Gadis Kayu Bakar (Eps #1)

in #esteem6 years ago (edited)

dyjv07156b.png
Sumber Photo Pixabay

Episode #1: Di bawah rimbun pinus

...aku melihat sesosok makhluk mengerikan, kulitnya terkelupas hampir di seluruh bagian belakang tubuhnya, tapi yang buat aku terkejut adalah mukanya yang berlumuran darah segar, masih meleleh...


Terpaku dalam alunan gitar dan biola yang mengiringimu membaca sebait puisi yang apik dari Mbah Sapardi, iya rumah siput yang ada di dalam lubang telingaku, meski penuh dengan gumpalan coklat yang jarang kubersihkan tetap saja menerima geteran suaranya dengan sangat bersemangat. Hingga otakku memerintahkan seluruh indera untuk berhenti sejenak memikirkan tugas Geometri Ruang yang sudah membuat sumpek kepalaku yang berambut gondrong acak kumal.

Aku kenal sekali dengan puisi ini, meski aku bukan orang sastra tapi jelas sekali jika puisi ini indah dan kental dengan nuansa putus asa akibat cinta tak sampai. Betapa aku mengatakan jika puisi ini sebagai jelmaan cinta tak sampai coba simak larik-lariknya ini; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Lha wong udah jadi abu, kapan mau diucapkan!, dasar kalo udah jatuh cinta hilang samua logika. “Sungguh aku tidak ingin memiliki cinta yang demikian”. Gumamku lirih sambil terus menatapmu dalam balutan kemeja cream dan celana bahan longgar warna abu-abu, bertambah anggun dengan jilbab biru muda. Sementara engkau tidak bakal tahu jika aku memperhatikanmu dengan takjub. Bibirmu masih terus merapal mantra indah jelmaan puisi Mbah Sapardi…

AKU INGIN

“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

― Sapardi Djoko Damono

Sumber

Itulah pertama sekali aku melihatmu, memperhatikanmu dari jauh sudah cukup membuatku menyukai ritme suaramu, sorot matamu yang tajam jernih dan ceria. Penuh semangat dan harapan. Itu setahun yang lalu dalam acara penyambutan mahasiswa baru fakultasmu. Kalau fakultasku, aku juga bingung untuk menyebutnya apa. Jikapun kusebutkan di sini, pastilah mereka dengan beringas tidak akan mengakui keberadaanku.

Pandanganku masih tertuju pada gemulai tanganmu mendeklamasikan bait-bait indah itu. “Ah tidak ada cinta yang sesederhana itu, hanya omong kosong yang sudah puluhan kali kudengar tapi akhirnya menghancurkanku menjadi debu dan dilupakan seperti ikan asin”. Batinku ketika mendengar lantunan puisi itu. Jelas aku sadar siapa penulis puisi itu, seorang yang sangat kuhormati malah. Beliau menulisnya dalam waktu 20-25 menit mungkin, sesuai dengan pengakuannya sendiri lho, bukan karangan akal sepenggalku.

Tapi itulah yang menyihirku untuk lebih lama berdiri menikmati setiap alunan diksi yang kau baca ketika itu. Entah karena diksinya yang kuat atau aura keanggunan dalam suaramu. Yang jelas membuatku mengingatmu sampai beberapa minggu kemudian. Lalu angin membawamu ke negeri entah yang jauh dari ingatanku.


Aroma kopi yang menggetarkan ujung-ujung saraf olfaktori-ku dari dapur penyeduhan kopi sebuah warkop yang lumayan terkenal di kota ini. Jikapun boleh kusebutkan sekarang kotaku ini sering sekali dinobatkan menjadi Negeri Seribu Warung Kopi. Tapi aku lebih ingin menyebutkannya sebagai Negeri Sejuta Impian Kandas. Betapa tidak, setiap tahun ribuan mahasiswa/mahasiswi yang datang dari seluruh pelosok untuk menimba ilmu dikota ini. Sayang sungguh sayang, kebanyak mereka malah kehilangan timba-nya, tau tali timbanya dimalingin orang. Alhasil, ilmunya gak ada yang dapat. Tapi setidaknya cukuplah sebagai tempat mencari jodoh, itupun jika mereka lebih beruntung dariku.

