Turn On Turn Off | There's a Residual of Cappucinno in the lip's side

in #story7 years ago (edited)

Kat+Lia.jpg

Senyum Samara melebar sesaat setelah membuka pintu pantry dan menemukan punggung Rakha yang sibuk dengan ponselnya. Ia memelankan langkahnya dan menepuk punggung Rakha

“Hayooo… lagi ngapain?” Samara lantas mengambil tempat duduk di sebelah Rakha. Mencubit-cubit manja lengan Rakha yang memegang ponsel, menonton video-video lucu di Instagram. “Yang, aku diajak Yasmin ke rumah Pak Rashid. Mau ikut, nggak? Lumayan kan, kamu bisa sekalian balik!”

Rakha meletakkan ponselnya, mengerling pada Samara. “Emang mau pergi jam berapa?”

“Satu jam lagi!” Samara beranjak dari tempat duduknya, menyeduh segelas cappucinno dan berdiri menyandar di wastafel.

Rakha melihat jam tangannya. “Ngawur! Jam kantor masih tiga jam lagi.”

“Perjalanan ke sana memakan waktu setengah jam kalau nggak macet. Kalau macet, nyampe rumah Pak Rashid bisa selesai jam kantor.”

“Nggak deh!”

Samara manyun. “Ya udah. Tapi aku mau langsung balik ya,”

“Mau lama di Pak Rashid?”

“Nggak tahu. Tapi Yasmin udah minta ijin kok sama Pak Satria, kalau kita langsung pulang aja.”

“Dih, curang!”

Samara menjulurkan lidah.

“Aku kasih satu pertanyaan lagi, mau ikut nggak?”

Rakha tetap menggeleng. Belum usai jam kantor hanya alasan saja. Rakha hanya tidak ingin bertemu dengan Om-nya lagi setelah kemarin Rashid mempermasalahkan keberadaan Anna. Petuahnya benar, tetapi dalam kasus yang tengah menimpa Anna sekarang, Rakha belum bisa mengembalikan Anna ke mamanya.

“Ish!” Samara melampiaskan keputus-asaannya dengan menyesap cappucinno-nya yang hangat.
Rakha mendengus pelan, sedikit merasa bersalah sebab membuat Samara terlihat kecewa.

“Memangnya editan kamu sudah beres?” tanyanya seraya beranjak, mengambil gelas di tangan Samara lantas menyeruputnya tanpa izin.

“Masih ada dua-tiga berita lagi, sih. Sejam cukup lah buat ngedit.”

Rakha mengangguk-angguk. Seketika itu pula, noda di sudut bibir Samara mengalihkan perhatiannya. “Kamu tuh kalau minum kopi yang bener dong. Lihat nih, masih ada sisanya,” Rakha membersihkan ujung bibir Samara dengan jemarinya.

Samara membeku di tengah frekuensi debar jantungnya yang semakin meningkat. Rakha masih belum menyingkirkan jemarinya dari wajah Samara.

“Eh, tapi kamu lucu juga kalau begini,” Rakha mendekatkan wajahnya, dan mencecap sisa cappucinno di sudut bibir Samara.

Kedua mata Samara kontan membelalak, sementara tubuhnya tidak bisa berbuat apa-apa.

“Nanti hati-hati ya perginya,” kata Rakha sebelum akhirnya pergi meninggalkan Samara di tengah kebekuannya.



Sam


**

Ketika sampai di rumah Rashid, Yasmin dan Samara bertemu dengan seorang suster yang sedang menemani seorang anak kecil di teras. Anak perempuan yang mengenakan terusan pink itu tampak asyik menyantap makanannya, sementara sang suster menguncir rambut panjangnya.

“Mbak, Pak Rashid ada?” tanya Yasmin pada suster yang langsung membawa Yasmin ke dalam.

