiga. Yang lainnya tak kalah semangat melihat segepok uang berguling-guling di sudut meja. Bang Him yang bermata saruk melirik ke arahku, dia tersenyum lalu membanting angka empat. Semua melongo, setelah itu tak ada lagi bunyi di meja. Dengan sigap uang yang sedang tersenyum itu ia masukkan ke dalam kantong. Hamdan menggaruk kepala lalu menenggak segelas kopi hangat. Permainan itu dimenangkan Bang Him, meja itu kembali kosong. Shaleh mendapat komisi 10% dari tiap pertandingan yang dimenangkan dan pemenang wajib membayar kopi pelanggan, berarti aku mendapatkan kopi gratis di hari ini meski yang sudah kuminum itu air neraka. Tuhan pasti mengerti!

Matahari mulai turun sementara aku masih betah di warung Sedap Malam yang kembali dipenuhi penikmat kopi. Syamaun secara tak sengaja bertemu denganku, dan duduk di sampingku. Dia memesan kopi panas jombo alias kopi gelas besar. Rambutnya acak-acakan sesekali ia garuk seperti mengusir kutu yang sedang menggigit kulit kepalanya yang kering itu. Sejenak ia menunggu, kopi itu meluncur mulus ke perutnya, gerak matanya awas, dari mulutnya keluar kata yang tak ingin kudengar, “Aku baru saja memukul ayahku, kali ini dia sangat keterlaluan. Dia kembali mencuri hartaku, kali ini sandal yang kubeli di pasar Gergok tempo hari sudah dijual buat main domino,” diam sebentar, lalu serapahnya berlanjut “Ayah kurang ajar!” Aku terkejut mendengar kata-katanya bercampur emosi. Lelaki ini sudah keterlaluan, setahuku dia tidak pernah mengenakan sandal merek School yang terbilang mahal. “Lho! Tidak pernah kulihat kau pakai sandal mahal itu, Un,” aku membalas seraya melihat tingkahnya yang terbilang aneh.

“Ya, aku menyimpannya buat lebaran!”

Di saat melihat Nek Syuib keluar beberapa waktu lalu, langkahnya memang sangat berat seakan menyimpan penyesalan yang amat dalam. Belakangan ini Nek Syuib tidak lagi melaut sejak perahunya di bakar oleh orang tak dikenal, rumor yang berkembang Nek Kasim yang melakukan perbuatan biadab itu. Sempat beberapa kali bertengkar di kedai Kopi Bang Ja, dan Nek Kasim menjadi juara lantaran dibekengin Syeh Amad, tapi tatkala berhadapan di Kedai Sedap Malam, maka Nek Syuib menjadi juara. Praduga tak bersalah ini telah disaksikan oleh Keuchik Rusli, tapi lelaki jangkung itu seperti habis akal, kasus itu buntu, tak ada jalan keluar sehingga rasa dendam Nek Syuib atas dugaan itu kian membara. Di Keulayu, dugaan saja bisa menjadi malapetaka karena hukum yang sebenarnya susah diterapkan di kalangan kaumku yang berwatak keras. Dugaan semacam bukti yang tak terbantahkan!

Syamaun menghembus asap rokok serampangan, bungkus di tangannya langsung dimasukkan kembali ke dalam kantong tak peduli kalau mulutku sedang gatal benar. Aku harus merengek buat mendapatkan sebatang rokok dari lelaki yang terkenal sangat hemat ini. Akhirnya sebatang rokok marlboro dengan gerak gontai diserahkan untukku.

“Apa ayahku kalah lagi hari ini, Leh?” Syamaun bertanya sambil berpaling ke arah Shaleh yang sedang menjerang kopi.
“Dia selalu kalah. Lagaknya saja yang berani!” Balas Shaleh tertawa kecil.

Syamaun menenggak kopi jombo itu hingga tetes terakhir. Lelaki ini sangat kehausan rupanya atau dia sedang kesal sama dirinya sendiri. Umurnya terpaut dua tahun, tapi dia dan Shaleh sudah bersahabat sejak hayat di kandung badan. Anehnya, di Keulayu umur bukan patokan untuk mengukur tingkat kedewasaan masyarakat Kelayu, jadi dengan mudah anak kecil bisa bergaul dengan orang-orang yang umurnya terpaut jauh dengan mereka. Aku salah satunya bisa bebas bergaul dengan Syamaun yang usianya diprediksi 30 tahun di saat lebaran nanti dan pemuda-pemuda lain. Tanggal kelahirannya tidak ada yang tahu sekalipun ibunya. Dia hanya menebak saja, dan sangat bangga dibilang sudah tua. Aku yang masih bau kencur tak pernah dipanggil adik, sebab itu aku bisa berkawan dengan siapapun. Ruang persahabatan di kampungku terbuka untuk setiap usia. Inilah yang sangat kusukai di kampungku ini.