Sudah sedari tadi kawan di depanku berkoar tentang reseksi dan interseksi, penggunaan kompas dan peta topography untuk 2 orang junior yang semeja dengan kami. Aku hanya diam saja, toh mereka juga tidak tahu jika aku sering main petak umpet dengan babi hutan di ketinggian yang berkabut dan rinai gerimis. Ahhh…itu memang sudah kuanggap rumah, meski aku tidak punya foto karena memang aku tidak memiliki kamera. Pun jika ada kamera, aku juga tidak ingin pamer masalah persenggamaanku dengan beberapa gunung disini.

Omong kosong yang sangat kosong menurutku jika yang dia bicarakan ini gampang sekali diterapkan. Setauku dia sendiri tidak pernah kudengar mendaki gunung hanya bermodalkan kompas dan peta topo dengan skala 1:25000. Secara teori sih gampang banget ya, tapi pernahkah terpikir oleh mereka ini jika orientasi medan dengan cara reseksi dan interseksi tidak akan pernah berhasil jika kondisi sedang berkabut atau sedang berada di lembahan dengan jarak pandang yang sangat terbatas. Serius broo, aku udah alami sendiri, berkali-kali malah, jika aku harus memakai orientasi medan jarak dekat dengan membaca kontur. Atau malah menggunakan system man to man kompas untuk selalu memperkirakan jarak yang telah aku tempuh sehingga aku tidak terlalu bingung mencari tahu posisi terakhirku di peta.

Perhatianku seketika tersedot mendengar pembicaraan meraka tentang hutan pinus yang menentramkan sebelum mencapai sebuah puncak X yang disebutkan meraka. Aha…aku sangat menikmati lokasi itu, sering kali kupilih untuk tempat membuang lelah dan penat dalam pendakian 2 hari ke puncak itu. Bahkan aku pernah menginap disana sampai 2 malam hanya demi menikmati desiran angin di pepucuk dan balutan kabutnya yang begitu magis, sampai-sampai aku menganggap jika aku tidak sedang di negeri ini. Tak pelak, sebuah ingatan 6 bulan lalu menyeruak kembali segar…


ubs3qfrxwy.png

Sumber Photo Pixabay

Jelang sore aku mencapai hutan pinus sekitar 1 km sebelum puncak, cuaca cerah dengan sulur-sulur cahaya menembus celah-celah daunan dan cabangan pinus yang tumbuh rapat. Agak jauh di sebelah kanan jalur pendakian terdapat anak sungai yang berair jernih mengalir di antara bebatuan berlumut hijau. Gemericik ratusan air terjun mini, membuat setiap orang betah berlama-lama untuk menikmati keasrian alam ditingkahi orchestra burung-burung kecil bernyanyi riang. Kesanalah aku sedang menuju dengan tetap tanpa suara iya langkah yang mengecup setip mili tanah yang terjejak, ke sebuah batu tempat favoriteku duduk sambil merendam kaki.

WTF…, seorang bidadari sedang menguasai singgasanaku, dan menikmati setiap sensasi sebagai tuan putri cantik di tengah belantara. Hancur sudah harapanku, aku terlambat sampai. Memang aku yang naik sendirian sempat mendengar suara-suara percakapan yang riang penuh canda di alur kecil, tapi tidak menyangka bakal ada yang duduk di atas batuan sebesar gajah yang pemukaannya rata di tengah alur kecil itu, mungkin lebarnya hanya 5 meteran. Tapi tidak kali ini, seseorang sedang duduk tepat di tempat yang biasanya kutempati.

