Salamah, Kisah Cinta Gadis Rohingya

in #story7 years ago (edited)

Umi Salamah, 18 tahun, merupakan salah seorang pengungsi Rohingya yang menempati Integrated Community Shelter (ICS) Blang Adoe, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara. Ia tercatat sebagai penghuni shelter K-8. Setiap kali saya melintas di depan shelter yang dihuninya, hampir tak pernah dia lupa untuk memanggil saya dengan suara khasnya. “Abang, jalan-jalan okay? Malaysia no. Australia no. Medan okay.” Begitu selalu, sehingga saya hafal benar intonasinya.

Saya jadi penasaran dengan gadis ini, mengapa Ia selalu minta jalan-jalan ke Medan. Dari mana Ia tahu Kota Medan. Lantas mengapa Medan. Padahal banyak kawan dan tetangganya sesama pengungsi justru ingin pergi ke Malaysia. Alasan mereka, di sana di Malaysia banyak saudara mereka yang sudah lebih dulu berhasil memasuki wilayah negara tersebut.


Sumber

Suatu hari saya yang justru memanggilnya ketika melihat gadis berkulit hitam ini melintas di depan kantor pengelolaan ICS. Kantor ini berada satu kompleks dengan shelter yang ditempati para pengungsi, termasuk shelter Salamah.

Awalnya Ia agak ragu untuk datang, karena dikira saya hanya iseng memanggil namanya. Salamah tidak bisa bahasa Indonesia. Sedangkan saya tidak bisa bahasa Burma. Dengan susah payah, dari beberapa kata yang kami saling pahami di antara kedua bahasa masing-masing, saya berhasil mendapatkan jawaban darinya untuk menjawab rasa penasaran saya selama ini.

Saat saya memanggilnya, Ia terlihat sedang berbicara serius dengan telepon seluler. Telepon yang digunakan Salamah, hanya sebuah telepon biasa yang sudah ketinggalan zaman. Kalau kata anak-anak sekarang, itu telepon senter. Karena pada bagian atas telepon seluler itu terdapat fasilitas lampu led yang memang difungsikan sebagai senter.

“Ssst..” ujarnya sembari menempelkan jari telunjuk kiri pada bibirnya sebagai isyarat agar saya tidak bicara dulu. Saya tahu maksudnya, supaya suara saya tidak mengganggu percakapannya dengan seseorang di seberang sana.

Tiba-tiba Salamah tersenyum saat melihat ke arah saya dan bertanya, “Bicara okay? Suami, Medan,” katanya dan langsung menyerahkan telepon genggamnya pada saya. Belum sempat saya jawab iya atau tidak, telepon itu telah ditempelkan ke telinga kanan saya. Di sana saya dengar suara seorang laki-laki dengan logat yang sama dengan Salamah mengucap salam.

“Assalamualaikum abang. Saya tunangan Salamah. Saya Rohingya di kamp Medan,” katanya dalam bahasa Indonesia yang terdengar cukup fasih.

Setelah saya jawab salamnya. Saya langsung bertanya, apakah kamu tunangan atau suami Salamah. Karena tadi perempuan muda itu menyebutnya suami. Ia mengatakan, belum menikah. Kebiasaan mereka, kalau sudah bertunangan itu akan disebut suami, karena mereka tidak tahu padanan kata lain dalam bahasa Indonesia. Padahal lebih tepat disebutkan calon suami. Ya, masih calon karena belum menikah.

Laki-laki yang mengaku sudah berusia 23 tahun itupun menjelaskan bahwa mereka sudah berpacaran sejak saat sama-sama masih berada di Burma. Ketika Ia keluar dari Burma hendak menuju Malaysia, kapal yang ditumpanginya justru terdampar ke wilayah Indonesia, tepatnya di perairan Sumatera Utara.

Ia pun dipindahkan ke kamp di Kota Medan. Ia juga mengaku sangat ingin bertemu dengan kekasihnya itu. Pertanyaan yang diajukan ke saya cukup banyak. Semua terkait bagaimana bila ingin bertemu Salamah di shelter untuk sesaat saja. Apakah akan bermasalah dengan polisi, imigrasi atau pihak terkait lain.

Di samping saya, Salamah masih menunggu dengan sabar saat saya berbicara dengan lelaki yang dicintainya itu. Ia hanya tersenyum ketika saya memberi isyarat padanya, lelaki yang sedang berbicara itu ingin menikahinya. Saya bisa merasakan bagaimana rindunya si lelaki itu pada Salamah, wanita yang dikatakan sudah dicintainya dalam tiga tahun terakhir. Berkali-kali Ia memastikan, bahwa bila mendapat izin dari pihak lembaga yang menanganinya selama ini, maka Ia akan datang ke shelter untuk bertemu Salamah. “Dua jam saja sudah cukup abang. Tidak usah lama-lama,” katanya.

Kini saya tahu, kenapa Salamah tidak pernah berkeinginan untuk ke Malaysia atau negara lain yang menjadi impian para pengungsi Rohingya pada umumnya. Kota yang paling ingin dikunjunginya adalah Medan, Ibukota Provinsi Sumatera Utara. Kota terbesar di Pulau Sumatera ini berjarak sekitar 332 kilometer arah timur Desa Blang Adoe, Aceh Utara. Sudah tiga tahun mereka tak saling bertemu. Komunikasi baru bisa terjalin lagi setelah si lelaki ditampung di Medan dan Salamah ditampung di Aceh.

@zainalbakri

(bersambung)

20170819_005750_20170821003828371.jpg
This logo created by @fahmidamti

Sort:  

Kisah cinta menarik, jadi bagaimana kelanjutan kisah Umi Salamah dengan suaminya (tunangan) saat ini.. apa sudah putus, kawin, punya anak dll?

Mirip sama Kamal si Salamah ini. Untunglah dulu Kamal nggak ke ics. Meuhan ka k

memang berkelas...mas bro..@zainalbakri

Kelas berapa bro..?

Cerita yang menarik @zainalbakri, ditunggu cerita selanjutnya.
Untuk mendukung agar tulisannya berlanjut sudah saya vote dan re-steem.

Wsh ceritanya bagus bang ditunggu yang lanjutannya

Siap. Akan segera tayang lanjutannya. Salamah gadis yang periang

“Assalamualaikum abang. Saya tunangan Salamah. Saya Rohingya di kamp Medan,” katanya dalam bahasa Indonesia yang terdengar cukup fasih."

Rupanya Salamah sudah punya tunangan di camp pengungsian Medan. Pantesan saja Salamah suka Kota Medan. Salam Komunitas Steemit bang @zainalbakri.

Kisahnya menyentuh hati....

Nice story

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.15
JST 0.028
BTC 60157.20
ETH 2416.98
USDT 1.00
SBD 2.43