KPA2015: Terlantar di Hutan Sampai Pasir Terbang

in #story7 years ago (edited)

12313535_1024682640906247_6951584652038963601_n.jpg

Sebuah foto tiba-tiba muncul di Facebook. Foto itu memperlihatkan saya, penyair Fikar W Eda, dan Wakil Ketua MPR periode 2009-2014 DR Ahmad Farhan Hamid. Lokasi foto itu, kalau tidak salah di Gunung Gurutee, salah satu gunung tertinggi di Aceh, dengan pemandangan sungguh indah. Wajah kami tampak capek, namun tak merasa lelah.

Kami bertiga baru melaju dengan mobil minibus (milik Bang Farhan -- begitu kami biasa menyapa tokoh Aceh itu -- dari Kabupaten Aceh Singkil, lalu singgah di Subulussalam, Tapaktuan, Meulaboh, terus ke Banda Aceh. Kedatangan kami untuk sosialisasi hasil Kongres Peradaban Aceh 2015 yang diadakan pada 9-10 Desember 2015 di Banda Aceh dan dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada saat itu, Anis Baswedan.
12661863_1130439483686338_6618255382398177305_n.jpg

Kongres itu membahas persoalan bahasa-bahasa di Aceh. Temanya Penguatan Bahasa Lokal di Aceh. Mengapa bahasa lokal? Sebab, di Aceh banyak bahasa. Setidaknya ada 13 bahasa lokal di Aceh, antara lain, bahasa Aceh, Tamiang, Gayo, Aneuk Jamee, Kluet, dan lain-lain. Sebagian bahasa itu makin sedikit penuturnya. Itulah yang menjadi dasar pemilihan tema itu.

P_20150926_084941.jpg

Panitia Kongres Peradaban Aceh diketuai oleh Bang Farhan. Saya adalah sekretaris panitia. Kegiatan dibikin dalam tiga tahap. Pertama Diskusi Terfokus di sebuah hotel di Jakarta pada Mei 2015, lalu Prakongres pada September 2015 dan Kongres di Banda Aceh pada 9-10 Desember 2015. Hampir saja Kongres itu tertunda karena ada sedikit persoalan atau perselisihan di kalangan panitia.

Untuk kegiatan ini sama sekali tidak memakai uang pemerintah. Semua pembiayaan hasil meuripe (patungan donasi) dari banyak tokoh Aceh, baik di Aceh, Jakarta dan lainnya. Salah satu pendukung utama adalah Bapak Adnan Ganto. Tim panggeraknya: Bang Farhan, Jamil Hasan (alam), saya, Fikar W Eda, Fahmi Mada, Mohd Amin Usman, Morenk Beladiri, Ifdal Kasim, Nezar Patria, Ismamuddin Ismadi, Irham Isten, Nasir Jamil, Cut Aja Muzita, Reza Fahlevi, Fajri Alihar, dan Bully Nazlia.

20151208-farhan-hamiiiiidddd.jpg

Panitia terbelah menjadi dua kutup. Ada yang ingin melanjutkan sesuai dengan agenda telah ditetapkan dan diputuskan pada Prakongres. Kutup lain meminta ditunda dan diadakan pada Maret 2016. Namun, kami -- sejumlah panitia yang sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik -- tetap "nekat" melaksanakan kongres itu sesuai jadwal. Namun, teman-teman panitia di pihak yang meminta ditunda menolak hadir.

images (9).jpeg

Lepas kongres, lahirlah sejumlah rekomendasi. Nah, tugas kami adalah mensosialisasikan hasil kongres itu kepada masyarakat dan pemerintah kabupaten/kota yang ada di Aceh. Sebab, tumpuan utama penguatan bahasa lokal adalah pada mereka, bukan di provinsi. Pronvinsi adalah pendukung. "Basisnya di masyarakat setempat," kata Bang Farhan kala itu.

Kami berangkat dari Banda Aceh pada 6 Februari 2018. Kami bertiga: saya, Bang Farhan dan Pak Fajri Alihar. Seharusnya kami berempat dengan penyair Fikar W Eda, namun kala itu ia ada tugas mendadak. Tempat pertama kami singgah adalah Sigli, ibukota Kabupaten Pidie. Di sana, kami bertemu Bapak Abdul Bari Raden, mantan seorang pejabat penting di Kabupaten Pidie.

Itu pertemuan silaturahmi. Pak Bari adalah kawan Bang Farhan ketika kuliah bidang farmasi di sebuah universitas di Medan. Saya sendiri punya hubungan keluarga dengan Pak Bari. Saya memanggilnya Abucut (paman). Ia pun tak menduga akan bertemu saya setelah lebih dari 20 tahun tak bertemu.

