The Secret Life of Mara # 6

in #writing6 years ago

Bab Dua
24 Jam

Sudah setengah jam Mara berdiri di depan kaca, yang hanya membuatnya terlihat dari kepala sampai sebatas leher. Beberapa atasan dan rok terbaik yang dimilikinya, bertebaran di atas tempat tidur reyot di kamar Mama.

Baju-baju itu tetap saja mulai terlihat usang. Padahal kamar Mama hanya diterangi lampu 15 watt. Sinar matahari pasti akan membuat warna pakaian-pakaian ini lebih kusam.

Mara duduk kebingungan di tepi tempat tidur. Teman sebangkunya datang pagi-pagi sekali. Membawa surat dari Firman. Di dalamnya tertulis, Firman ingin menemuinya. Jantungnya berdebar keras.

Ketika tahu Ayah mengalami kecelakaan, Firman yang saat itu kebetulan ada di ruang guru, bersikeras mengantar ke rumah sakit. Mereka berdua didampingi Bu Supinah.

Di jok belakang, Mara mengepalkan tangan sekuat tenaga. Berupaya meredam tangis. Ingin rasanya dia berteriak-teriak. Baru saja bahagia hebat menyapa. Berita buruk langsung menghantamnya.

Tanpa sengaja matanya melihat kaca spion belakang. Pandangannya bertemu dengan tatapan aneh Firman. Dengan cepat dia mengalihkan pandangan ke luar jendela Jantungnya berdetak cepat. Tangannya memegang dada. Berupaya menurunkan debaran yang tidak terkendali. Matanya terus sengaja memperhatikan mobil yang lalu lalang di jalan raya.

Dengan sigap Firman memarkir mobil di halaman rumah sakit yang sempit. Begitu mobil berhenti, Mara kebingungan ketika akan keluar mobil. Matanya mencari-cari kenop yang biasanya ada di pintu angkot. Untunglah tidak lama kemudian, Firman membuka pintu mobil dari luar.

Mara merasa pipinya panas karena malu. Dia mendongakkan wajah ke arah Firman.

Keajaiban dunia muncul di hadapannya. Firman, teman sekelasnya selama enam tahun, ketua OSIS, ketua tim bola basket dan Pemimpin Paskibra sekolah mereka, tersenyum padanya.

Mara terpana. Belum pernah sekali pun dia melihat Firman tersenyum seperti ini. Biasanya hanya senyum hormat pada para guru, saat mereka memujinya. Tentu saja dia tahu, sebab Firman selalu duduk di depannya, dalam kelas. Dan sering kali dia mencuri pandang ke arah Firman. Yang selalu ditemuinya, hanya wajah pintar yang selalu serius memperhatikan guru.

“Mara, ayo keluar!” suara Bu Supinah menyadarkan Mara,

Bergegas Mara keluar mobil, mengangguk sembari tersenyum pada Firman.
Senyumku pasti aneh, kata Mara dalam hati. Tanpa menunggu Firman, dia segera berlari mengejar Bu Supinah.

Dengan langkah cepat Bu Supinah memasuki UGD. Kaki Mara terhenti di depan pintu masuk. Dia tidak bisa menahan tangis. Terbayang tubuh Ayah yang kurus. Baru seminggu, Ayah bisa berjualan lagi di pasar. Ayah pasti mengatakan tidak apa-apa, sambil tersenyum menghibur. Mara menutup wajah dengan kedua tangan. Air mata mengalir dari sela-sela jemari.

Mara mendongak ketika bahunya dipegang orang.

“Jangan berdiri di depan pintu. Kamu menghalangi jalan orang,” ujar Firman lembut. Lagi-lagi dengan senyum di bibirnya. Kaget mengalahkan rasa sedih Mara. Tangisnya berhenti seketika. Tanpa sadar, Mara mengikuti tarikan tangan Firman di bahunya. Dia berjalan ke pinggir bangunan.

“Yang kuat, Mara. Kamu pasti bisa melewati ini semua. Kamu tahu arti nama Hartini?”

Melihat gelengan kepala Mara, Firman melanjutkan, “Hartini artinya yang sangat berarti. Yang sangat berarti, bukan orang lemah. Kamu orang terkuat yang pernah aku kenal selama ini Mara.”

Mara merasa dirinya tersenyum. Belum pernah ada orang, yang memberinya kekuatan selama ini, kecuali Mama dan Ayah. Pujian Firman, suplemen dosis tinggi yang dibutuhkannya saat ini. Dia menarik nafas panjang. “Terima kasih.”

“Ingatlah, kamu tidak akan sendirian lagi sejak saat ini,” ujar Firman lagi.

Mara mengerutkan kening kebingungan.

“Aku akan selalu ada di sampingmu,” Firman menatap mata Mara yang terbelalak kaget.

Jangan lupa bahagia

Bandung Barat, Rabu 27 Juni 2018
Salam

Cici SW

Source : 1, 2

Sort:  

Semakin menarik ceritanya...

Terima kasih Pak @imammugi

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 64359.49
ETH 2619.41
USDT 1.00
SBD 2.83