Sinar matahari perlahan lenyap, hanya deretan sinar merah menaungi langit bagian barat. Seperti Keulayu Tengah, orang-orang makin ramai memadati jalan di depan Kedai Kopi Sedap Malam. Yang merasa diri sudah tua beranjak ke dalam, duduk melingkari meja bersegi empat. Permainan domino akan kembali dimulai! Usai menghabiskan tiga batang rokok, dan usai mengacungkan telunjuknya ke Shaleh sebagai kode ajaib buat berutang. Shaleh mengangguk dengan berat, matanya mengekor lelaki lusuh itu sampai ke jalan.

Aku bangkit menuju depot Bang Him. Di saat hendak mengambil posisi duduk di atas sadel, tiba-tiba saja aku tercegat dengan sosok Syamsyiah sedang lewat di hadapanku, anak rambutnya meliuk-liuk macam ular pasir yang sedang mengejar mangsa, dia berjalan malu-malu, sambil sesekali menyibak rambutnya yang sengaja memperlihatkan lehernya yang bergurat itu.

“Hei..kamu, kenapa melongo macam tu,” katanya sambil beranjak ke arahku, “ macam belum pernah lihat perempuan!” katanya diliputi senyum manis.

Aku turun dari sepeda, dan menyalaminya. Tangannya lembut jauh berbeda dengan tangan gadis Keulayu lainnya. Aku menekur, ujung kaki menginjak-nginjak buah ceri.

“Amboi! Kamu cantik sekali, Syamsyiah,” kataku usai berjabat tangan

Dia tersipu malu, tubuhnya bergoyang sedikit menyiratkan sikap dengan pertemuan ini. Jujur saja, aku sangat mudah takluk dengan gadis sepertinya. Guratan lehernya menjadi daya tarik tersendiri bagiku, kurasa itu bukanlah kelainan!

Orang-orang masih sibuk dengan urusan sendiri. Bang Him kembali ke lahan rezekinya, Hamdan sedang terlentang seperti orang mati di atas bangku sementara beberapa lelaki di sudut lain sedang cuap-cuap di kedai kopi Sedap Malam, tak berpengaruh atas pertemuan kami. Seketika saja mata liarku menari-nari ke tubuhnya yang terbungkus baju karet berwarna merah muda, lalu melesat ke leher putihnya. Aku kian tak tenang dibuatnya

“Kau mau kemana?”
“Rencana mau beli rokok buat ayah,” jawabnya malu-malu.

Aku mengetuk-ngetuk stang sepeda, berharap tingkahku yang aneh itu tidak terlacak oleh matanya yang indah itu. Tanpa ambil tempo aku pun bertanya dengan nada gemetar, “Bolehkah aku bertemu denganmu malam ini?” Dia diam, membuat perasaanku kian nelangsa nyaris aku mengutuk pertanyaanku sendiri itu. Beberapa jenak kemudian, sepenggal kalimat magis keluar dari mulutnya “Aku tunggu kamu di dekat rumah Nasir.”

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Sort:  

Cerita yang sangat bagus dan menarik pak @abduhawab.

Kisah tentang realitas kehidupan keras dan memilukan..ujung2 nya jadi berbunga-bunga.. hehehe

Fiksi yang menarik bg @abduhawab
Sangking serius saya membaca tak ingin berhenti untul menunggu kelanjutannya..
Tapi saya melihat dari fiksi abg ne, sepertinya nyata kehidupan abg!!
Terimakasih abg
Salam hangat dan sehat selalu...
Saya menanti kelanjutannya.....

Kehidupan panjang nan berliku adalah sebuah kenangan, terlepas dari suka maupun banyak dukanya, tapi banyak hal yang bisa diambil hikmahnya dari tiap perjalanan hidup. Saya amat sangat kagum dengan tiap rangkaian fiksi bg @abduhawab karena banyak hal yang bisa saya cerna. Sukses selalu bang

terima kasih aris atas apresiasinya

Saya pernah baca beberapa catatan kaki penulis cerpen kondang. Kata sebagian dari mereka, jika seorang penulis ingin memasukkan pembaca kedalam cerita mereka, ikatlah kata dengan imajinasi terdekat dengan pembaca. Dan Bang @abduhawab berhasil melakukannya. Merekatkan kata dengan daerah kita.. The best... :)

hehe...terima kasih sammy...msih belajar untuk mengikuti catatan kaki penulis itu.

Dan abg sudah di jalur yang tepat.. :)

Kisah yang menginspirasi, banyak pesan moral yang di dapat, dan saya langsung ketawa begitu membaca nek Syu'ib ayah Syama'un, kolaborasi duet yang bagus dalam kisah bang @abduhawab bagikan malam ini

terima kasih midi atas apresiasinya

Sama-sama bang @abduhawab😊

Cerita yang menarik bang, dengan ending yang liar dan menggantung. Malamnya jadi bertemu dengan primadona kelayu itu bang ?. Salam hangat dari perbukitan.

tunggu episode selanjutnya,heheh

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.13
JST 0.032
BTC 60752.39
ETH 2904.82
USDT 1.00
SBD 3.73