A Fiction: Bukit Lampa

in #fiction6 years ago

vjv1iji57i.png
sumber

Motor yang kutumpangi tiba-tiba mogok di tengah jalan. Padahal tujuan kami hanya beberapa kilometer lagi. Di tepi jalan yang terbilang begitu menyeramkan kami harus bertarung melawan rasa takut. Suara burung yang bersahutan di belantara seakan menjelma menjadi bunyi-bunyi aneh hingga membuat bulu kecil di pundakku berdiri. Di malam yang hanya diterangi seberkas cahaya bulan memaksa kami menyaksikan gelagat alam yang sebenarnya belum kami alami seumur hidup. Di tengah melepaskan rasa takut tiba-tiba muncul suara derap langkah. Aku mencolek Asrul yang sedang berjongkok. Dia terkejut bukan main dan berdiri sigap. Pemilik langkah itu pun muncul seketika di hadapan kami. Dalam remang malam aku melihat wajah mereka dipenuhi coretan hitam, mata mereka begitu buas, suara kongkang senjata begitu nyaring terdengar hingga tak terasa lututku gemetar dahsyat.

“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang dari mereka.
Kami terdiam, aku sendiri sedang berjuang untuk menormalkan kembali kedua lututku
“Kalian mau kemana, Anjing!”
“Ke..ke Bukit Lampa,” balasku dengan nada terbata-bata.
“Oo...ke Bukit Lampa?” dia melanjutkan “Kalian mau bertemu panglima. Siapa namanya.

Siapa namanya?” Gertakkannya kian menyeramkan.
Aku terdiam dan melirik Asrul. Lelaki Gemuk itu tertunduk. Serapah mereka makin menjadi-jadi sehingga suara-suara aneh di hutan itu tak lagi terdengar. Apa jadinya bila nama Teungku kusebutkan. Pasalnya orang-orang di kampung Langa, termasuk kami, tahu kalau Tengku sudah bergabung dengan pemberontak. Aku akhirnya memilih diam sembari berusaha menghilangkan rasa takut yang sedari tadi belum enyah.

“Siapa??” tanya serdadu kedua lengannya memegang erat senapan.
“Usman Syarif.” Akhirnya nama yang kutahan di kerongkonganku keluar begitu menyakitkan.

Asrul, Tukang Ojek yang kuajak ke Bukit Lampa masih menunduk, matanya menari-nari ke tanah. Lantas, salah seorang opsir itu menyuruh mengangkat wajahnya yang dipenuhi lobang bekas jerawat. Secepat kilat tangan opsir itu melayang ke wajahnya lalu menyusul ke arahku.

“Anjing!” Bentak yang lainnya.

Setelah puas menggertak kami, dengan langkah terlatih mereka beranjak pergi. Meninggalkan kami yang nyaris mengeluarkan najis dari celana. Dari jauh kuperhatikan langkah mereka begitu cepat. Pikiranku kian kacau melihat rute yang mereka lalui sama dengan rute yang sebentar lagi kami lewati, hanya jalan itu satu-satunya ke Bukit Lampa. Hatiku kian tak tenang.

Asrul sibuk mengengkol motor bututnya itu. Aku menyalakan korek api untuk melihat kerusakan, dia mencabut busi, setelah dibersihkan dengan nafasnya benda vital itu dimasukkan kembali. Lalu dia mengengkol. Majis, motor itu kembali ke keadaan semula! Setelah menempuh jalan bebatuan dan menaiki beberapa tanjakan. Akhirnya kami sampai di rumah guru ngaji kami. Rumahnya terletak di simpang Bukit Lampa diapit bukit-bukit kecil yang nampaknya sedang menanti malapetaka. Kesunyian telah merenggut kedamaian mereka. Kedai-kedai kecil tutup. Menasah sepi. Barangkali penduduk kampung itu sedang meringkuk di dalam rumah mereka sambil menebak-nebak petaka yang bakal terjadi.
Beliau membuka pintu perlahan-lahan. Dengan suara kecil seperti orang berbisik menyuruh kami masuk.

“Tidak ada kendala ke sini?” tanyanya masih dengan suara kecil.
Spontan Asrul menjawab, “ gawat Teungku, kami ditampar oleh tentara jahanam itu,”
Guru ngaji kami itu terkejut. Matanya menatap tajam ke arah Asrul.

“Sesudah itu, ke mana mereka pergi?” tanyanya lagi dengan nada gugup.
“Barangkali ke arah sini, Teungku.” Jawab Asrul sambil merapikan rambutnya.

Beliau memerintahkan anak bininya masuk ke kamar. Kini tinggal kami bertiga diliputi kecemasan. Andaikata Teungku tahu, aku pernah menyebutkan namanya kepada para tentara itu maka bisa kupastikan sikap lembutnya akan berubah. Bahkan waktu itu juga aku diusirnya. Tak ada jam di dinding rumahnya, hanya sebuah poto usang dia dan istrinya tertempel rapi di dinding papan penuh noda. Tetapi bisa kupastikan malam belum begitu larut.

