Dilema Grup Alumni
Sosial media sekarang ini adalah salah satu bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Bukan hanya mereka yang disebut generasi Milenial. Angkatan Analog seperti saya juga (tak mungkin tidak) terbawa pada gaya hidup ala para Milenial ini. Sebagian besar dari kita pasti memiliki akun Facebook, Twitter dan Instagram. Ditambah lagi ruang chat online seperti whatsapp dan telegram. Itu belum termasuk Steemit, pinterest, dll.
Image source pixabay.com
Salah satu ujian terbesar dalam dunia sosmed (terutama w.a / telegram) adalah grup alumni.
Satu dua grup alumni masih menyenangkan.
Dan masih ada manfaatnya (saya senang di grup alumni sekolah, melihat kabar teman-teman lama).
Tapi sering kita serba salah melihat daftar grup alumni yang ada. Sebagian besar ntah apa-apa.
Alumni TK, alumni SD, alumni SMP, alumni SMA, alumni Universitas, alumni Fakultas, alumni Jurusan, alumni komunitas, alumni tour, alumni pelatihan, alumni pentas musik, alumni kursus masak, alumni workshop, anak komplek tahun sekian, dan banyak lagi.
Notifikasi yg bisa ribuan dalam sehari. Foto atau image yg sering tidak jelas apa. Belum lagi yang CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali) atau MLBK (Musuh Lama Bersemi Kembali).
Image source pixabay.com
Gosip-gosip dan isu kadaluarsa pun sering terangkat lagi. Hal-hal yang sudah belasan tahun -- bahkan puluhan tahun -- kita coba lupakan, sering muncul lagi, dan menjadi olok-olok kembali. Kita mendadak diminta untuk menjadi sangat toleransi terhadap berbagai hal yang bukan sekadar kelewat batas, juga sudah mendekati perundungan (bullying).
"Saya dan suami kebetulan satu SMA. Kebayang nggak gimana rasanya, saat membaca olok-olok lama mengenai diri kita, pasangan kita, hal-hal yang memalukan. Dan kita bahkan ga boleh marah atau bakal di cap baperan." Cerita kawan di salah satu grup komunitas.
Dan dilema terbesar adalah fakta pahit kita bahkan tidak bisa keluar dengan mudah dari berbagai grup itu. Entah sejak kapan, meninggalkan/keluar/left dari grup alumni, umumnya dianggap sebagai : Tidak mau berteman, sombong, baper, dll.
Saya pernah membuat riset yang tidak ilmiah, bertanya sambil lalu pada beberapa teman. Hasilnya, ada teman yang mengakui terpaksa menguras kantong untuk membeli gawai yang lebih mahal. Gawai jadul tak mampu menghadapi trafik data yang tinggi, hingga sering 'heng'. Sedangkan left bukan pilihan.
Ironis. Tapi begitulah kenyataannya.
Sisi lain bagaimana sosial media, dan perkembangan dunia digital mengubah hidup dan cara pandang kita.
At the end. Pada titik tertentu, kita harus berani memilih. Mengutamakan diri kita, atau orang lain. Kadang-kadang egois utk kebaikan (diri sendiri) itu perlu.
Hmm...coba kita EGP dikit ya, Bang. Biarin aja orang ngomong apa, mau dibilang baper kek, sombong kek, kalau udah bikin nggak nyaman hidup, tinggalin dah.
Kalau tidak nyaman dan membuat diri sendiri susah, untuk apa diteruskan? Lebih banyak hal yang berguna bermanfaat dilakukan daripada hanya sekedar urusan chat.
Sepakat mbak @mariska.lubis dan @dyslexicmom. Saya sih memilih lebih fokus ke kenyamanan diri saya. Left kalau grup (apapun itu) mulai melangkahi batasan.
Tapi banyak juga teman-teman yg serba salah dengan kondisi itu. Akhirnya malah 'makan hati'.