Hanya Samara yang menunggu. Sedari awal ia memang setengah hati menemani Yasmin, dan ketika rekan kerjanya itu meneruskan tugasnya, Samara lebih memilih menunggu sembari melirik anak perempuan yang masih terlihat sibuk dengan sup-nya. Sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran Samara yang mengambil duduk di sebelah bangkunya.

“Hai adik kecil… Siapa nama kamu?” Samara ingin sekali mencubit kedua pipi chubby-nya namun takut anak perempuan itu menangis dan membuatnya kelimpungan.

Gadis kecil itu mendongak, “Anna…”

Samara agak terkesiap. Berbeda dengan anak kecil lain yang selalu defensif kepada orang-orang baru, Anna malah terlihat sebaliknya. “Anna, Papa Rashid ada di rumah nggak?”

“Opa Rashid?”

Samara agak terkejut. Ia pikir gadis kecil yang sangat, sangat, sangat imut ini anak Pak Rashid. Ternyata Pak Rashid sudah punya cucu, pikirnya.

“Tidak tahu…” tuturnya dengan gelengan pelan.

“Anna, kamu makan apa? Kayaknya enak banget… Tante boleh nyicip, nggak?”

Setelah meletakkan tasnya di atas meja, Samara beranjak dan mendekati Arianna.

“Itu… tinkerbell…!”

Di luar dugaan, Arianna malah lebih tertarik dengan gantungan kunci berbentuk tinkerbell milik Samara.

“Kamu suka Tinkerbell?”

“Suka sekali…!”

Samara tertawa pelan. Mendengar cara bicara Arianna yang baku membuatnya agak tersentil.

“Tinkerbell-nya boleh buat aku, tidak?”

“Tentu saja boleh… tapi cium tante dulu ya…”

Arianna tertawa malu-malu ketika Samara mengetuk-ketukkan ibu jarinya ke pipi, memberi isyarat untuk Arianna segera mencium pipinya.

“Tidak mau!” katanya masih dengan senyum yang membuat Samara gemas dan ingin segera mencubit pipinya.

“Yaaahhh… Tante kan udah wangi, masak kamu nggak mau cium. Tinkerbell-nya Tante bawa pulang lagi deh…”

“Uuhh… iya iya… kalau aku cium, tinkerbell-nya buat aku ya…! Janji ya…!”

Akhirnya Arianna bersedia mencium Samara. Keduanya pun mulai akrab. Arianna gadis kecil yang sangat bijak dan pintar menurut Samara. Diusianya yang sangat kecil, ia bisa hapal dengan fasih tema-teman tinkerbell yang bagi
Samara sendiri sering tertukar-tukar.

Bermain dengan Arianna membuat waktu seakan semakin cepat berlalu. Tahu-tahu Yasmin sudah keluar dan mengajak pulang. Samara tadinya enggan, tetapi Arianna saja tidak cukup menjadi alasannya untuk tetap berada di sana.
Akhirnya ia pun berpamitan pada gadis mungil itu.

“Yas, cucunya Pak Rashid lucu lho. Gue mau deh kapan-kapan lo ajakin ke sini lagi.”

“Ngaco! Anaknya Pak Rashid yang paling gede itu masih kuliah tau.”

“Lah terus yang tadi itu siapa?”

“Mana gue tau…!”

Samara menyimpan kebingungannya itu dalam hati. Barangkali Rakha bisa menjawabnya, nanti.
**

Arianna sudah tertidur pulas ketika Rakha baru pulang. Seketika itu pula rasa penat Rakha sirna. Senyum simpulnya terbit. Masih ada pertanyaan di dalam kepalanya tiap kali ia merasa seperti sekarang. Magis apa yang dimiliki Arianna sehingga sebegitu mudahnya menghapus rasa penat dan lelah hanya dalam hitungan detik?

Rakha mengambil tempat duduk di tepi ranjang, mengusap rambut Arianna pelan, lantas mengecup kening gadis kecil itu sepelan mungkin, agar tidak terbangun.

