Cerpen Muhammad Indra: Candi Emas

in #cerpen7 years ago

  Saya, Totong, Yunus, Ginta, Abu Bakar, Benyamin, Ilyas, Pak Maryo,  dan Dedi telah berangkat ke Kota Malang untuk berkunjung pada  saudara-saudara di sana. Sebelum berangkat ke kota tersebut, kami mampir  terlebih dahulu di kota Jogjakarta selama 20 hari. Awalnya, kami  berjumlah 16 orang, namun delapan orang telah kembali setelah 20 hari  lantaran kehabisan bekal dalam perjalanan.
Sesampainya di Kota  Malang, dikarenakan bekal kami sudah menipis, kamipun mulai  mengencangkan ikat pinggang mengingat jangka waktu untuk kembali ke kota  asal masih cukup lama. Makan seadanya dan memakai nampan agar terlihat  banyak serta dapat merasakan semua lauk-pauk hari itu. Hampir sepuluh  hari kami makan dengan lauk dan sayur yang sama, kangkung dan ikan asin.  Kalau ada ikan asin masih untung, sepuluh hari berikutnya kami hanya  makan dengan sayur berlauk terasi atau garam cabe ditumbuk halus.
***
 Peristiwa semalam belum hilang dari ingatanku, kami makan sangat banyak  hingga kekenyangan. Tiba-tiba, Yunus dan Ilyas pulang dari undangan  hajatan tetangga di kampung tempat kami bersilaturahmi. Mereka membawa  makanan begitu banyak termasuk juga makanan pencuci mulut.
"Makanan  ini harus habis," kata Yunus sesampainya di masjid kepada kami semua.  Ginta menggeleng-gelengkan kepala. Petanda perutnya sudah tidak mampu  memasukkan makanan tersebut. Tetapi, lantaran melihat pisang dan buah  semangka, liurnya amat keras melintas di tenggorokannya. Rasa laparnya  terhadap makanan pencuci mulut itu kambuh lagi. Secepat kilat, ia  menyambar pisang. Selain itu, ia juga dengan rakusnya mengambil makanan  yang baru tiba itu. Kedua tangannya penuh dengan makanan, termasuk  mulutnya. Belum selesai memakan makanan pertama, sudah mengambil yang  lainnya. Melihat itu, Yunus melarangnya, habiskan dulu makanan yang ada,  baru memakan makanan pencuci mulut.
"Kalau makanan ini tidak dihabiskan, bisa-bisa besok basi," sambung Ilyas kepada kami.
"Dihangatkan saja, untuk makan kita besok pagi," timpal Dedi.
 "Hangatkan?" Maryo nyeletuk mengangkat dahi menunjukkan rasa enggan,  "Aku malas. Sudah terlalu malam dan aku lelah," Ia memberi alasan,  karena petugas masak hari itu kebetulan jatuh pada Maryo. "Sudah!  Habiskan saja."
Mendengar alasan Maryo seperti itu, daripada makanan  tersebut basi keesokan harinya, apa boleh buat, kami harus melahapnya  sampai habis. Satu persatu dari kami memakan-makanan yang dibawa Yunus  secara perlahan-lahan. Rupanya, cicil demi mencicil, makanan tersebut  habis juga. Aku dan Ginta yang paling banyak makan. Karena sebelumnya  kami telah dikenyangkan oleh masakan Maryo hingga perut kami tidak  memiliki udara lagi. Seluruh perut terasa berisi makanan. Kurasa,  makanan itu sudah sampai tenggorokan.
***
Sungguh lama jarak  antara azan subuh sampai ke iqomat, sampai-sampai aku menggerutu dalam  hati. Menggerutu lantaran menahan isi perut yang nyaris keluar dari  sarangnya. Jika saja di masjid ada kakusnya, aku masih senang. Tapi ini,  jarak antara kakus dan masjid kira-kira 300 meter. Seandainya terlebih  dahulu pergi ke kakus, bisa-bisa salat subuh sendiri di masjid ini, aku  pasti merasa malu dengan teman-teman. Maka, solusinya, sembari menanti  iqomat dikumandangkan, aku duduk seraya berusaha tidur, disamping  menahan dentuman-dentuman keras dari lubang yang selalu kududuki. Aku  terbangun dari tidur duduk saat iqomat melesat di telingaku. Kuhitung  jarak antara azan dan iqomat selama dua puluh sembilan menit. Rasa  dentuman-dentuman yang tadi terus mendesak tidak ada lagi.
Namun,  tiba-tiba mereka kembali memberikan pukulan-pukulan dahsyat saat aku  berbaris untuk salat. Pertahanan-pertahanan pun kembali kubuat, berusaha  agar dentuman-dentuman itu tidak menjebol keluar dan memberikan aroma  tidak mengenakkan. Akhirnya, aku berhasil membuat pertahanan sampai imam  mengucapkan salam.
Aku tidak tahan lagi, sepertinya pertahanan yang  kubuat bakal kebobolan. Untuk menghindari hal-hal tidak diinginkan, aku  segera bangkit dan jalan perlahan-lahan keluar masjid. Berjalan  perlahan-lahan lantaran jika berlari pasti mereka yang di dalam perut  ini berceceran. Kalau berceceran, panjang sekali urusannya.
Sendal  sudah tersarung. Kurayapi tangga menuruni jalan raya menuju rumah tempat  kakus berada. Rumah tersebut kami gunakan sebagai tempat mandi, masak,  buang air, dan sebagainya. Remangnya boklam menerangi jalan sehingga  tidak menyulitkan langkahku. Berhati-hati dengan berjinjit dan  mengangkang karena mempertahankan bentengku. Beberapa saat kemudian,  telingaku mendengar langkah seseorang terburu-buru. Aku tidak mau  menoleh sebab bisa mengurangi energi.