Dari Sigli, kami bergerak ke Bireun, ibukota Kabupaten Bireuen. Tapi kami tidak singgah lama di sana. Sebab, tujuan kami adalah Takengon, Aceh Tengah. Di Bener Meriah, kami sempat singgah di Pendopo Bupati dan bersilaturahmi dengan Bupati Bener Meriah kala itu. Ia mengajak kami menginap di rumah dinasnya, tapi kami mengatakan harus segera ke Takengon untuk kordinasi tentang kegiatan sosialisasi kongres di sana.

1454896293519.jpg

Sehari di Takengon, esoknya Fikar W Eda menyusul. Namun, karena akhir pekan, kegiatan sosialisasi akhirnya dipindahkan ke hari kerja. Sehingga kami pun beberapa hari berada di kota dingin itu. Waktu longgar itu kami gunakan untuk bersilaturahmi dengan sejumlah tokoh dan seniman-budayawan di sana, seperti Bupati Aceh Tengah, Iwan Gayo (Penulis Buku Pintar), LK Ara, Daud Kalampan (seniman tradisi), dan lain-lain. Bahkan, kami ikut kegiatan baca puisi di salah satu kafe bersama para penyair setempat.

Setelah kegiatan sosialisasi di Takengon pada Selasa, 9 Februari 2016, kami berempat (saya, Bang Farhan, Penyair Fikar dan Profesor Fadjri) bergerak ke daerah lain. Tujuannya adalah Bireun, Lhokseumawe, Langsa, Kuala Simpang, Medan, lalu ke Subulusalam, Singkil, kembali ke Subulussalam, Tapaktuan, Meulaboh, Lamno dan kembali ke Banda Aceh.

Di setiap kota kami bertemu tokoh masyarakat, seniman dan budayawan setempat. Di Lhokseumawe, misalnya, kami para sastrawan seperti Arafat Nur @arafatnus, Ayi Jufridar @ayijufridar, Mahdi Idris @mahdi-idris, Masriadi Sambo @masriadi, dan beberapa yang lain. Kami mengopi hingga dinihari di salah satu warung kopi di pusat kota.

Ayi Judridar Mahri Idris Arafar Nur Masriadi Sambo Fikar W Eda-1.jpg

Lepas dini hari, kami melanjutkan perjalanan ke Langsa dan Kuala Simpang, yang menjadi agenda kami selanjutnya. Kami tiba di Langsa menjelang subuh, dan singgah di sebuah masjid. Saat itu, ada wacana untuk menginap, namun tidak jadi karena kami mengejar waktu ke Kuala Simpang.

Salah satu rekomendasi kongres Peradaban Aceh adalah pelaksanaan kongres selanjutnya di Kuala Simpang. Maka itu, selain sosialisasi hasil kongres, kami membawa mandat kepada wakil Majelis Adat Aceh di Kabupaten Tamiang untuk pelaksanaan kongres peradaban Aceh selanjutnya. Kami bertolak dari Langsa setelah bertemu sejumlah kawan, termasuk penyair Zab Bransah. Tiba di Kuala Simpang menjelang siang.

Setelah bertemu beberapa tokoh masyarakat di Kuala Simpang, kami pun bertolak ke Medan. Rencananya kami tidak menginap di jalan, tapi langsung melanjutkan perjalanan Kota Subulussalam, lalu ke Singkil, selanjutnya kembali lewat jalan barat-selatan yakni Aceh Selatan-Aceh Barat hingga tiba kembali di Banda Aceh.

Di Subulussalam bertemu Irwan, adik angkatan saya di kampus STIEI Banda Aceh dulu, yang menjadi pejabat di sana. Di Singkil bertemu penulis sastra dan budaya Sadri Ondang Jaya.

Di Subussalam kami sosialisasi hasil Kongres Peradaban Aceh di Aula Kantor Wali Kota, yang diikuti wali kota dan jajarannya serta tokoh masyarakat, seniman dan budayawan setempat. Adapun di Singkil kami sosialisasi di Sopo Belen, vila milik Profesor Fajri Alihar yang banyak ditinggali para turis asing.

Di Meulaboh, kami bertemu Teuku Ahmad Dadek, Kepala Bappeda Aceh Barat yang juga seniman. Ada pula penyair Isnu Kembara, Mustiar Ar @mustiarar dan Syarifuddin Aliza. Di Lamno kami bertemu seniman teater Erwinsyah. Namun, seperti saya sebutkan di atas, dalam perjalanan kembali ke Banda Aceh pada 11 Februari 2016 itu, kami tinggal bertiga, yakni saya, Bang Farhan dan Penyair Fikar. Prof Fajri memilih tinggal beberapa hari di kampungnya di Singkil.

