Part-I: Malam Panjang di Sampoiniet

in #travel6 years ago

image

Saya merasa beruntung diajak oleh mereka yang dalam hemat amatan ini ialah mereka yang senantiasa mencintai "nge-trip". Sebagai seseorang yang tampak dari luar, jarang bertamasya, mengajak saya untuk liburan (alam) seakan-akan butuh kehati-hatian. Wajar, wajah ini terlalu polos untuk di-laut-ka, di-gunung-kan, atau apalah lainnya yang tinggal saudara/i tambah sendiri.

Sampoiniet, Aceh Jaya barangkali adalah jawaban alam tentang bagaimana keasrian yang natural coba dilestarikan. Bagi orang-orang yang babak belur dihantam rutinitas dengan segala sibuk yang seolah tak pernah terurai, bertandang ke CRU ialah pengakuan, bahwa sesungguhnya saya dan mungkin satu dua dari gerombolan adalah mereka yang takluk dari kesibukan.

Sebab Banda terlalu baik, bagi yang baru tiba, tapi juga tidak sekadar baik bagi yang sudah lama. Banda mungkin impian, tapi impian yang sesuai harapan acap kali memakan tumbal. Minimal, kesumpekan.

image

Setelah merampungkan segala persiapan oleh para kepala kawanan, pun diikuti anggota, sore Sabtu (8/9) saya berangkat bersama kloter terakhir. Setelah agak lama ditunggu, saya bersama teman-teman tiba di Teras Kenangan. Mulanya hendak berangkat jam 17:00, malah molor ke pukul 18:00. Wajar, proses tunggu-menunggu lumrah dalam setiap perjalanan.

Sepanjang perjalanan Banda Aceh-Aceh Jaya jalan lintas Barsela basah kuyup. Hujan tampak tak menunjukkan tanda-tanda akan reda. Setelah kurang lebih 2 jam, kami tiba di KM 107 jalan utama. Dari jalan USAID belok kiri dengan pamplet Polsek, saya lupa nama daerah tersebut. Estimasi waktu yang didengungkan bagi yang sudah pernah ke sana, katanya hanya butuh 45 menit. Nyatanya tidak. Kebetulan rombongan kami yang terakhir ini semuanya baru kali pertama ke Sampoiniet. Sedangkan 2 rombongan yang sudah terlebih dahulu tiba, mereka kebanyakan setiap mobilnya terdapat salah satunya tahu medan.

Di tengah gelap malam, dengan jalanan bebatuan di tengah hutan, beberapa teman di mobil kami tampak mulai gelisah. Kenapa jalanan ini seolah kian tak berujung. Hendak balik, tanggung. Lanjut terus, takutnya mentok dan sia-sia. Parahnya, tidak ada sinyal saat itu. Rombongan kami beranggotakan 7 orang, di tengah panik yang terus mendera, Taufik percaya untuk meneruskan perjalanan, sedangkan saya pembela Taufik dalam batin.

image

Dalam pemikiran Taufik, meneruskan perjalanan setidaknya membuka kemungkinan bahwa tujuan akan tertuju. Sedangkan balik, tentu bukan pilihan. Beberapa yang lain terus mencoba memantau sinyal. Akhirnya, komunikasi pihak kami dan teman yang sudah duluan tiba dapat terhubung. Singkat cerita kami tiba di TKP.

Hal pertama yang kami lakukan adalah mengisi perut yang sedari tadi terlanjur kratak-krutuk keroncongan. Kami saling menyapa satu sama lain, sebab tak semuanya saling mengenal. Setelah makan malam usai, semuanya berbaur dengan ragam aktivitas. Ada yang menikmati musik dengan gitar mini, ada yang main ludo, pun ada yang bermain domino. Saya mencoba Ludo dan Domino.

Sebagai seorang yang baru, saya mulanya berniat untuk tidak duduk sering dengan mereka yang sudah saya kenal. Melainkan lebih banyak berkomunikasi dengan teman-teman baru. Untuk apa? Agar silaturahmi terjalin lebih hangat. Sebab, bila yang dianggap teman adalah mereka yang pernah (hanya sekadar) berbalas senyum, tentu tak terhitung jumlahnya. Tetapi, ukuran teman kan lebih jauh dan dalam daripada itu.

image

Sembari main batu, saya memperhatikan semua teman-teman. Mata saya mencuri pandang, pikiran menganalisa (caaak eelaah), dengan segala asumsi dan tebak-tebakan. Saya bersyukur berada dalam kerumununan orang-orang baik yang bisa dibilang tidak jaim, bahkan tingkat bercandaan mereka lebih dari stadium 4. Yang mahal barangkali, tidak tampak ego bahwa mereka sudah jauh trip-nya, sudah melanglang buana ke seantero alam Aceh. Cukup humble dengan segala kekocakan yang ada.

Bagi saya, perjalanan dan malam pertama di sana seakan mengetuk sisi lain yang sepertinya jarang saya tunaikan. Hak untuk liburan. Jujur, sebenarnya letak kendali diri ini lebih kepada akal dan pikiran. Kemanapun pergi, kalau pikiran tidak bisa saya minej tetap sama saja. Beruntungnya, saat saya atau siapapun berlibur, tempat, suasana, nuansa dan teman-teman menjadi instrumen yang dapat membantu gerak pikiran untuk sejenak melakukan relaksasi.

Waktu kian beranjak dini hari, teman-teman seakan tak rela untuk terlampau cepat terlelap. Jreng-jreng gitar makin malam makin merambat saja, hening yang di-jreng-jreng-i musik menjadi padu padan antara sepi dengan (kesepian) masing-masing yang coba ditopengi. Saya melihat, seakan ada sesi heart to heart dalam satu lingkaran yang bahasannya, dalam taksiran saya, dikemas sembari bercanda. Dalam hidup yang penuh kesemrawutan ini, tawa-canda ialah jalan hampir buntu yang tetap menyalahkan asa. Sedangkan humor, menjadi benteng terakhir yang simpel bagi akal sehat.

image

Bersambung ke edisi II esok malam...
Not: pemilik foto, Mr.Fahry, Mrs. Mira dan pribadi.

Sort:  

Hana pakat-pakat yaaaaa...

Baru dipuji, udah songong lo Bang @kemal13 😂

*nunggu kelanjutannya *seduh kopi

*idupin kompor lg *ulang seduh kopi

Coin Marketplace

STEEM 0.32
TRX 0.11
JST 0.031
BTC 67705.30
ETH 3767.13
USDT 1.00
SBD 3.73