"Wui, sorry, gua duluan!" ujar  Ginta menyalibku cepat. Melangkah terburu-buru sekali, setengah  berlari. Aku berteriak dengan mengayun tangan kanan "Tunggu Gin, gua  duluan dong!" ia meneruskan langkahnya tanpa menoleh dan meningkatkan  kecepatan langkahnya.
Aku gundah dan tak keruan. Tidak tahu harus  berbuat apa jika sampai rumah nanti. Kakusnya hanya cukup satu orang.  Kalau menunggu Ginta keluar kakus, bisa gawat. Mau tak mau aku terus  menggenjot langkah memasuki simpangan menuju rumah yang dituju.  Kendatipun jalan gelap, aku masih ingat lobang-lobang di jalan ini.
 Aku nyaris tiba di ambang pintu rumah, masih dengan langkah berjinjit  dan sedikit mengangkang. Teringat olehku bahwa tidak jauh dari rumah ini  ada kali kecil. Segera tubuhku berputar empat puluh lima derajat.  Bersamaan dengan perputaran haluan, tiba-tiba para penyerang dalam perut  berhasil menjebol pertahanan. Jarak sungai tidak jauh dan jalannya  gelap. Gerak refleksku muncul dan tanpa kusadari kaki telah melesat  menuju kali kecil yang terputar di memoriku sembari terus menampung  serangan-serangan yang sudah menjebol pertahananku. Untung di luar  pertahanan tubuh, ada pertahanan lainnya. Kalian pasti tahu, sehingga  mereka tidak berceceran di jalan.
Sesampainya di sungai, aku  membukanya. Cepraakk!! Yeahh!! Gagal. Tersangkut di batu. Membiarkannya  dan segera menceburkan diri di sungai lantas berjongkok. Penyerang  berikutnya barhasil dihindari dengan bantuan air sungai. Pantulan sisa  bintang malam dan boklam rumah dekat sungai membuat air berkilat-kilat.  Kilatan sinar bintang di sungai dan buramnya cahaya boklam membantuku  melihat sesuatu di atas batu sekitar satu meter dekatku berjongkok.  "Waw, mirip candi," kata hatiku, "Ya!!" inilah candi emas buatanku,"  sambungku sembari menjentikkan jempol dengan ibu jari. Bau busuk luar  biasa menusuk hidungku. Namun, sebusuk apapun bau tersebut, hatiku  terasa puas karena para penyerang tersebut tidak lagi menyerang.
Aku  segera menyiram candi emas yang telah tercipta. Kalau tidak, siang  nanti pasti banyak orang menggerutu. Selain membersihkan candi emas, aku  juga secepatnya mencuci pakaian dalam dan sarung sekenanya karena  mataku tak mampu menerangkan gelap.
* * *
Di rumah, aku mencuci  semuanya. Aku tahu peristiwa ini tidak mudah untuk dilupakan. Peristiwa  yang cukup untuk membuatku tertawa terbahak-bahak bila mengingatnya pada  masa mendatang. Agar teman tidak merasa jijik pada hari itu, tentu aku  tidak menceritkannya. Dalam hatiku berucap, kelak, kendatipun peristiwa  ini terdengar sangat menjijikkan dan bisa membuat perut mual, pasti akan  aku ceritakan supaya orang-orang bisa tertawa.
Makan bersama telah  usai. Cukup nikmat dan lahap sekali kami pagi itu. Rupanya makanan  semalam telah habis direproduksi oleh perut. Kami pergi ke masjid untuk  mengadakan pengajian. Sebelum pengajian dimulai, aku masih mencium bau  yang tidak enak sekali, yakni bau para penyerang tadi pagi.
 Seingatku semua pakaian sudah diganti. Tapi dari mana bau ini berasal.  Terus-menerus menghantui sejak kejadian candi emas itu. Ketika makan,  bercakap-cakap, sampai duduk-duduk di masjid ini, bau itu terus  menggerayangi hidungku. Berulang kali aku berkeliling menciumi  pakaianku, siapa tahu masih ada yang menempel. Hasilnya tak ada, bau itu  hilang saat aku mencium pakaian yang kukenakan.
"Ini apa?" ujar  Ilyas sembari menunjuk mata kakiku. Menunjuk sebuah benda menyerupai  tanah liat kering menempel pada mata kaki sebelah kananku. Aku segera  mendekatkan hidung ke benda tersebut. Wow, ini dia rupanya. Aku  kelabakan luar biasa. Malu bukan kepalang. Rupanya para penyerang itu  masih menempel dan sudah mongering pada tubuhku. Tolong... Tolong...  Tolong... Tolong... Tolong...!! Binatang kalian semua!! Caciku dalam  hati. Ikmal Komputer. Bumimanti II 23. Kpbr. Kdt. Bdl. 31122002. 22.54. 

Sort:  

I Just Upvoted Your Post! No reason, just showing steemit Love. Have an epic Day/Afternoon/Evening! :D
Know the truth about blogging on steemit:
https://steemit.com/abuse/@iloveupvotes/permanent-compilation-common-knowledge-base-worksheet-it-stays-because-i-said-so-iloveupvotes

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.14
JST 0.029
BTC 67363.69
ETH 3247.42
USDT 1.00
SBD 2.66