1455245850243.jpg

Tentu saja ada sejumlah pengalaman unik dalam perjalanan itu. Salah satunya dalam perjalanan dari Medan ke Subulussalam. Di gunung yang sepi dan gelap, ban mobil bocor. Celakanya di mobil tidak ada kunci ban. Rupanya tidak mudah meminta bantuan kepada mobil yang lewat. Banyak mobil tidak mau berhenti ketika distop untuk minta bantuan. Beberapa yang berhenti tidak punya kunci roda sama. Kami seperti terlantar di tengah hutan itu.

1455112616255.jpg

Lewat tengah malam, Prof Fajri menelpon salah satu pejabat Pemkot Subulussalam agar mengirim bantuan. Kami terus menunggu sambil mencoba menyetop mobil yang lewat. Sempat pula gerimis kecil.turun meski tak lama. Beberapa saat sebelum bantuan dari Pemkot Subulussalam tiba, sebuah mobil yang kami stop berhenti. Pemilik mobil itu mencoba membantu. Berhasil. Barulah kami melanjutkan perjalanan yang sekitar satu jam lagi akan tiba di Subulussalam.

Pengalaman unik lain terjadi di daerah Bakongan, Aceh Selatan. Saat itu kami sudah capek dan berhenti di depan sebuah pasar tua. Tiba-tiba seperti ada yang membangunkan kami sehingga terkaget. Lalu kami pun melanjutkan perjalanan. Belum lama kami berjalan, dekat sebuah sungai dan pangkalan pasir, di Kabupaten Andiya, dari atas mobil terdengar seperti pasir yang tersiram ke bawah lalu dilindas ban mobil.

Bunyi pasir itu terus terdengar. Pasir-pasir itu seperti berterbangan dan menyentuh bodi mobil. Bang Farhan yang menyetir dan saya duduk di sampingnya di kiri depan. Adapun penyair Fikar tertidur di jok belakang. Bunyi hujan pasir itu baru berhenti setelah kami berhenti di sebuah pom bensin. Setelah istirahat sejenak, baru kami melanjutkan perjalanan.
Hingga kini kami seperti tak percaya apa yang kami alami. Tapi itu nyata. Sangat nyata.

Di Meulaboh, kami juga mengalami peristiwa tak terlupakan. Mobil yang dikemudikan Bang Farhan ban depannya tenggelam di pasir. Itu terjadi pagi-pagi, saat kami baru tiba di Kota Meulaboh jami jalan-jalan ke Pantai Suak Ujong Kalak. Lebih satu jam kami di sana untuk melepaskan mobil dari cengkraman pasir. Sejumlah warga sekitar ikut menolong
P_20160212_074843.jpg

Melihat-lihat foto kegiatan Kongres Peradaban Aceh maupun jejak kegiatan lanjutannya, saya kembali teringat pertemuan panitia KPA 2015 pada 12 Desember 2017: Kongres Peradaban Aceh harus kita gerakkan kembali. Ada sejumlah hal krusial perlu dibicarakan, seperti tercantum dalam berita di Serambi Indonesia, 13 Desember 2017: "Reuni 1212#KPA" Sepakat Selenggarakan kembali Kongres 2018, Dijadwalkan di Tiga Daerah Ini. Kami harus kembali bergerak segera.

JAKARTA, 13 Februari 2018
MUSTAFA ISMAIL | @MUSISMAIL
FOTO-Foto di atas: Koleksi Pribadi

image-1_1518566281837.jpg
Foto: capture Web Seranbinews.com

Sort:  

Luar biasa deskripsi nya om, saya seperti hadir dalam tim CK ck CK reportase berkelas

Wah makasih. Ya sekedar mengisahkan hal yang kami alami.

Makasih. saya mengisahkan apa yang kami alami..salam

Salam kenal syedara (sobat) . Semoga bisa menjadi kawan baik dan saling support 😀

Salam kenal juga. Insya Allah. Silaturahmi itu indah

Dan sekarang baru tau kalau aceh setidaknya punya 13 bahasa berbeda. Tercerahkan bg hHa

Ya di Aceh ada 13 bahasa lokal yang dituturkan. Itu tidak termasuk bahasa luar Aceh

Perjalanan panjang ya bg @musismail

Ya benar. Itu perjalanan panjang yang mengasyikkan

Coin Marketplace

STEEM 0.21
TRX 0.20
JST 0.034
BTC 91841.68
ETH 3134.29
USDT 1.00
SBD 3.07