Si cantik itu duduk santai sambil menengadahkan wajahnya ayunya ke pepucuk pinus yang ditingkahi cumbu angin gunung yang mendayu merayu. Teman-temannya agak jauh, tapi mereka melihat kedatanganku dalam diam, wajar karena mereka semau perempuan dan tidak satupun kukenal. Kuletakkan Solaris 65 literku dan duduk berselonjor di pinggir sungai yang bersih dan ditutupi dedaun pinus yang sudah menebal, sofa paling empuk sejagat untukku. Kebiasaanku berjalan dalam diam di hutan sering membawa keberuntungan untuk bertemu makhluk-makhluk cantik seumpama babi hutan dan beruang madu, tapi inilah makhluk paling indah yang pernah kutemuai akibat kebiasaanku berjalan dalam diam. Kulepaskan Eiger Pollock (jenis sepatu tracking) dan kaos kaki yang jempolnya sudah bolong.

Tak ingin kusia-siakan kesempatan menatap makhluk cantik di atas batu yang hanya berjarak 3 meter di hadapanku. Wajah tirus kuning langsat dengan alis tebal bertaut di pangkal hidungnya yang mungil mancung tepat berada di atas bibirnya yang tidak terlalu tebal. Terlihat dia sangat menikmati kesendiriannya. Mungkin sedang menunggu wangsit kali ya. Tapi aku serasa pernah melihat gadis ini, tapi…..

Oiw oiw…rupanya si gadis “kayu bakar” yang membaca puisinya beberapa bulan lalu di kampus, yang berhasil menyita sejenak perhatianku. Ya aku telah memberinya nama gadis kayu bakar karena puisi Mbah Sapardi yang lariknya kupahami sebagai sebatang kayu yang dimamah api. Jadilah dia kayu bakar, yang sebentar lagi juga akan menemani malamku yang berkabut tipis dengan nyala kecil dan geretakan sebagai tanda jika ia telah menjadi bara yang menghangatkan udara. Aku hafal betul jika sorenya cerah, maka akan ada kabut tipis menjelang gelap di hutan pinus ini.

Melihat kehadiranku, dua teman si gadis kayu bakar ini mendekat, mungkin dalam bayangan mereka aku adalah hantu gila dari hutan belantara sekitar tempat ini. Salah satu kawannya yang jangkung berkulit sawo matang langsung berteriak sesampainya kedekatku, “Indri!, kau ada tamu ni”. Ahaa…namanya Indri. Prefect dah!.
Indri si kayu bakar menoleh agak terkejut menatap kearah panggilan tadi, tapi lebih terkejut melihat kehadiranku disana. Apalah daya nasibku yang hanya bisa diam seolah cuek menatap aliran alur kecil menuju negeri entah yang jauh.

Dua kawannya mendekat, dan aku menatap kearah mereka sambil tersenyum sebisanya. Sekonyong-konyong kubuka plastic rokok kretek nomor 1 kesukaanku di gunung. Ini panamas bung!. Pelan aku membakar polusi kecil sambil menghisapnya pelan, seketika polusi kecil dari mulutku menerbar dan hilang diterbangkan angin sore yang membawa kesegaran bagi jiwaku.

“Sendiri aja bang?”, sapa si jangkung sexy. Sambil menatap tajam. Dari caranya menyapa dan menatap kearahku, kupastikan jika dialah pemimpin geng cewek tangguh ini. Suaranya tagar tegas tapi santun sambil mengira-ngira dan menilaiku.

“Iya sendirian aja kak”. Jawabku singkat dengan senyum seadanya, tanda menjaga kesopanan.

“abang ngekem dimana?, kem kami disana”. Lanjut si jangkung sambil menunjuk ke balik pepohonan pinus sekitar 40 meter, aku melihat ke arah yang ditunjukkan oleh si jangkung sambil mengangguk sopan.

“Iya saya disini aja, enak dekat sumber air”, sudah sekian lama kebiasaanku tidak lagi membawa jerigen air besar, kalaupun aku bawa, hanya jerigen kecil 2.5 l untuk keperluan menyimpan air sementara selama bermalam dan sedikit air dalam perjalanan.

