MENGENAL TEATER TRADISIONAL SUMATERA UTARA

in #teater6 years ago (edited)

Oleh : Suyadi San



Pendahuluan


Teater tradisional di Indonesia telah ada jauh hari sebelum jenis ”teater kota” berkembang di bumi Nusantara. Indonesia yang terdiri dari beragam etnis dan budaya tentu saja menyimpan kekayaan seni tradisi. Sejak bangsa Eropa belum hadir di bumi Nusantara, seluruh daerah di Indonesia memiliki bentuk teater tradisi setempat.

Teater tradisional di Indonesia tentu saja sangat sejalan dengan keberadaan budaya setempat. Kehidupan pertanian yang bertusuran dengan tanah, air, produksi, kesuburan, kemakmuran, hama, musim kering, memberikan dasar-dasar estetika berdirinya teater tradisional. Selain itu, kehidupan yang sangat erat hubungannya dengan siklus alam (musim, matahari, bintang-bintang) menjadikan dasar pokok estetika kesenian bersifat religi. dilah seni teater sebagai sesuatu yang sangat saakral. Harus dilakukan secara sungguh-sungguh dengan segala macam serimonialnya.

Pertunjukan teater tradisional pada masa lalu tidak bisa dilakukan pada sembarang tempat dan waktu. Harus dipertunjukkan atas suatu maksud dan alasan yang berhubungan dengan sistem kepercayaan yang ada. Tidak mengherankan, pertunjukan teater tradisional ketika itu tidak dapat dikemas sesuai kehendak penonton atau kelompok teater tersebut. Setiap jenis teater tradisional mempunyai ketentuan permainan tertentu. Dalam kata lain, teater tradisional terikat oleh sistem kepercayaan.

Dengan demikian, untuk mengenal teater tradisional di Indonesia tidak sesederhana mungkin karena dasar estetikanya berasal dari sistem kerpercayaan yang dianut suatu kelompok masyarakat di Indonesia. Fungsi pokok teater tradisional, di antaranya sebagai berikut:

  • memanggil kekuatan gaib,
  • menjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat pertunjukan,
  • memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat,
  • memperingati nenek moyang dengan mempertontonkan kegagalan maupun kepahlawanannya,
  • pelengkap upacara sehubungan dengan tingkat-tingkat hidup seseorang, dan
  • pelengkap upacara untuk saat-saat tertentu dalam siklus waktu.


Berdasarkan hal itu, bentuk-bentuk teater tradisional di bumi Nusantara ini sangat beragam, baik penyajian maupun fungsinya. Secara umum, teater tradisional memiliki ciri-ciri khas sebagai berikut:

  1. lakon/ceritanya tidak tertulis,
  2. media pengungkapannya berupa dialog, tarian, dan nyanyian,
  3. akting bersifat spontan,
  4. dialog dilakukan secara improvisasi,
  5. dalam pertunjukan selalu terdapat unsur lawakan,
  6. umumnya menyertakan iringan musik tradisional,
  7. penonton mengikuti pertunjukan secara akrab dan santai, bahkan dapat berdialog langsung dengan pemain,
  8. bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah setempat, dan
  9. umumnya menggunakan tempat pertunjukan terbuka berbentuk arena (dikelilingi) penonton.

       Menilik dari fungsi dan ciri khas itu, teater tradisional di Sumatera Utara ada bermacam-macam, seperti gundala-gundala (Karo), hoda-hoda (Simalungun), dan sebagainya. Berikut ini kita mengenal bentuk teater warisan tradisi Melayu (teater bangsawan),  Batak (opera Batak), dan ketoprak dor (Jawa Deli). Ketiga bentuk teater ini merupakan warisan asli Sumatera Utara. 


Teater Bangsawan


Teater bangsawan yang dahulunya bernama sandiwara bangsawan ataupun opera bangsawan adalah suatu bentuk pertunjukan sandiwara pada masa lalu yang khusus dipentaskan di hadapan para raja, permaisuri, dan keluarga kerajaan lainnya. Di samping itu, para penontonnya juga terdiri atas para bangsawan yang khusus diundang oleh raja untuk menonton pertunjukan tersebut.  Itulah makanya drama ini disebut dengan “sandiwara bangsawan” ataupun opera bangsawan, drama bangsawan, dan teater bangsawan.

