'Simulasi Menjadi Suami'

Falsafah Sediakan payung sebelum hujan mungkin tepat mengawali uraian kata pada coretan singkat pengantar tidur kali ini, yang di kutip dari rangkaian kegiatan saya beberapa ratus detik yang telah lewat.

Seperti biasa saat bangun pagi, saya punya penyakit yang tidak wajib di tiru oleh pembaca yakni membuka beberapa percakapan di group WhatsApp yang terkadang membuat saya tidak sanggup membaca keseluruhan celotehan rekan saya di group itu, ya pembaca bayangkan saja dari puluhan group bagaimana saya mengikuti komentar mereka.

Kemudian mengisi ruang tengah yang bagi diri saya ini adalah perkara yang wajib di lakukan karena mengutip kata Wira Nagara Sarapanlah kamu agar kuat menahan saat tertolaknya semua harapan, bukan demikian ya pembaca 😀, kalau bagi saya sarapan pagi itu adalah kebutuhan yang akan menguatkan menjalani ritme kehidupan hingga menjelang waktu makan siang dan begitu seterusnya hingga sore.

Perlu di ingat 'Bukan hidup untuk makan, akan tetapi makan untuk hidup'.

Prosesi buka Group WhatsApp dan makan selesai, kemudian membaca artikel ringan dan membaca beberapa rangkaian pristiwa yang mengoncang jagat Indonesia kurang lebih terjadinya pengebomam di Surabaya yang di lakukan oleh Teroris yang sangat biadap dan tidak mempunyai prikemanusiaan.

Kemudian bergetar telpon genggam saya yang memang pesan dari seseorang yang kerjanya membuat rindu. 😊

Memang percakapan kami tidak ada yang penting sekali, setidaknya pesan - pesan nya membuat rencana kami semalam akan segera terwujud yakni pergi ke salah satu kota yang secara historis masa lalu pernah menjadi ibu kota nusantara ini.

Sekitar pukul 11 : 30 kami jalan ke kota yang di maksud, seperti biasa jika kami sudah bertemu percakapan tidak akan pernah habisnya, hingga tujuan yang kami tempuh terasa sangat dekat.

Sebelum menuju tempat kawan yang kami janjikan, kami singgah di salah satu warung bakso, siap sangka bakso yang harganya gocengan ini isinya cuma sepuluh butir nan kecil, kelak saya ketahui nama bakso ini adalah Bakso Cinta.

Sendok yang saya gunakan untuk menikmati bakso ini sudah saya balikan dan seduhan Es Teh manis yang mendinginkan badan saya, yang sejak tadi terkena senyum mentari menyengat kulit, 'Oh nikmat mu' Benaku berkomentar setelah nikmat dinginnyan Es Teh Manis ini sampai ke dada.

"Kali ini ini biar aku yang bayar" katanya, tidak lupa dia tersenyum ringan kepada saya

"Ohh, baiklah" ucap ku setuju.

Setelah prosesi bayar membayar selesai kami melanjutkan perjalanan menuju rumah yang akan kami tuju, sampai di sana saya juga di hadapkan dengan rangkaian pilihan menu makanan, tentu saja saya kewalahan menghadapi ini, lebih kewalahan saya menghadapi makanan ini dari pada menenangkan bocah di rumah itu, namanya Muhammad Zafa Arazak oleh orang tuanya, Zafa ini tipikal anaknya yang asik, adem dan sedikit aktip mungkin karena umurnya delapan bulan.

"Ayok kita kepasar lagi" ungkap teman kami tadi ( Pemilik rumah ) kami panggil dia Aida, jelas saja setelah kami melaksanakan kewajiban ( Sholat Dzuhur ).

"Ayok" ucap ku singkat

Sampai di pasar, yang dengan kata lain ini adalah tempat cuci matanya insan yang sepakat dengan sebutan itu, bagi saya ini adalah belajarnya saya menemani istri suatu saat nanti, saya menikmati sekali perjalanan kami, dari satu toko ke toko lain, tawar -menawar dari harga yang luar biasa mahal, kemudian hingga murah yang mengagetkan, "memang di pasar ini murah-murah, ibu kos kami aja belanja di sini dan jual di Lhokseumawe", ucap Aida, yang membuat saya agak sedikit kaget.

Ngantuk iya, tepat sekali itulah yang saya rasakan saat menemani mereka memilah dan memilih pakaian yang cocok di bawa ke rumah, ide kreatif saya muncul dengan sendirinya, hingga saya ajak bercakap-cakap pemilik toko tujuannya mengusir rasa kantuk saya.

"Ini adalah pelajaran sebelum menjadi suami nanti" Gumam ku, bergurau.

15 Mei 2018
Sadra Munawar