Aku mulai bersiap membangun shelter dari flysheet tahan air ukuran 3x4 berwarna hujau kamufalse. Membentangkan matras dan mengatur perlengkapan serta menyiapkan kompor trangia buatan swiss hasil pinjaman dari kawan dekatku. Aku sadar mereka bertiga
memperhatikan apa yang kulakukan. Selama mereka tidak bertanya, tidak ada alasan untukku menjawab. Bukan sombong, tapi agak segan memulai percakap, nanti dikira mau sok akrab. Mungkin saja dalam hati mereka; kenapa gembel gunung ini gak bawa kawan ya.

Dalam 20 menit semua terlaksana, kecuali beberapa tali di ujung flysheet yang belum terikat dengan rapi. Terkejut melirik si gadis kayu bakar Indri dengan cekatan meraih tali flysheet yang berlawanan dengan tali yang sedang kupegang, dia mengikatnya dengan simpul tiang yang rapi. Dan dua kawannya langsung ikutan membantu.
Mereka bercakap dalam bahasa yang agak beda dengan kebanyakan gadis-gadis kampus seusia mereka, kedua kwannya ini meski bercanda tapi tetap sepon sekali kepada Indri si gadis kayu bakar. Akhirnya semua kelar, kuputuskan untuk mendidihkan air guna membuat kopi, rasanya begitu nikmat jika menikmati kopi sore dalam belaian sopoi angin dan selimut hening.

“Bang, kami pamit balek ke kem dulu ya”, Indri membuka percakapan. Sambil hendak beranjak dari tendaku yang baru siap. Naluriku langsung bicara, “Woi El, ini kesempatan lu kenalan dengan dia”.
“Indri, kita ngopi atau ngeteh dululah disini”, secepat processor 16 gb mencoba membaca list logistic dalam benakku. Yup, the celup lipton ada kok. So gak masalah jika mereka ingin minum teh.

“Oii mak, syukuran rumah baru ya bang”, sambut Indri dengan sedikit bercanda. Tapi nampak jika Indri orangnya sangat welcome dan percaya diri. “Okelah bang”. Pungkasnya sambil menebar senyum seanggun peri hutan si Maleficen.

Tak makan waktu lama, keceduk semangkuk air dengan mangkok trangia lalu hinggap di atas api biru hasil pembakaran sempurna spiritus. Menunggu airnya mendidi, kuhidupkan MP3 dengan suara yang kusambungkan ke speaker mini, langsung kustel dengan alunan “Lagu Pemanjat”-nya Bung Iwan Fals.

Voala …tak kusangkan si gadis kayu bakar spontan mengikuti diiringi goyangan kepalanya sambil terus membeo dengan suara sexynya;

Antara hidup dan mati
Takkan pernah aku kembali
Niatku sudah terpatri
Antara hidup dan mati

Darah kering hati batu
Diikat tali kehidupan
Rasa takut dan ragu-ragu
Mengundang dewa kematian



Rupanya ini gadis juga menyukainya, sangat menikmati bahkan, hingga di reff;

…terus melambai-lambaikan tangannya
Memanggil aku untuk terus memanjatinya…
Kehidupan yang penuh dengan misteri…

Benar-benar larut dalam setiap lirik lagu bung Iwan, aku hanya memperhatikannya sesekali sambil tersenyum tanpa komentar.
“aku suka lagu ini, dan satu lagi sang petualang dari Kantata Taqwa”, jelasnya tanpa kuminta. Aku mengiyakan sambil tersenyum, antara senang dan sedih. Senang karena kami sejiwa. Sedih karena mungkin ini adalah perjumpaan pertama lalu hilang dalam perjalanan waktu menuju kepada tiada. Dan airpun sudah mendidih, ditandai dengan asap yang mengepul dari teko di atas trangia.

“Bang, biar kami bantu aja ya”. Si jangkung sexy menawarkan bantuan, tapi dengan halus aku menolaknya.

“Gak usah kak, biar saya aja. Kalian mau minum apa nih, kopi Aceh atau teh?”. Ujarku menawarkan pilihan yang ada.

“Kami teh aja, Indri tu yang suka kopi”. Sergah si jangkung sexy, sementara kawannya si hitam manis, hanya senyum simpul tanpa komentar, tapi lesung pipinya sudah cukup memberi kesan ramah dan menyenangkan.