Penamaan Bangsawan itu sendiri, untuk pertama kalinya, konon diberikan oleh Abu Muhammad Adnan, yang sering disebut juga dengan Mamak Phusi, kepada perkumpulan yang didirikannya. Lengkapnya adalah Phusi Indra Bangsawan of Penang. Jenis seni pertunjukan tradisional yang berupa komedi stambul dengan cerita seputar kehidupan istana ini juga dikenal dengan nama Wayang Bangsawan atau Indra Bangsawan.

Seni pertunjukan puak Melayu ini adalah kesenian yang menggabungkan musik, lagu, tari, dan laga. Peralatan musik yang mengiringi pementasannya terdiri atas: biola, akordion, gendang, gong, dan tambur. Sesuai dengan namanya, yaitu Bangsawan, kostum yang digunakan adalah tata rias yang menyerupai orang-orang di kalangan Bangsawan. Sedangkan perlengkapan pendukungnya menyesuaikan dengan cerita yang ditampilkan, karena patokan yang khusus tidak ada.

Urutan pementasannya sebagai berikut: (1) pentas dibuka dengan lagu-lagu dan tarian pembuka yang mengisahkan cerita yang akan dimainkan. Sebagai catatan, setiap kelompok biasanya mempunyai lagu pembuka tersendiri yang sekaligus menjadi ciri khasnya; (2) peralihan dari satu adegan ke adegan berikutnya diikuti dengan pergantian layar; terkadang diselingi dengan lagu atau nyanyian yang berisi ceritera yang akan dimainkan pada adegan berikutnya; dan (3) pentas ditutup dengan lagu dan tarian penutup.

Lagu-lagu yang mengiringinya, di samping lagu-lagu yang sering dinyanyikan dalam joged atau tarian Zapin, adalah lagu-lagu "Stambul Dua", "Stambul Opera", dan "Dendang Sayang" ataupun "Selendang Delima". Sedangkan, cerita yang dimainkan antara lain: 1001 Malam, Rakyat Melayu, Dongeng India dan Cina, dan Hikayat Melayu. Setiap cerita terbagi dalam beberapa babak atau adegan. Dan, setiap adegan diselingi dengan sret atau selang waktu untuk menceritakan apa yang akan terjadi pada adegan berikutnya. Jadi, semacam pengantar agar para penonton mengetahui apa yang akan disajikan adegan berikutnya.

Pemain (pelakon) seni pertunjukan ini terdiri atas: Sri Panggung dan anak muda yang merupakan tokoh utama, raja, seorang khadam, dan beberapa peran pembantu raja, menteri, hulubalang, inang-dayang, dan pengukuh lakon lainnya. Jadi, jumlahnya jika ditambah dengan pemain musik kurang lebih 20 sampai dengan 25 orang.

Durasi pementasannya bergantung pada cerita dan waktu yang tersedia. Sedangkan waktu pementasannya pada malam hari. Pada mulanya seni pertunjukan ini tampil dalam rangka mengisi acara-acara upacara lingkaran hidup individu (khitanan dan perkawinan), hari-hari besar agama Islam, dan hari-hari nasional seperti peringatan hari kemerdekaan Indonesia, serta peringatan-peringatan lainnya. Namun, dewasa ini terbatas pada hari kemerdekaan saja, itu pun tidak selalu. Dengan kata lain, bergantung pada pemerintah daerah setempat, baik di kecamatan, kabupaten, maupun provinsi.

Berbeda dengan seni pertunjukan modern, seni pertunjukan ini tidak memerlukan sutradara, walaupun setiap grup mempunyai seorang pemimpin. Satu hal yang mesti ada (terbuat) adalah tempat para pemain berlaga (panggung). Panggung sebuah pementasan yang disebut sebagai Bangsawan ini dilengkapi dengan layar berlapis yang disebut dengan layar stret. Layar-layar tersebut dibubuhi dengan lukisan istana, taman, hutan (pemandangan alam), dan sebagainya. Maksudnya, untuk menggambarkan situasi dan kondisi tempat atau latar sebuah dialog atau perseteruan terjadi. Jadi, jika suatu peristiwa terjadi di istana, maka layar yang ditampilkan adalah yang berlukisan istana, dan seterusnya.

