Kreatifitas Pengrajin Kanot Tanoh

in #story7 years ago

kuali.JPG

TANGAN Nek Hanifah (90) lincah menggepal-gepal tanah sesuai ukuran yang diinginkan. Mata tuanya tajam menatap gumpalan tanah liat di depannya. Sesekali dia menyeka pelun yang menetes di dahi.

Begitulah keseharian pengrajin kanot dan beulangong tanoh (periuk dan kuali tanah) di Desa Mee Matang Payang, Kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara. Wanita renta itu sudah puluhan tahun melakoni usaha kecil tersebut. Kegigihannya patut diacungi jempol. Bukan hanya sekadar bisnis, namun nenek ini menekekuni usaha itu demi menjaga tradisi.

Ukuran periuk dan kuali bervariasi. Disusun berjejer rapi di belakang rumah wanita yang akrab disapa Nek Bet itu. Kemampuan membuat periuk tanah diperoleh dari orang tuanya sekitar 50 tahun silam.

“Siapa yang lebih dulu mengajarkan cara membuat periuk dari bahan tanah liat di desa ini kami tidak tahu. Yang jelas, ketika saya kecil tahun 1926 orang tua saya sudah mulai membuat periuk tanah dan diajarkan ke saya,” terang Nek Bit. Kini, dia juga meneruskan kemampuan itu pada putrinya Hendon (38).

Desa itu menjadi sentral pengrajin periuk tanah. Sederetan nama-nama pengrajin seperti Ruhama, Safriana, Juwariah, Jamaliah, dan Darmiah dikenal luas hasil produknya sampai ke Medan Sumatera Utara. Bahkan, pengrajin gerabah seperti Aminah, Fatimah dan Ruhani juga menetap di desa itu. Kecamatan tersebut dikenal sebagai pusat kerajinan berbahan baku tanah liat di Aceh Utara.

“Produk ini dijual ke Aceh Tamiang, Banda Aceh bahkan Medan. Banyak agen yang datang membeli kemari. Meski zaman telah modern, masih banyak penggemar periuk tanah,” terang Nek Bit.

Membuat kanot dan beulangeung tanoh itu bukan perkara gampang. Buktinya, masing-masing pengrajin hanya mampu menyelesaikan periuk sekitar 10 buah per hari. Bahkan, jika berukuran besar hanya mampu diproduksi enam buah per hari.

“Kita ambil tanah liat, tanah itu diaduk dengan cara diinjak sampai rata. Jika tidak rata, maka periuknya mudah pecah,” jelas Nek Bit. Setelah tanah liat rata, barulah dibuat sesuai bentuk dan ukuran yang diinginkan. Kemudian, kuali dan periuk itu dijemur selama dua hari. Setelah itu digosok sampai mengkilap. Terakhir dibalut dalam daun pisang lalu dibakar dengan menggunakan jerami.

Jika warna kuali berubah dari hitam ke orange kecoklatan, barulah kuali diangkat dari perapian dan didinginkan. Setelah itu produk tangan manusia itu siap untuk dijual. Sayangnya, harga jual tak kunjung membaik. Saat ini, harga jual berkisar Rp 2.500-3.500 per buah. Keuntungan dalam sekali produksi diperkiarakan sekitar Rp 150.000. Modal untuk sekali produksi sekitar Rp 500.000 untuk membuat 600 kuali atau periuk tanah.

Menurutnya hasil karya Gampong Mee Matang Panyang, sudah banyak diminati oleh orang dari luar Aceh, seperti Sumatera Utara (Medan) dan lainya.

Pengrajin lainnya, Ruhama dan Safriana menyebutkan harga jual tersebut tidak bisa didongkrak karena pengrajin belum memiliki sentra penjualan. Mereka berharap, pemerintah bisa membantu sentra penjualan. Sehingga, produk mereka bisa dijual dengan harga lebih mahal.

Meski begitu, mereka kini terus bertahan di tengah kemajuan zaman. Meski zaman telah canggih, alat memasak semakin modern dan praktis, peminat kuali dan periuk tanah tetap setia. Buktinya, saban hari produk pengrajin itu dicari para agen untuk dijual ke kabupaten lainnya.

Kini, mereka terus berkarya. Berusaha maksimal, untuk meneruskan peninggalan leluhur dan untuk memproduksi kerajianan yang menjadi salah satu khas Aceh Utara. Kreatifitas mereka tak lekang ditelan zaman.

)

Sort:  

Butuh bantuan pemerintah setempat untuk membantu para industri kecil dalam hal pemasaran

betul, biar lebih indah juga

TANGAN Nek Hanifah (90) lincah menggepal-gepal tanah sesuai ukuran yang diinginkan. Mata tuanya tajam menatap gumpalan tanah liat di depannya. Sesekali dia menyeka pelun yang menetes di dahi.

Luar biasa bg @masriadi. Semoga pemerintah membuka mata akan hal ini, agar kerajinan dan sebuah usaha yang hampir hilang ditelan zaman di era globalisasi sekarang ini bisa dibudidayakan.

Great post and very informative. @masriadi Have learnt a lot from it.

Orang2 yg trampil ini termasuk manusia langka. Klo misalnya dikembangkan dgn melibatkan pemuda bisa saja lho tempat ini menjadi sentra gerabah spt di Kasongan jogja yg terkenal itu.

betul, terkadang kreatifitas itu dianggap g serius. padahal butuh kemasan, polesan dan promosi plus pasar, kata almarhum sutan bathogana -jadi barang tu--

Betul. Para perajin yg sdh tua mgkn ga tau apa itu polesan ato promosi, makanya pemerintah hrs tanggap dlm membantu. Harus byk study tour nih dinasnya

Menjaga warisan mantap

kreatif,,
kami udag unfote yahm,,, back

terima kasih ya

Ini harusnya dipromosikan terus karena sangat baik utk kesehatan dan memberikan rasa yang berbeda, lebih enak masak pakai periuk tanah liat. Salam hangat pura-pura...

eh kalo salam g boleh pura pura....kalo aku mah penulis pura pura

Salam hangat pura2, soalnya dingin! Hahaha

oooo, tapi dinginnya ndak pura pura?

Postingan yang sangat berguna agar masyarakat tahu ada yang seperti ini di Aceh. Tahu, lalu peduli.

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.15
JST 0.028
BTC 62205.55
ETH 2397.85
USDT 1.00
SBD 2.50