“Gak usah pake gula ya bang”. Indri sudah selesai mengikuti bung Iwan fals. Hmm. Selera kopi juga sama persis, gak pake gula men!. Masalahnya adalah aku tidak bawa cangkir extra.

“Maaf, kalian ada gelas gak, saya cuma ada satu nih”. Pintaku agak tidak enak hati, tapi harus kulakukan karena tidak mungkin kami membagi satu gelas untuk diisi kopi pahit dan teh manis bercampur aduk.

“Tari, tolong ambilkan gelas kakak ya dek”, pinta indri ke si hitam manis berlesung pipi. Ternyata namanya Tari, Tari bergegas melangkah ke arah tenda doom warna orangen “storm series”. Tapi Indri agaknya baru ingat sesuatu dengan sertam merta mengingatkan si jangkung sexy, "Octa, wafernya simpan dimana?, anak ni ngopi pake wafer creamy.” Oh…Octa batinku sambil pura-pura tidak mendengar.

“Oh iya, aku ambilin aja, Tari juga bakal bingun bongkar carrierku”, Octa juga beranjak berpapasan dengan tari yang sudah membawa 3 cangkir extra.

Kusiapkan cangkirku dengan cangkir Indri untuk kopi Aceh, satu sachet percangkir dan setengah teko air akan cukup untuk di cangkir kopi pahit yang nikmat. Semetara setengah teko sisanyanya aku masukkan teh lipton, kuaduk sesaat dengan sendok. Lalu aku memasukkan gula kedalam cangkir Octa dan Tari sebelum kutuangkan teh yang sudah siap didalam teko.

Indri tidak sabar menunggu Octa yang sudah agak kelamaan mengambil cemilan wafer dari tenda, “Octa, qe cari wafer ke pante perak apa di tenda..!”, Octa tidak menjawab. Indri bangkit dan cepat menuju tenda, terlihat tidak sabaran.

Tiba-tiba Indri berteriak memanggi Tari, “Tari kemari bentar, cepat..!!, Octa nih…” Tari reflek berlari kearah tenda. Spontan mataku mengikutinya, dan melihat ke arah tenda mereka. Aku ikut merasa cemas.

Aku turut bergegas menyusul Tari setelah mematikan api trangia yang masih menyala. Terkejut melihat Octa tergeletak pinsan dipangkuan Indri, aku tidak bertanya lagi, langsung saja mencari tanaman sejenis mentol yang berbau tajam yang banyak terdapat di huta pinus ini. Kuberikan daun itu ke Tari untuk di remas ke hidung Octa. Tari juga mencari minyak kayu putih dari saku carriernya, Indri memijit kening Octa dengan minyak kayu putih yang diberikan Tari sambil terus memanggi nama Octa.

“Octa…, bangun Octa…, Octa….Octa…”, 5 menit kemudia Octa membuka mata tapi langsung memeluk Indri sambil menangis terisak.
“Octa, coba cerita apa yang terjadi?, kenapa kamu pingsan tadi?. Tari tolong ambil teh manis tadi”. Pinta Indri ke Tari yang sedari tadi juga bersimpuh sambil memijit tangan dan kami Octa. Tari segera bangun menuju shelterku, selang 2 menit sudah kembali dengansegelas teh manis yang tadi kubuatkan untuk mereka. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 40 meter dari tenda mereka. Pelan sekali Octa menguk teh manis.

m360c5d4wa.png
Sumber Photo Pixabay

Aku mematung memperhatikan Octa, tangannya masih gemeter dan wajahnya masih pucat. Terlihat masih takut dan pucat. Sesekali aku mengedarkan pandangan sekeliling memperhatikan setiap anomali tertentu di antara pepohon pinus dan semak belukar raspberry liar yang banyak terdapat disana. Berharap menemukan sesuatu apapun itu, tanda sekecil apapun untuk mendapatkan petunjuk tentang apa yang baru saja terjadi.