Ada beberapa istilah yang ditujukan kepada bentuk seni pertunjukan bangsawan ini, yaitu sandiwara, drama, tonil, opera, komedi, dan teater. Istilah teater kita gunakan di sini karena pertunjukan bangsawan memiliki berbagai genre, yakni seni drama, seni sastra, seni tari, seni musik, dan seni rupa.  Ini sebagaimana didefinisikan Brockett tentang teater. Menurut Brockett, yang dimaksud dengan teater ialah suatu seni pertunjukan yang mengandung tiga aspek, yaitu materi pertunjukan (cerita, di sini berlaku seni sastra), pertunjukan itu sendiri (tokoh, musik, tari, nyanyian, tata rupa panggung, rias, dan busana serta lampu), dan orang yang menyaksikan pertunjukan itu (penonton).



Opera Batak


Jenis kesenian teater rakyat ini sempat merajai dunia hiburan di Sumatera Utara. Hingga dekade 1980-an, opera Batak merupakan tontonan menarik meski diadakan di lapangan terbuka dengan  resiko misbar (gerimis bubar). Pada  masa jayanya, grup opera jumlahnya mencapai 30-an. Di antaranya, Serindo, Serada, Rompemas, Seribudi, Roos, Ropeda, Serbungas, Roserda, Sermindo, dan lain-lain. Opera menyajikan cerita sandiwara yang diselingi lagu-lagu, tari-tarian, dan lawak. 

Musik pengiringnya uning-uningan atau seperangkat alat musik tradisional atak yang terdiri dari serunai, kecapi, seruling, garantung, odap, dan hesek. Panggungnya sederhana, namun cukup unik. Bentuknya menyerupai rumah adat Batak dan diberi hiasan gorga (ukiran khas batak) serta nama operanya. Panggung sengaja diberi lukisan atau properti sebagaimana tuntutan cerita. Sebuah tirai penutup menjadi alat penghubung pergantian adegan atau bila acara berganti ke selingan lagu, tari atau lawak. 

Makanya, opera batak sama durasinya dengan film India. Apalagi kalau sang primadona mampu menghipnotis penonton hingga saweran banyak mengalir, tak jarang sebuah lagu dilama-lamakan. Penonton puas meski pertunjukan usai dini hari. Tak peduli pulang menembus kegelapan malam. Maklum saja, tidak seperti sekarang alat penerangan listrik pada masa itu belum menjangkau pelosok pedesaan di Sumatera Utara. 

Suasana panggung opera hanya diterangi lampu petromak yang lazim disebut lampu gas, yang terkadang mesti diturunkan untuk menambah angin atau karena kehabisan minyak. Mirip ludruk atau wayang wong di pulau Jawa, opera Batak biasanya berkeliling dari desa ke desa. Sasarannya tentu desa yang baru selesai panen dengan tujuan agar peluang menyedot penonton lebih terbuka. 

Lama pementasan di sebuah desa tergantung dari kondisi namun biasanya tidak sampai sebulan. Mengingat dunia hiburan zaman dahulu terbilang langka, tidak heran bila kehadiran opera selalu ditunggu-tunggu masyarakat. Karena berlokasi di alam terbuka, bukan suatu kejanggalan bila penontonnya duduk margobar atau mengenakan sarung atau selimut untuk melawan dinginnya angin malam. Yang unik, bila tidak ada uang, tiket bisa digantikan beras atau hasil sawah ladang asal sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. 

Gaya seni pertunjukan ini muncul dalam situasi transisi kebudayaan yang ditandai oleh upaya mempertahankan tradisi dan masuknya pengaruh dari luar. Unsur-unsur tradisi dalam Opera Batak dapat dikenal melalui instrumen musikal seperti taganing, ogung, hasapi, sarune, dan hesek. Ensambel musikal ini secara umum dikenal dengan gondang. Namun sebutan gondang itu juga dapat merujuk kepada suasana ritual dan jenis repertoar yang dimainkan. Apabila dikaitkan lagi dengan konteks ritualnya, gondang terbagi menjadi gondang sabangunan dan gondang uning-uningan. 

