Membaca Maskirbi || Luka POMA sebagai Kenangan
tentang Maskirbi
Seperti terpancing ketika melihat postingan di dinding facebook bang Syarif Aliza (Syaraifuddin Aliza), foto wajah buku Luka POMA Maskirbi. Spontan saja saya komentar, bahwa Insya Allah akan saya tulis. Tentu saja terfokus menulis di @steemit yang selalu merangsang untuk menulis tentang apa saja. Postingan Bang Syarif sengaja atau tidak sengaja telah memberi sebuah inspirasi, salah satu ide untuk menulis, sementara masih mencari apa yang akan ditumpahkan di media yang semakin trend itu. Sangat berterimkasih, para senior, rekan-rekan, abang-abang, kawan-kawan di @steemit, selalu saja menjadi “api” membakar semangat untuk menulis.
Wajah
Tidak bermaksud kembali ke romantisme masa lalu dalam menulis ini, hanya sekilas kenangan untuk menapak ke depan, agar tidak semakin terlupakan. Proses berkesenian masih melekat dan menjadi pondasi menghadapi kegamangan hari ini dan entah ke depan.
Setelah beberapa tahun terjadinya gempa dan Tsunami 2004 yang hampir “melenyapkan” Aceh. Segala bantuan berdatangan dari segala penjuru dunia dan tumpah ruah di negeri Aceh. Alm. Bang Doel Cp Allisah bersama ASA (Aliansi Sastrawan Aceh) mendapat bantuan aliran dana dari BRR melalui Direktorat Budayanya. Niat baik Bang Doel dan ASA, menerbitkan 10 buku-buku para sastrawan Aceh. Mengingat pada tahun 80an sampai 90an, para seniman sangat sukar dan langka menerbitkan bukunya. Bantuan ini adalah kesempatan yang tidak di sia-siakan.
Proses kurasi sudah selesai. Dari sepuluh buku sastra yang terbitkan, salah satunya adalah buku “Luka POMA” Maskirbi, barangkali judul buku yang terinspirasi dari Naskah Teater karya Maskirbi “POMA” (Luka Ibu Kita).
salah satu halaman
Buku “Luka POMA” cetakan pertama pada Mei 2007, Alm. Doel CP Allisah sebagai editor. Penata letak oleh Erwinsyah. Covernya di rancang oleh @afeed. Teuku Afifudin-Myblue Design. Berisikan Sambutan dari ASA, dalam sambutannya sangat bersyukur telah terbit buku ini, namun juga menjadi ironi, seperti keluhan, ada beberapa seniman masih merasa “demam” terkena aliran dana asing, lalu memasang tarif honor yang “mengagumkan”. Padahal baru “berlayar” katanya. Lalu disusul sambutan dari Direktorat Budaya BRR. Mengakui segala kekurang dan kelemahan dalam buku yang sederhana ini, sangat mengharapkan kritikan yang konstruktif, menjadi pedoman untuk memperbaikinya ke depan.
Selain daftar isi, ada juga tulisan dari adik kandung Maskirbi yang berdomisili di benua biru, eropa, negeri Jerman, Razlina. Menuangkan segala kenangan dalam catatatnnya, tentunya sangat mengharu-biru. Maskirbi juga menjadi korban tsunami, Mendoakan semoga ditempatkan di Jannatunaim. Aamiin
Pentas telah usai. Theater Arena TIM Jakarta
Selanjutnya membaca naskah “POMA” (Luka Ibu Kita), sambil membayangkan proses latihan Teater MATA di Taman Budaya beberapa tahun. Sebelum melemparkan naskah POMA ini kepada para aktor dan aktris. Kami sempat latihan beberapa naskah klasik karya seniman dunia, seperti “Antigone”, karya Sophokles, seniman Yunani, hingga “Hamlet” karya W. Shakespear seniman Inggri juga terhenti. Pada suatu malam Almarhum Maskirbi “melemparkan” Naskah POMA kepada. Kami terkesima membaca naskahnya. Lalu alm. Maskirbi menjelaskan konsep garapannya. Ternyata non realis lebih ke surialis, karena banyak memakai simbul pada isi teks atau dialog. Juga spetakel sarat simbul. Seperti artistik/dekorasi, wardrobe/kostum, property, handprop rencong juga kain merah sebagai pertanda benang merah menjalinkan emosi setiap dan antar pemain. Spektakel hidup, seperti aktor dan aktris dituntut harus banyak bergerak, tentu dengan gerak simbolik.
