Candi Cetho; Catatan Rihlah SJ
Bengawan Solo, Riwayatmu ini, Sedari dulu jadi, Perhatian insani…
Musim kemarau, Tak seberapa airmu, Di musim hujan, air meluap sampai jauh…
Itulah penggalan bait lagu Bengawan Solo. Lagu keroncong yang diciptakan Gesang pada medio tahun ’40 an itu jelas memberi kesan tersendiri betapa indah dan fenomenalnya Solo yang dulunya bernama Surakarta.
Seperti mimpi. Akhirnya saya juga dapat menginjakkan kaki di kota yang terkenal dengan Pasar Klewer nya (pasar batik terbesar Indonesia) itu. Penghujung November tahun 2010 lalu saya berkesempatan belajar English ke Pare, Jawa Timur. Namun, saya beserta keluarga menyempatkan diri untuk singgah menelusuri kota bekas wilayah keresidenan Indonesia itu.
Mobil Fortuner kami telah sampai di pusat kota Solo. Jam menunjukkan pukul 23.45 WIB. Rasa lelah memaksa kami untuk mencari tempat istirahat. Akhirnya, saya beserta keluarga bermalam di sebuah hotel yang agak mewah. Tentang berapa ‘bintang’nya, saya tidak peduli. Tidak berapa lama, saya sudah tidak sadarkan diri larut dalam alam mimpi yang di temani gemerlapnya malam salah satu kota di Jawa Tengah itu.
Pagi telah menyapa penduduk bumi. Setelah siap dengan segalanya, kami pun berangkat menuju Karanganyar atau disebut juga dengan Solo atas. Rute ekspedisi yang jauh. Berangkat pagi, pukul 15.00 WIB kami baru bisa sampai ke sebuah villa kenalan keluarga saya. Rasa lelah seakan sirna tatkala semilir angin Gunung Lawu membelai saya dengan manjanya. Tempat yang benar-benar menakjubkan.
Panorama alam Solo memang terkenal dengan eksotisnya. Kebun teh terhampar luas bak lautan berwarna hijau. Gunung Lawu dan Gunung Merbabu seakan rukun menjaga kelestarian alam yang terletak sebelah timur kota Solo itu. Ingin berlama-lama rasanya berada di serambi kamar lantai dua villa itu. Tapi, ada kabar bahwa di sekitar tempat villa kami tempati ada tempat wisata yang belum ramai terjamah oleh para wisatawan. Candi Cetho namanya. Tertarik pastinya untuk saya kunjungi. Kapan lagi kalau bukan sekarang.
Candi Cetho pastilah belum fenomenal seperti Candi Prambanan, sejawat Hindu-nya. Namun bicara soal urat petualangan, Candi Cetho boleh dibilang selevel lebih menjanjikan. Pada catatan ini saya akan berkisah tentang langkah saya menapaki Candi Cetho. Siapa tahu, anda kelak juga berkesempatan untuk berkunjung ke sana.
Anda tentu masih ingat dengan Pak Harto. Lokasi Candi Cetho sebenarnya tidak jauh dari Astana Giribangun, makam Bapak Pembangunan tersebut. Untuk mencapainya, kita menyusuri jalan raya yang luas dan mulus. Jelas mulus. Sebab jalan ini dulunya sering dilintasi klan keluarga Cendana. Pemandangan indah siap menemani perjalanan saya menuju Candi yang di bangun oleh Prabu Brawijaya pada tahun 1451 silam itu.
Semerbak wangian pohon teh terus merasuk jiwa. Mobil kami melaju santai. Jalan berliku indah di tambahi tanjakan tidak membuat saya dan keluarga gundah. Saking terpesona nya dengan alam ciptaan Allah Maha Kuasa. Subhanallah. Tasbih terlantun merdu di bibir saya. Di kejauhan saya melihat hamparan perkebunan teh yang menawan dipayungi awan hitam bersanding mesra dengan indahnya pelangi. Kabut mulai menyelimuti kawasan wisata Sukuh-Cetho, Karanganyar, Jawa Tengah, sebelah timur kota Solo itu. Untuk berwisata ke Candi Cetho sebenarnya kita harus memantau cuaca nya dulu.
Maklum, Candi Cetho terletak di atas bukit tinggi, sehingga dari puncaknya saja kita sudah dapat melihat pemandangan yang luas dan menakjubkan. Bahkan, di saat cuaca cerah, kita dapat menyaksikan Gunung Merapi dan Merbabu yang tidak jauh dari tempat ini. Cuaca mendung kolaborasi kabut sudah hal terbiasa memanyungi wisata candi Cetho.
Arsitek Candi Cetho ini berbeda dengan Candi Borobudur. Candi Ceto tidak setinggi Candi Borobudur tentunya. Candi ini hanya memiliki beberapa tangga dan ruas-ruas ruang, di setiap tingkatan pasti mempunyai satu ruang, konon warga sekitar mengatakan ruang itu tempat sembahyangnya nenek moyang kita. Tepatnya nenek moyang umat hindu. Ya ! Candi Ceto merupakan tempat untuk sembahyang umat Hindu di wilayah Kemuning, Jenawi dan sekitar Karanganyar. Berada di Puncak bukit di kawasan kebun teh sungguh tempat ini menyimpan pesona yang masih eksotik dan mempesona. Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkat berundak. Sebelum memasuki gapura besar, terdapat dua pasang arca penjaga. Tingkat pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Tingkat kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho. Pada tingkat ketiga terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang Kerajaan Majapahit). Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta. Terdapat penggambaran hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Simbol-simbol hewan yang ada, dapat dibaca sebagai suryasengkala berangka tahun 1373 Saka, atau 1451 era modern (masehi).
Imajinasi saya berlayar tentang betapa kerdilnya kita yang tidak ataupun boleh disebutkan belum bisa mensyukuri nikmat Allah SWT. Berpisah dengan alam Candi Cetho tidak lebih sebuah keterpaksaan bagi saya. Senja mulai menyapa. Seakan mewanti bahwa sudah saatnya saya beserta keluarga untuk angkat kaki menuju kediaman. Kabut tebal pekat telah menutupi lereng Gunung Lawu. Kami bergegas pulang. Candi Cetho telah menorehkan noktah rihlah (perjalanan) yang sangat mengesankan bagi saya.
This post has been ranked within the top 50 most undervalued posts in the second half of Oct 17. We estimate that this post is undervalued by $22.34 as compared to a scenario in which every voter had an equal say.
See the full rankings and details in The Daily Tribune: Oct 17 - Part II. You can also read about some of our methodology, data analysis and technical details in our initial post.
If you are the author and would prefer not to receive these comments, simply reply "Stop" to this comment.