Gondang terakhir kelihatannya lebih menonjol penggunaannya dalam pertunjukan Opera Batak ditambah dengan seruling yang bernada diatonis dan tidak bisa dianggap sebagai bagian dari tradisi asli Batak. Selain instrumen musikal, tarian Batak dengan sebutan tortor, juga masih ditemukan dalam Opera Batak. Pola gerak tarian Batak biasanya bersifat minimalis dan perkembangan secara maksimal dikenal melalui tumba. Tortor dan tumba dapat mengawali, mengantarai, dan mengakhiri alur pertunjukan dengan iringan musikal atau vokal. 

Khusus mengenai vokal, dalam tradisi Batak dapat diketahui jenisnya melalui istilah andung dan ende. Andung biasanya dilakukan tanpa iringan instrumen musikal dan dipahami sebagai bentuk ratapan. Sedangkan ende merupakan lagu atau nyanyian yang bersifat hiburan dan cerminan untuk berbagai suasana tertentu. 

Di dalam Opera Batak, lirik-lirik ende terkadang masih disertai dengan pantun-pantun Batak dan perumpamaan yang bernama umpasa dan umpama. Satu lagu berjudul "Oli-Oli Tumba" dapat dikutip salah satu liriknya: lelengma di parlelengan lalapma diparlalapan/ndang sahat tu tujuan sai diporalang-alangan/arian sai marsak borngin i marangan-angan/nang di rondang ni bulan martukkol isang di alaman/ oli-oli tumba, ito…. (betapa lama di ruang waktu betapa larut di kelarutan/tak sampai-sampai ke tujuan dan selalu berhalangan/siang hari selalu bersedih malam hari berangan-angan/juga waktu purnama bertopang dagu di pekarangan/oli-oli tumba, ito….) 

Unsur-unsur tradisi tersebut agaknya hanya dapat disalurkan melalui kemunculan Opera Batak. Pertunjukan ritual seperti horja bius dan bentuk-bentuk tradisi lainnya, seperti sigale-gale dan hoda-hoda, yang diiringi gondang bersama tortor sudah mulai surut dengan kedatangan kolonial, ditambah pelarangan-pelarangan kolaboratifnya. 

Totalitas seni pertunjukan Opera Batak kemudian dilengkapi dengan lakon cerita dengan variasi realismenya. Dugaan mengenai aspek lakon yang melengkapi Opera Batak dipengaruhi oleh teater bangsawan di daerah Deli dan semenanjung Malaya. Grup-grup pertunjukan teater bangsawan itu juga diduga mendapat pengaruh dari wayang Parsi. Namun aspek lakon yang diserap itu disesuaikan dengan bahasa dan latar setempat. Demikian halnya dalam cerita-cerita lakon Opera Batak yang dibuat judul-judulnya seperti Siboru Tumbaga, Guru Saman, Sisingamangaraja, Sampuraga, dan Raja Lontung untuk menyebut beberapa. 

Pengaruh luar lainnya secara khusus juga sudah mulai ditunjukkan oleh penamaan Opera Batak itu sendiri. Istilah opera dikenal asalnya di daratan Eropa, terutama Italia. Opera diartikan sebagai drama yang dinyanyikan dengan gerak tariannya. Jadi keterkaitan musik/nyanyian, tarian, dan lakon dalam keseluruhan pertunjukan merupakan senyawa dan menyatu. Bukan sebaliknya, seperti yang terjadi dalam Opera Batak. 

Unsur-unsur yang dimainkan dalam Opera Batak tidak terkait satu sama lain. Masing-masing dapat dianggap berdiri sendiri dari sisi dramaturgi. Terkadang Opera Batak itu terkesan hanya pertunjukan variatif. Sesungguhnya penamaan Opera Batak mengandung maksud yang jelas kalau disebut dengan Opera Gaya Batak. Maksud-maksud serupa kiranya terjadi untuk Opera Peking atau yang lebih terakhir melalui idiom Opera Jawa dan Opera Melayu. 