Baru saja ia ingin beranjak, sebuah benda dalam genggaman Anna membuat Rakha terhenti. Rakha mencoba mengambilnya pelan, lantas meletakkannya di atas nakas. Di depan foto Nafa dan Farhan yang selalu dilihat Anna ketika ia merasa rindu. Pria itu mengernyit, gantungan kunci berbandul Tinkerbell itu terasa familiar baginya. Rakha seperti pernah melihatnya akan tetapi tidak ingat di mana?

Getaran ponsel di saku celana membuat Rakha terkesiap dan mengabaikan bandul Tinkerbell milik Anna. Nama Samara muncul di layar.

“Astaga…! Aku lupa,” tutur Rakha sembari beranjak dari tepi ranjang dan merebahkan tubuhnya di samping Arianna.
“Iya, besok dicairin deh…”

“Berisik tau, Yang. Mereka ngejarnya ke aku kalau kamu nggak buru-buru kasih reimburst-nya.”

“Mereka kan reporternya kamu. Prosedurnya ke kamu dulu, baru kamu tembusin ke aku. Bilang aja, besok mereka
suruh ke kantor buat ambil dananya.”

“Oke.” Suara Samara terdengar lebih tenang dari semula. “Eh Yang, tadi aku ketemu anak kecil di rumahnya Pak Rashid. Lucu deh.”

“APA?” Rakha terbangun seketika itu. Diliriknya Arianna yang tertidur di sampingnya dengan wajah yang agak cemas.

“Kok kamu kaget gitu?”

“Ini, tanganku kejepit pintu kamar mandi, jadi kesannya kayak shock…! Gimana-gimana? Tadi kamu ketemu siapa?”
Rakha mengembus napas panjang demi menetralkan perasaannya.

“Iya, tadi aku ketemu anak kecil di rumah Pak Rashid. Namanya Anna. Lucu banget tau. Bahasanya baku banget. Pasti kebanyakan nonton film kartun yang di-dubbing ya…!”
Rakha hanya cengengesan sembari merespon kalimat Samara dengan satu kata, “mungkin.”

“Anna itu anaknya siapa, Yang?”

Mampus!

Rakha benci pertanyaan ini. Tetapi memang tidak mungkin jika Samara tidak menanyakannya.

Rakha menyalahkan dirinya yang tidak memperkirakan pertemuan Anna dan Samara. Jika ia bisa antisipasi, Rakha tidak akan membiarkan Samara ke rumah Rashid hari ini.

“Itu… anak dari sepupu jauhku. Lagi ditititin, eh maksudku dititipin di rumah Om Rashid, karena, mereka lagi tugas ke Papua.”

“Ooohh… iya deh. Kasian kalau sampai dibawa ke Papua.”

Rakha menggigit bibir bawahnya.

“Seriusan deh, tadi itu Anna lucu banget. Pas dia lihat gantungan kunci tinkerbell-ku, dia langsung mau aku ajak ngomong. Tadinya aku agak dicuekin. Ternyata, Anna suka Tinkerbell juga. Bahkan dia hapal karakter-karakter di setiap film Tinkerbell…”

Rakha melirik bandul Tinkerbell di atas nakas yang tadi sempat mencuri perhatiannya. “Anna memang suka sama Tinkerbell,”

Rakha… Lo memang pembohong besar!
**

(Bersambung)

gh.jpg

Terima kasih sudah mampir...

Sort:  

Pake ocd-resteem

Oke mas siap laksanakan!

Tolong di lanjutkan yg berikutnya yaa... Hehehe

Sabar ya pemirsah!

Interesting. Thanks for sharing, hehe. I'm Oatmeal Joey Arnold. You can call me Joey.

Hei Joey. Greetings from Indonesia. Glad to see you.

Bakalan jadi novel panjang nih!

Kayaknya bakalan jadi series ahahaha

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 62065.67
ETH 2429.85
USDT 1.00
SBD 2.68