Kisah Laskar Mujahidin Melucuti Tank dan Gudang Senjata Jepang

in #story6 years ago

Pada 16 November 1945, para ulama di wiayah Lameulo (Kota Bakti) dan Sigli, Pidie, mengadakan pertemuan di Masjid Tiro. Mereka membicara tentang langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menghalau masuknya kembali tentara Sekutu dan Belanda ke Aceh.

Pertemuan yang dihadiri sekitar 600 orang ulama Luhak Pidie tersebut, setelah Tgk Muhamamd Daod Beureu’eh pidato penjang lebar, menjelaskan tentang kondisi dan kemungkinan terburuk yang akan dihadapi, akhirnya diputuskan membentuk Laskar Mujahidin, pasukan bersenjata yang akan menghalau Sekutu masuk ke Aceh. Laskar ini dipimpin oleh Tgk Umar Di Tiro.

Pertemuan para ulama Pidie itu selain membentuk Laskah Mujahidin, juga menegaskan tiga keputusan penting. Pertama, perang melawan Sekutu yang diboncengi Belanda tersebut hukumnya fardlu’in yakni wajib bagi setiap muslim. Kedua, dana untuk perjuangan diperoleh dari baitulmal, zakat, dan sokongan dari orang-orang kaya. Dan yang ketiga, hukum bagi cuak (pengkhianat) sama dengan kafir, halal darahnya untuk diperangi.

Usai rapat di Masjid Tiro tersebut, Tgk Muhammad Daod Beureueh menuju Banda Aceh, karena esoknya, 17 November 1945, ia juga akan memimpin rapat ulama seluruh Aceh di Masjid Raya Baiturrahman. Hasilnya juga sama, membentuk Laskar Mujahidin di seluruh Aceh untuk mempertahankan Aceh dari serangan Belanda dan sekutu-sekutunya.

Daud Beureueh.jpg
Tgk Muhammad Daod Beureu'eh bersama para ulama Aceh sumber

Pada hari yang sama, masyarakat di sekitar Kota Lhokseumawe berduyun-duyun memasuki Kota Lhokseumawe, mereka berkumpul dalam kelompok masing-masing. Menjelang sore semua mereka bergerak menuju tangsi militer Jepang dan mengepungnya dari berbagai sisi.

Beberapa perwakilan mereka masuk ke tangsi militer Jepang melakukan perundingan dengan para komandan tentara Jepang mengenai pelucutan senjata. Perundingan berlangsung hingga malam hari, hingga akhirnya Jepang menyetujui menyerahan 300 pucuk senjata dan amunisinya, setelah itu pengepungan tangsi militer Jepang diakhiri, masyarakat kembali ke tempatnya masing-masing.

Sehari kemudian, 18 November 1945, Tentara Kemanan Rakyat (TKR) di Bireuen melakukan hal yang sama, menuntut kepada Komando Tetara Jepang untuk menyerahkan senjata senjata kepada rakyat Aceh. Permintaan itu awalnya ditolak pihak Jepang, tapi setelah diancam, laskar perjuangan rakyat Aceh akan menyerbu ke tangsi militer tersebut, Jepang mengalah. Setelah melalui serangkaian perundingan akhirnya disetujui Jepang menyerahkan 320 pucuk senjata beserta amunisinya untuk laskar perjuangan rakyat Aceh di Bireuen.

Pada hari yang sama, Residen Aceh Teuku Nyak Arief menghadiri rapat umum masyarakat Indrapuru, Aceh Besar. Ia berpidato di hadapat massa, mengutuk keras tindakan-tindakan Belanda yang hendak masuk kembali ke Aceh untuk tujuan penjajahan. Ia meminta rakyat Indrapuri untuk bersatu menghadapi kemungkinan masuknya kembali Belanda bersama Sekutu ke Aceh.

Ternyata rakyat Bireuen tidak puas hanya dengan 320 pucuk senjata saja, dua hari kemudian, 20 November 1945, terjadi kegaduhan di tangsi militer Jepang di Gampong Juli dan Geulanggang Labu. Dengan bebeal 320 pucuk Senjata yang diserahkan Jepang dua hari sebelumnya, rakyat Bireuen menyerang markas militer Jepang, untuk merebut senjata yang lebih banyak.

bunker atau gua jepang di Blang Panyang Lhokseumawe.jpg
Bungker atau Gua Jepang di Blangpanyang, Lhokseumawe, salah satu tangsi militer Jepang sumber

Penyerangan tangsi militer Jepang di Juli dipimpin oleh Keuchik Ibrahim, bersama Thaib Bulan, Yusuf Ahmad bersama beberapa kawannya. Perang terjadi selama 3 hari, baru reda setelah kedua pihak melakukan negoisasi gencatan senjata.

Militer Jepang sangat terpukul karena diserang dengan senjata yang mereka serahkan sendiri kepada pejuang Aceh. Akhirnya untuk menghindari banyaknya jatuh korban, Jepang menyerahkan 6 tank (kenderaan tempur lapis baja), 3 pucuk meriam pantai, 3 pucuk meriam mesin Juki, 2 truk, dan 72 pucuk karaben beserat 7 gudang amunisi. Hal yang sama juga terjadi di Rantau Kuala Simpang, pejuang di bagian Timur Aceh berhasil menyakinkan Jepang untuk menyerahkan senjata tanpa perlawanan.

Pada 22 November 1945, giliran masyarakat Geulanggang Labu asrama angkatan udara Jepang di daerah tersebut. Penyerangan dipimpin oleh Utoh Husen, AR Hamidi bersama beberapa pimpinan Tentara Kemanan Rakyat (TKR) Bireuen. Negoisasi untuk menyerahkan senjata ditolak pihak Jepang, karena itu Jepang diserang dari berbagai penjuru.