Ketoprak Dor


Ketoprak dor merupakan salah satu kesenian teater yang hidup dan berkembang di wilayah Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara). Kesenian tersebut diperkirakan telah ada sejak sekitar tahun 1930-an dengan wilayah persebaran awal di Kabupaten Simalungun, Pematangsiantar, Sumatera Utara. Kemunculan ketoprak dor bermula dari dikirimnya orang-orang Jawa oleh VOC sebagai kuli kontrak perkebunan teh di Sumatera. Transmigrasi besar-besaran yang dilakukan secara tidak langsung membentuk suatu lapisan masyarakat baru dengan diikuti pertumbuhan sosial dan kultur masyarakat yang ada. Pada masa itu, Medan terlapis dari tiga kelompok sosial  yang berbeda, yakni : 1) Para tuan kebun, pengusaha, dan pegawai pemerintahan berbangsa Belanda dan bangsa Eropa lainnya; 2) Bangsawan-bangsawan Melayu, pengusaha Cina, dan orang-orang profesional Indonesia berpendidikan Barat (terutama pegawai negeri senior); dan 3) Orang-orang Melayu, Cina, dan Indonesia kebanyakan serta para perantau dari berbagai kelompok etnik termasuk Jawa, Mandailing, dan Minang.

Sebagaimana etnis lain, orang-orang Jawa yang bekerja sebagai kuli kontrak tersebut membentuk komunitas baru sehingga secara tidak langsung terbentuklah perkampungan-perkampungan Jawa di sekitar perkebunan teh. Di perkampungan (pemukiman) itulah, orang-orang Jawa melakukan aktivitas Jawa-nya sebagaimana biasa mereka lakukan sebelum dikirim sebagai kuli kontrak, yang salah satunya adalah mengadakan pesta. Tujuannya sederhana, yakni untuk bersenang-senang dan melepas penat di luar rutinitas mereka sebagai kuli kontrak. Dari diadakannya pesta inilah, muncul keinginan untuk membuat pentas ketoprak, salah satu seni pertunjukan yang biasa mereka saksikan semasa masih hidup di tanah Jawa. Hingga pada akhirnya pertunjukan ketoprak dapat diselenggarakan meski bentuk dan konstruksi sajian tidak sesuai dengan ketoprak yang berkembang di Jawa.

Keterbatasan instrumen dan properti menjadi alasan mengapa bentuk sajiannya tidak sama dengan bentuk sajian ketoprak di Jawa. Jika di Jawa ketoprak diiringi dengan ensambel gamelan, dan oleh karena di sekitar perkampungan (atau bahkan di Sumatera) pada masa itu tidak ada perangkat gamelan, maka instrumen musik yang digunakan adalah seadanya, yakni instrumen yang paling mudah didapatkan. Salah satu instrumen musik yang digunakan adalah jedor (instrumen perkusi dari daerah setempat), yang pada akhirnya pelafalan dari bunyi jedor tersebut menjadi sebutan dari ketoprak yang disajikan yakni “dor”. Hal inilah yang disebut sebagai ketoprak dor, diambil dari bunyi anamatope “dor”.

Oleh karena masyarakat Jawa di sekitar perkebunan teh bukanlah praktisi atau pelaku seni ketoprak, maka ketoprak yang mereka sajikan hanya didasarkan atas interpretasi yang mungkin begitu terbatas atau tidak sesuai dengan konvensi yang ada di Jawa. Meski demikian, beberapa hal (aspek) pendukung di dalam pertunjukan ketoprak masih membalut ketoprak yang telah dikreasikan, antara lain : lakon atau cerita yang diangkat, bentuk dialog, dan aspek visual seperti penggunaan gerak (tarian) sebagaimana joget gendro yang biasa disajikan ketika tokoh atau pemain ketoprak di Jawa memasuki panggung (arena). Namun dari segi artistik, bentuk ketoprak ini tampil seadanya, sehingga terkesan kedodoran. Kesan kedodoran inilah yang menjadikan bentuk ketoprak baru, sehingga bernama ketoprak dor.

Seiring perkembangan, dalam kurun waktu puluhan tahun ketoprak dor tidak hanya diminati orang-orang Jawa, tetapi juga etnis lain seperti Batak, Melayu, Cina, India, dan sebagainya. Terlebih pasca-Indonesia merdeka, kala praktik kuli kontrak di perkebunan teh mulai dihapuskan, dan masyarakat Jawa yang berkumpul menjadi satu komunitas mulai menyebar di berbagai daerah. Sebagai kesenian rakyat yang bersifat bebas dan spontan, ketoprak dor juga mengikuti perkembangan. Salah satunya dapat dilihat dari penggunaan bahasa dalam dialog. Oleh karena peminat dari ketoprak dor tersebut juga berasal dari etnis lain, maka penggunaan bahasa dalam dialog-pun menyesuaikan dengan sosiokultur masyarakat setempat, yakni percampuran antara bahasa Jawa, Melayu, dan Batak.