Di sela-sela menikmati rokok ditemani teh hangat terdengarlah suara ketukan pintu begitu keras. Aku melirik ke arah wajahnya yang mulai pucat. Kaki kecilnya bergetar, kedua tangannya memegang erat-erat kaki kursi. Aku dan Asrul saling menatap, hidungnya mengembang menutupi kedua matanya yang sipit. Akhirnya daun pintu terbelah dua dan terjatuh berkelontang di atas lantai dengan mendadak seorang lelaki gagah, wajahnya penuh dengan coretan, di bahunya tersampir tali senapan serta merta menyeruak masuk ke dalam rumah. Dia langsung menohok dada Teungku, membuat pria kurus kering itu terhuyung-huyung ke dinding. Aku merapat ke sisi Asrul, memegang tangannya yang kedinginan.
Secara bersamaan lima prajurit, yang kami jumpai di jalan, merangsek masuk. Mata sipit mereka menelisik setiap sudut rumah teungku dan beralih ke lelaki alim itu yang sedang memegang dadanya.

“Haram jadah, anjing, setan tak beradab! Disini kau rupanya!” Prajurit yang tak kenal malu itu berkata-kata seperti kesurupan. Mereka menyeret kami keluar. Aku melihat tubuh teungku begitu ringan, dia melayang hingga terjerembab ke dalam lumpur.

“Kau Usman Syarif?” Tanya yang lainnya.

Beliau terdiam. Ujung sepatu opsir itu mendarat mulus ke wajahnya.

“Jawab anjing!”
“I...ya...” suara yang keluar terasa begitu menyakitkan.

Tidak ada orang lain selain kami di malam itu. Penduduk Bukit Lampa tidak berani keluar meski sekedar melihat penderitaan yang sedang kami alami. Setelah pengakuan itu mereka dengar. Aku dan Asrul tidak lagi menjadi perhatian mereka. Kami hanya mampu menunduk sembari melihat tangan-tangan jahat sedang menghantam wajah bulat tengku. Lalu sarung dan baju koko hadiah dari kami mereka copot. Dalam temaram kampung Bukit Lampa aku bisa melihat tubuh ringkihnya itu ditinju-tinju. Selembar triplek berukuran setengah meter terikat di dadanya lalu dengan leluasa mereka kembali mendaratkan pukulan serupa petinju yang yang sedang latihan dengan sasananya. Beberapa saat kemudian beliau terjatuh di atas tanah keras.

“Mana geng kau, Keparat?” Kata serdadu itu sambil mengangkat dagu beliau dengan ujung sepatu bootnya.

Aku memandang tanah lalu perlahan-lahan kembali melirik wajah beliau yang berlumur darah. Matanya mengembang. Dua orang berseragam itu mengangkat tubuh lemasnya. Lalu menusuk sangkur tepat ke jantungnya dan mendorong hingga Teungku terjatuh lagi. Aku melihat mulutnya mengeluarkan darah dan tak bergerak lagi di bawah sinar bulan cerah.
Melihat suaminya yang hampir khatam. Istrinya yang sedang berdiri di tangga meloncat-loncat sambil menangis sejadi-jadinya. Sekalipun suara tangis bisa meluluh lantakkan bukit-bukit di dekat rumahnya tetapi tidak dapat menghentikan penderitaan suaminya itu. Bahkan sebagian dari mereka masih juga meninju-ninju tubuh tengku yang tidak bernafas lagi. Darah tumpah berserakan di atas rumput kecil di halaman rumahnya. Selang beberapa saat mereka beranjak pergi menembusi bukit-bukit kampung Bukit Lampa. Kami tak berdaya, selain melihat kejadian itu dengan mata penuh darah. Tubuh tengku berlipat, tulang tubuhnya nyaris patah. Aku mendekat lalu menutup kedua matanya. Mereka benar-benar gila!

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Sort:  

Seperti yang sudah-sudah fiksi bg @abduhawab selalu menjadi inspirasi pun motivasi buat saya dan buat semua, saya sangat tertarik mendalami fiksi tapi sepertinya saya masih butuh waktu lama untuk mewujudkannya

Keren ni tulisan...👏👏🙏🙏

Kebiadaban yang terjadi dulu masih saja melekat di dada bak lem super.
Masih saja terngiang bedil senapan dan cadasnya hulu ledak milik pt pindad.

Pastilah kita, sebagai orang Aceh punya mental sekuat batu karang.
Merekalah yang menempa kita.

Nasib baik kita masih bisa bernafas.
Tapi luka ini masih saja menganga.

Tulisan yang sangat hayeu bang🤘🤘🤘🤘

Cerita yang sangat bagus, menakutkan sekali..., apakah ini cerita di masa darurat militer...?

Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by abduhawab (koffieme) from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.

If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.

Pemberontak itu pasti bersenjata, mungkin karena itu Asrul dan temannya, tidak berani melawan, sampai tengku babak belur dihajar para pemberontak tersebut.

Saya jadi teringat masa konflik Aceh ketika membaca fiksi yang bang @abduhawab bagikan ini😢

Pembukaan narasinya pas x ma pengalamanQ bbrp waktu ini bg, keretaQ mogok hahaha...
Mantap bg 👍👍👍

Cerita yang mengerikan, sangat kelam di masa lalu. Tak ada ketengan dalam keseharian. Semoga tidak terjadi lagi.

Many beautiful posts. Your photography is not compared. Hope you post a better picture of us.

Selalu saja aja ada luka setiap membaca bait-bait yang seperti tertulis, padahal sudah berjanji untuk tidak menyimpan memori itu tapi...

Posted using Partiko Android

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 62864.56
ETH 2538.87
USDT 1.00
SBD 2.93