Poster ketika di TIM
Keinginan sutradara harus tercapai pada tubuh si aktor/aktris, adalah tugas Mas Bambang lulusan Jurusan Tari ISI Surakarta “mempermak” dan “menyiksa” kami, begitu tertantang melenturkan raga kami, apa yang kami alami sangat bermanfaat, tidak saja pada naskah ini, tapi juga untuk naskah lainnya dalam berbagai bentuk garapan.
Perjalanan proses latihan selesai, Naskah “POMA” (Luka Ibu Kita) telah dipentaskan di Taman Budaya dan RRI Banda Aceh 1993/1994. Di Theater Arena Taman Ismail Marzuki Agustus 1994. Purna Budaya, Yogyakarta 1995 dan Theater Arena Taman Budaya Surakarta, bertepatan dengan peristiwa budaya “Refleksi Lima Puluh Tahun Indonesia Merdeka”, ini peristiwa sulit dilupakan, setiap aksi seni saat itu, selalu “merinding”. Di Auditorium Sunan Ambu, STSI (sekarang ISBI) Bandung, 1996. Festival Teater Indonesia.
poster dan foto dokumentasi Agam Ilyas
Sangat terganggu membaca bagian akhir naskah dalam buku ini, ada dialog yang terputus antara dialog ulee Balang dengan Tabeu. Juga terpotong antara dialog Poma dengan anaknya In. ini sangat membuyarkan interpretasi para pembaca. Memang terkesan buru-buru atawa kejar tayang menerbitkan buku ini. Namun terlepas semua kelemahan dan kekurangan seperti yang tertulis pada sambutan pendonor di atas tadi. Paling tidak telah tersimpan beribu kenangan dalam buku ini.
Pada akhir buku ini tertera juag beberapa puisi Alm. Maskirbi yang terbit di Ruang Budaya Harian Serambi Indonesia, pada hari minggu, hari bencana besar itu yang mengantarkan Maskirbi bersama keluarga, berkubur laut, bernisan batu karang. Berikut puisinya
Wahai
Jangaan padamkan rinduku, wahai
Walau dihempas badai
Agar aku tak sangsi
Bangkitlah dari segenap lalai
Sebelum waktu tak lagi menjadi waktu
Bangkitlah dari segenap mimpi
Sebelum tidur tak lagi menjadi tidur
Banda Aceh, 5 Juni 2004
puisi terkahir terbit di HSI
Kalau kenangan ini menjadi rindu. Selalu mengirim doa
Banda Aceh, 19 Februari 2018
Zulfikar Kirbi || @zulfikark-kirbi
Terimakasih telah meletak nama saya, wahai paman sejuta keponakan...
Sama-sama @afeed semua nama tertera dalam buku. Insya Allah tercatat juga oleh malaikat heehee
Saleum
Allahuaghfirlahu warhamhu.....
Sar masih ingat pesan-pesan beliau setiap bertemu akan shalat jumat di Mesjid Taqwa Muhammadiyah Jl. Achmad Dahlan No. 7 Banda Aceh.
Beliau selalu tampilkan kesederhanaan dan khas. Pernah kami buat pelatihan musikalisasi puisi...
Beberapa bait yang masih Sar ingat:
Wahai...
Aku makin lemah, menghafal bait-baitmu
Di ruang yang Maha ruang yang tak berbatas Wahai...
Tak berbatas bulan, tak berbatas matahari
Tak berbatas bumi, tak berbatas awan, tak berbatas mega
Tak berbatas wahai...
Di ruang Yang Maha Ruang
Yang tak berbatas Wahai....
ya Musikalisasi Puisi ini iramanya terus menanjak sampai Wahai
beliau telah berada di Ruang Yang Terbatas
Alfaatihah
Alfatiha buat sahabat saya yang semoga kini bahagia di sisi Allah, Doel CP Alissah.
Aamiin.kirim doa hal yang paling baik.
Salam
Al-fatihah utk almarhum
Mantap,,, pak,