Sumber cerita ketoprak dor berasal dari cerita rakyat dan carangan (karangan pengarah laku).  Cerita akyat berupa dongeng, babad, legenda, sejarah, menak, panji, ataupun cerita dari luar diadaptasi dalam suasana Indonesia, misalnya berjudul Warso Warsi, Gendini, Panji Asmorobangun, Klana Sewandono, Ande-ande Lumut, Warok, Roro Mendut, Damarwulan, kisah Seribu Satu Malam ataupun cerita Sampek Eng Tay. Sedangkan cerita carangan bisa cerita kehidupan sehari-hari dengan tetap bersuasana Jawa, misalnya perebutan harta warisan, pasangan, dan sebagainya.

Urutan ceritanya sebagai berikut :

  • Pada bagian A—B (panembrana/pandembrana) : Adegan pembuka. Dimulai menyanyikan lagu (tembang) secara bersama-sama, sebagai salam pembuka dan ucapan selamat datang kepada penonton, dilanjutkan prolog oleh pimpinan pertunjukan.  
  • Antara adegan A—B disebut adegan jejer, yaitu penggambaran awal terjadi permasalahan. Berlanjut adegan pertikaian (B1), atau adegan pemunculan tokoh utama. 
  • Cerita bisa mundur ke B dengan adanya adegan gandrung (percintaan). Biasanya tentang lakon yang dilengkapi nyanyian dan gerak tari berpasangan. 
  • Dari B, adegan bisa kembali ke B1 dan B2 atau perselisihan kembali, lalu memuncak dengan adegan peperangan (C). Peperangan berakhir pada D sebagai antiklimaks atau peleraian. 
  • Selanjutnya, konflik yang meruncing akan berdampak pada E atau akhir cerita. 


Cerita lakon bisa terdiri banyak episode, namun kini sudah dapat dipersingkat satu sampai dua jam. Apalagi, ketoprak dor ini dipertontonkan untuk khalayak umum. Unsur cerita pokok dibumbui dengan unsur-unsur humor, farce, dan melodrama. Hal ini perlu dilakukan agar para penonton tetap betah menyaksikan pertunjukan rakyat yang telah berkembang mulai abad ke-19 tersebut. 

Penyajian cerita selalu mempunyai pola yang sama atau mirip. Tampaknya hal ini menjadi penanda pola ketoprak dor. Sebelum pertunjukan, pimpinan grup menyampaikan ucapan selamat datang kepada penonton, disusul musik sampak. Lalu adegan pertama dimulai dan terus berkembang sampai berakhir. Musik  juga jadi penanda khusus keseragaman hampir semua bentuk ketoprak dor di Sumatera Utara. Pola lainnya adalah nyanyian, tarian, pantun, dan akrobat atau bela diri pencak silat pada adegan perkelahian. 

Setting cerita sebagian besar dari lingkungan raja-raja atau bangsawan. Cerita selalu memiliki tujuan didaktis, mengajar, memberikan teladan kepada penontonnya. Karakter-karakter yang disuguhkan bersifat ”stock-type”, yakni harus selalu ada tokoh anak muda sebagai pahlawan, lalu tokoh pasangannya seorang gadis yang menjadi Sri Panggung atau primadona, tokoh pelawak, dan tokoh penjahat atau antagonis berupa Jin Aprit atau raksasa. 

Dari segi dramaturgi, permainan di panggung dilakukan secara improvisatoris berdasarkan garis besar cerita yang telah diberitahukan sebelumnya oleh pimpinan ketoprak dor. Meskipun pimpinan ketoprak dor memberikan arah cerita, tidak menutup kemungkinan aktor mengembangkan perannya sesuai bakat dan kemampuan masing-masing. Pengarah lakon membebaskan pemain berimprovisasi guna menghidupi adegan demi adegan.