“Indri…, kita pindah ke tendanya abang ini aja yuk, aku takut sekali, swear aku takut banget kali ini. Belum pernah aku percaya hantu dalam hidupku. Tapi yang aku lihat barusan itu benar-benar ngeri kali. Tadi pas aku lagi cari wafer, tetiba aku melihat sesosok makhluk mengerikan, kulitnya terkelupas hampir di seluruh bagian belakang tubuhnya, tapi yang buat aku terkejut adalah mukanya yang berlumuran darah segar masih meleleh. Mahkluk itu mirip sekali dengan manusia, tapi bagian bawah tubuhnya hanya tertutup daunan dan sejenis kulit kayu aja. Aku gak tau dari mana dia datangnya. Selanjutnya gelap”.

Tubuh dan seluruh sarafku menegang, khawtir dan gelisah bercampur aduk. Aku melangkah kearah yang ditunjuk Octa, berusaha mencari sesuatu untuk kujadikan petunjuk, jejak sekecil apapun akan sangat membantu dalam kondisi seperti ini. Aku berjongkok dan berusaha menemukan sesuatu di atas tanah yang tertutup lidi-lidi yang merupakan daun pinus. Akhirnya yang kuharapkanpun terlihat, 2 tetes darah yang membeku di atas daunan pinus coklat muda, kental dan masih berbau tajam. Kuperhatikan sekeliling lebih tajam lagi, untuk menemukan jejak yang lain. Terlihat sama ada dedaun pinus yang terserah secara teratur menuju satu arah, kumiringkan kepala sejajar lutut untuk memastikan arah jejak. Tidak salah, ini jejak langkah yang agak terseret sehingga menyeruak daunan pinus yang menutupi tanah dengan interval jarak yang hampir sama. “Aku harus bergegas, sebelum terlambat, agaknya dia terluka parah oleh sesuatu”. Benakku mengkalkulasikan kemungkinan yang bisa terjadi padanya. Aku semakin khawatir begitu menemukan bercak darah kental sebesar jempol kaki.

“Indri, sebaiknya kalian pindahkan tenda kalian ke dekat shelterku, disana masih lapang. Kalian tidak perlu khawatir, tempat ini aman. Yang Octa lihat tadi bukan hantu, tapi sahabat dekatku yang tinggal agak dekat dari sini, di lembah arah alur ini mengalir”. Aku harus menyusul dia, kemungkinan dia butuh pertolonganku. Oh ya namaku Joe, aku balek nanti mungkin sebelum waktu Insya. Kalian istirahat aja”.

Secara singkat aku menjelaskan kepada mereka siapa yang Octa lihat, untuk memastikan mereka tidak takut dan khawatir.

“semoga meraka tidak takut lagi”, harapku.

Segera aku bergegas ke tenda, mengambil daypack kecil dan mengisi beberapa perlengkapan penting dan obat-obatan yang mungkin akan aku perlukan. Juga perbekalan makanan setengah dari yang aku bawa. Kusandang “Tramontina” (golok tebas brazil) di sebelah kiri dan “kukri” (pisau tradisional Nepal) kuikatkan ke paha kanan. Tak lupa aku mamastikan firestrob buatan sendiri, flinstone dan dan headlamp petzl kedalam survival chest bag.

g7hfiqfnza.jpg
Kukri di bagian atas dan Tramontina di bagian bawah

Tanpa memperdulikan pandangan meraka, aku bergegas melakukan tracking jejak yang masih bisa aku ikuti. Penuh harap dan khwatir, ingin segera melihat sahabatku si pertapa.


Sesuai janjiku, sebelum insya aku sudah sampai kembali ke sheler. Kecemasan jelas tergambar di wajam mereka bertiga ketika aku tiba kembali ke shelter. Tapi Octa sudah terlihat lebih baik, sudah mulai tersenyum.