Pertunjukan merupakan campuran dialog, nyanyian, dan tarian. Dialog yang muncul sering ditingkahi oleh bunyi-bunyian musik untuk memperkuat suasana dan karakter tokoh. Sedangkan tarian muncul pada adegan khusus pertunjukan sendratari pada beberapa adegan. 

Ketoprak dor mengalami banyak perubahan tata bahasa dan kesusastraan. Bahasa yang digunakan adalah campuran berbagai macam bahasa yang meliputi bahasa Jawa Ngoko, Jawa Tengahan, Melayu, Batak, Karo, dan Indonesia bahkan bahasa Tionghoa dan India. Gejala campur kode dan alih kode di sini adalah bahasa Jawa yang bercampur  dengan bahasa-bahasa subetnis suku Jawa itu sendiri yang mengalami perbedaan dialek maupun dengan bahasa daerah lain. Campuran dialek bahasa Jawa terjadi misalnya antara dialek bahasa Tegal dan bahasa Surabaya dengan bahasa Jawa Tengah umumnya. Ketoprak dor juga menggunakan bahasa Jawa yang bercampur dengan bahasa Indonesia ataupun bahasa Melayu. Contohnya yang sering muncul adalah ungkapan alamak jang atau iya pula dalam komunikasi antara pemain yang satu dengan pemain lainnya. 


Penutup

Teater tradisional Sumatera Utara masih terus bertahan di antara deru seni budaya modern. Karena itu, perlu ada revitalisasi agar teater tradisional ini tetap bertahan dan diminati masyarakatnya. Lembaga-lembaga swasta maupun pemerintah perlu secara rutin mengadakan festival teater tradisional Sumatera Utara antarpelajar, agar bentuk kesenian tradisional Sumatera Utara ini dapat terus bertahan. Festival ini juga berguna agar teater tradisi ini dapat memiliki generasi penerusnya. 


Daftar Pustaka

Ahmad, A. Kasim. 1977. Sebuah Pengantar tentang Teater Tradisional di Indonesia. Majalah Budaya Jaya No. 114 Tahun Kesepuluh—Nopember 1977

Alamo, Enrico. 2014. Opera Batak “Sampuraga”: Penciptaan Seni Opera Batak. Jurnal Ilmiah Medan Makna. Medan : Balai Bahasa Sumatera Utara 

Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta : Grafiti

Kartakusuma, Muh. Rustandi. 1977. Menjajagi Teater Tradisional Menuju Teater Indonesia. Majalah Budaya Jaya No. 114 Tahun Kesepuluh—November 1977

MPSS, Pudentia. 2007. Hakikat Kelisanan dalam Tradisi Melayu Mak Yong. Jakarta : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Pelzer, Karl J. 1978. Toean Keboen dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria. Jakarta : Sinar Harapan

San, Suyadi. 2012. Deskripsi Isi dan Bentuk Artistik Teater Bangsawan di Sumatera Utara. Laporan Riset. Medan : Teater GENERASI, Teater Satu, dan Hivos

........................ 2010. Berkenalan dengan Teater : Penunjang Pembelajaraan Seni Budaya SMA/SMK/MA. Medan : GENERASI

.......................... 2013. Drama : Konsep Teori dan Kajian. Medan: Mitra Partama Sari

Siregar, Ahmad Samin dkk. 1985. Kamus Istilah Drama. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI

Sumardjo, Jacob. 1992. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti

Suroso, Panji. 2012. Ketoprak Dor di Helvetia. Medan : Unimed Press

Suyadi. 2008. Peran Orang Jawa dan Cina dalam Keruangan Kota Medan : Sebuah Studi Antropologi tentang Penataan dan Pengembangan Kota Medan. Tesis. Medan : Program Pascarsarjana Universitas Negeri Medan

Suyadi dkk. 2010. Deskripsi Teater Bangsawan di Sumatera Utara (Tinjauan Semiotika). Laporan Penelitian Tim. Medan : Balai Bahasa

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. Jakarta : Balai Pustaka

Umry, Shafwan Hadi dkk. 1997. Diskripsi Teater Bangsawan. Medan : Proyek Pembinaan Kesenian Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara 1996/1997



Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.16
JST 0.031
BTC 60623.84
ETH 2572.69
USDT 1.00
SBD 2.57