“Hai…udah pada makan belom?, sapaku sambil mendudukkan pantat di atas dedaun pinus”. Tenda mereka sudah terang dengan lampu tenda produk Eiger yang keren itu. Mereka menyambut ketibaanku dengan senyum

“Kami sudah makan, ini masih kami sisakan untuk bang Joe. Indomie dan nasi putih aja ya bang”. Indri yang paling pertama merespon.

“Gimana kawan abang, ketemu gak bang, tros kondisinya gimana?”
Indri tampak sangat penasaran dengan apa yang aku lakukan menyusul sahabat pertapaku sedari tadi sebelum gelap. Dia bertanya sambil menyodorkan piring nasih dan mangkuk nesting aluminium berisi mi instant rebus kepadaku.

“Alhamdulillah, sudah terkendali. Dia terluka cukup parah di kepala diserang babi hutan, sudah abang obati dan abang antar ke tempat tinggalnya. Tapi agaknya aku harus belek kesana besok pagi-pagi”.

Aku menjelaskan sedikit banyak tentang sahabat pertapa yang sudah 5 tahun tinggal di hutan ini seorang diri. Indri terkesima mendengar semua penuturanku, Tari dan Octa juga terlihat sangat penasaran. Octa sudah tenang dan sesakali tersenyum mendengar kelucuan dari cerita perkenalanku dengan Sabahat Pertapaku.

Sebelum makan, kusempatkan membuat api unggun dan menyalakan lampu badai untuk lebih menerangi tampat kami.

“Bang Joe, kenapa abang sampai seperhatian itu ke Pertapa itu. Kayaknya abang sayang banget ma dia”, sela Octa sambil melipat kedua tangan di lututnya karena cuaca mulai dingin.

“Iya, dia sama denganku, sebatang kara, sudah tidak punya siapa-siapa lagi, tapi yang terpenting dia juga manusia seperti kita. Hanya saja tidak seberuntung kita dalam menjalani hidup ini, atau malah dia lebih beruntung dari kita semua, mampu bertahan di hutan ini sudah lebih dari 5 tahun”.

Aku mulai bercerita tentang keintiman persahabatanku dengan si Pertapa. Tentang rasa frustasi karena ditinggal kekasih, dan cinta yang tidak lagi aku percaya. Seiring kabut tipis menyelimuti bahu pepohon pinus dan gemeretak kayu bakar yang diabukan api.

“Cinta itu sederhana, seperti “kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu” setidaknya begitulah yang kupahami, ucap Indri lirih ala penyair terkenal Mbah Sapardi.

“Aku menyayanginya “dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”. Sambungku tanpa menoleh ke arah Indri.

“Abang juga suka puisi itu ya?. Sampe hafal gitu dengan intonasi yang pas banget pula”. Indri antusias mendengarku menyambung kutipan puisi yang baru saja dia bacakan.

“Aku mengagumi orang yang meciptakan puisi itu, dan sempat belajar melalui karaya-karyanya yang spektakuler”.

Seiring malam yang mulai beranjak pagi, keakraban mulai terjalin lembut seiring jilatan api yang menerangi duduk kami. Indri dan Octa tidak terlihat hendak beranjak, Tari sudah duluan terbuai dalam mimpi didalam tenda doom kapasitas 4 orang yang mereka bawa.

“Bang Joe, kami boleh ikut gak besok ke tempat sahabat abang itu?, penasaran dan tergerak untuk menolong sebisa kami bang”. Indri tiba-tiba menyatakan keinginannya untuk bersamaku setelah mendengar sekilas cerita tentang si Pertapa. Octa juga mengiyakan.

“Kalo leader kami ikut, kami juga akan ikut bang”, lanjut Octa.
Rupanya Indrilah leader team ini, keren bener. Perkiraanku meleset, awalnya aku mengira Octalah yang jadi leader team ini, tapi ternyata bukan.

“JIka kalian hendak ikut, baiknya kalian rehat yang cukup, kita gerak pagi jam 7.30. Kita sudah harus bangun dari jam 5.30 masak dan pecking”. Pungkasku menutup percakapan mala mini….


“Bang Joe, abang kepengin ikut ke gunung X, orang ni mau belajar praktek navigasi, ku yakin abang bakal suka banget dengan suasana di alam bebas nanti bang”. Ajakan Alfin membuyarkan lamunanku.

Ternyata mereka sudah selesai diskusi masalah navigasi di atas meja kopi. Aku meneguk sisa kopi terakhir, dan menyalakan sebatang lucky strike. Pelan kuhisap polusi keparat itu dan menghembuskannya dengan pelan, sangat kunikmati momen racun ini.

“Pengen juga merasakan gimana berada di alam bebas, tapi sepertinya aku ada kerja Rabu ini sampe 2 minggu”. Aku menolak ajakan Alfin secara halus, Tapi memang sih, aku gak pengen terlalu lama jauhan dengan Indri. Dan aku juga yakin, Indri bakal keberatan jika aku terlalu lama gak ada kabar.

Bersambung…………………….. 

Disclimer: Cerita ini hanya fiksi belaka, jika terdapat nama dan karakter yang sama ini adalah murni kebetulan. Semua kutipan puisi Sapardi Djoko Damono, dilengkapi link ke tulisan aslinya. Juga kutipan lagu bung Iwan Fals dengan judul "Lagu Pemanjat".

Tulisan kecil ini kepersembahkan kepada kawan-kawan @arteem yang sangat kubanggakan. Juga kepada seluruh pembaca yang memahami bahasa Indonesia.

Mohon masukan dan sarannya: Apakah cerbung ini layak untuk dilanjutkan dalam episode berikutnya, tentang petualangan Joe dan kawan-kawan ke gua si Pertapa?, mohon masukannya dalam kolom komentar ya kawans

With my best regard

@el-nailul

Hope for the best and prepare for the worst

5whcwh2cf5.pngPlease joint us on discord channel at https://discord.gg/RZkxq5


Mari bergabung dengan kami di discord channel : https://discord.gg/chBPxM

Sort:  

Waaahh..asliii! Kirain pertama ni cerbung horor ...colek @ayuramona kak @rayfa ...ahahaha😂😂😂, saya kena jebakan Batman bang @el-nailul, soalnya baca pertama masih diseperempat malam..ga berani nyambung baca ketika Octa pingsan..rupanya ceritanya seru!! Saya pikir cerbung ini perlu disambung episode lanjutannya bang El, iyakan @midun @pupu @yati bang @khaimi @nureza @ristianti @ainee @aneukpineung78, saya masih penasaran apa yang terjadi pada petualangan menuju gua pertapa, apakah perjalanan mulus atau ada misteri2 lain yang menemani selama perjalanan mereka, gimana pertemuan Octa dan pertapa dan tentunya kisah romansa si Joe dengan indri si gadis "kayu bakar"..terima kasih bang @el-nailul karena Uda didedikasikan cerbung ini untuk arTeem kami tunggu episode selanjutnya..salam😊😅

Posted using Partiko Android

Haha iya ne kak, di tunggu eps selanjutnya kapten. 😃😃😃

Posted using Partiko Android

ochai..kita sambung lagi minggu ini dalam episode lanjutan
bang @midun

Wahh.. kirain horor juga.. keren banget kapten Joe.. ehh Kapten @el-nailul.. ditunggu kelanjutannya :)

Joe itu pemeran utama, bakal muncul tokoh lain dalam seri berikutnya kak @rayfa

pasti ada banyak misteri yang harus mereka jalani hingga bisa saling berbagi. perjalanan ke gua pertapa bukanlah perjalanan gampang. petualngannya di tulis dengan segala lekuk liku belantara yang rapat dan padat. emang ini khusus untuk masyarakat arteem saja, karena audience Indonesia saya kan hanya di arteem

Kisah yang sangat bagus,membuat pembaca pengen tau cerita selanjutnya, sukses selalu buat bang El 😊

Terimakasih banyak kak @yati, semoga saya bisa lanjutkan kisahnya minggu depan ya, terimakasih sudah membaca dan mensupport postingan saya

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.15
JST 0.028
BTC 62943.85
ETH 2464.43
USDT 1.00
SBD 2.55