Setelah perang terjadi selama 3 jam, Komandan Jepang di Pankalan Udara Geulanggang Labu mengangkat bendera putih, menawarkan perundingan. Hasil perundingan tersebut, Jepang menyerahkan 60 pucuk senjata. Penyerahan yang tidak memuaskan pejuang Aceh tersebut membuat suasana tidak terkendali. Para pejuang Aceh tidak bergerak dari pangkalan, mereka tetap melakukan pengepungan. Khawatir terjadi perang yang lebih besar, pasukan Jepang kemudian meninggalkan pangkalan Geulanggang Labu pindah ke markas mereka di Lhokseumawe.

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Atjeh-Hotel_met_K÷hlerboom_Kota_Radja_TMnr_10014998.jpg.jpeg
Masjid Raya Baiturrahman tempat berlangsungnya pertemuan Ulama se-Aceh sumber

Esoknya, 23 November 1945, para ulama di Aceh Besar kembali menggelar rapat di Masjid Raya Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Pertemuan itu memutuskan mebentuk Barisan Hizbullah. Sebagai pengurusnya dipilih Tgk Haji Hasan Krueng Kale, Tgk Sayed Abdullah Kaju, Tgk Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, Tgk H Makam Gampong Blang, Tgk Muhammad Ali alias Tgk Lampisang, Tgk Muhammad Daod Beureue’eh, Tgk Abdul Wahab Seulimuem, Tgk Muhammad Saleh Lambhuk, Tuanku Abdul Aziz, Tgk Haji Hamzah Ateuk, Tgk Muhammad Amin Sigli, Tgk Muhammad Daod Uleelheu, Tgk Muhammad Ami Alue, Tgk Marhaban Krueng Kale, Tgk Haji Muhammad Jafar Lamjabat, dan Tgk Sulaiman Mahmud Uleekareng.

Sebagai Ketua I dan Ketua II Barisan Hizbullah ini ditunjuk Tgk Muhammad Daod Beureu’eh dan Tgk Haji Ahmad Hasballah Indrapuri. Sementara untuk jabatan Setia Usaha ditunjuk T Muhammad Amin, Tgk Marhaban, dan Tgk Sulaiman Mahmud.

Laskar Mujahidin dan Barizan Hizbullah bentukan ulama inilah yang kemudian menggelorakan perang di Aceh, disamping laskar-laskar penjuanga lainnya yang dibentuk oleh para pemuda dan Residen Aceh. Tentang sumua ini bisa dibaca dalam buku Batu Karang di Tengah Lautan terbitan Lembaga Sejarah Aceh. buku ini ditulis oleh Teuku Alibasyah Talsya.

Sort:  

setiap kali membaca sejarah seperti ini, muncul pertanyaan besar, kenapa buku-buku berisis sejarah penting begini tidak ada di perpustakaan sekolahku dulu? aku lebih banyak membaca tentang perang di negara lain dan sejarah kerajaan2 jawa kuno ketimbang sejarah tanah leluhurku sendiri. arghh.. semoga saja ada nanti anak2 muda aceh setelah generasi kita yang mau terus menerus mempelajari dan menyebarkan sejarah-sejarah penting begini, agar identitas sebagai bangsa Aceh tidak terlupakan begitu saja dan larut dalam perpolitikan praktis lalu hanya mengenal betapa anehnya negara ini dijalankan sekarang.

Ya, sejarah Aceh masih banyak yang tersimpan di bawah karpet merah @cicisaja. Ada yang menarik dan saya belum menemukannya, kabarnya di tahun 1960-an di Aceh dibuat film perjuangan judulnya "Lila Meulia" yang bermakna Baja Membara. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh ikut mensponsori sebagian dana produksi film tersebut. Tapi setelah film jadi, dilarang putar oleh pemerintah, alasannya akan membangkitkan fanatisme dan nasionalisme ke-Aceh-an rakyat Aceh. Sampai sekarang film itu tidak jelas wujudnya, katanya filmnya sangat heroik, melebihi film Cut Nyak Dhien. Sampai ke film pun Aceh "dihadang", mungkin di museum film atau lembaga sejenisnya di Jakarta film itu masih disimpan. Sampai sekarang saya masih penasaran dengan film Lila Meulila tersebut.

😯 ada yaaa.. ada yang tahu siapa sutradaranya? Kalau 1960.. kayaknya agak mustahil untuk mendapatkannya kecuali dari tangan pertama. Tapi who knows? Suatu saat akan muncul jua ketika orang2 sudah mulai lupa dgn film2 yg terlarang tapi layak tonton bersama.

Itu belum lagi kalau orang2 yg terlibat sudah pada habis umur? Ughh.. sayang sekali generasi muda Aceh, perlahan akan kehilangan identitasnya bila mengabaikan sejarah tanah indatunya.

Orang-orang tua di kawasan perbukitan Lhoknga pasti tahu itu. Saya memperoleh informasi itu dari seorang bapak tua di Lueng Bata, kawan saya kos di rumah dia. Dia bercerita pernah jadi pemain film figuran, maka mengalirlah kisah tentang film Lila Meulila tersebut. Katanya ia berperan sebagai pekerja paksa, pemecah batu di bukit Lhoknga, di sana para pemuda Aceh pekerja paksa menyusun sebuah siasan melawan tentara Jepang, cerita selanjutnya mengalir ke kisah-kisah heroisme dalam perang. Saya berharap suatu saat menemukan kisah tentang film itu.

Waaahhh... sempat rekam? Biasanya kalau kita bisa dapat satu narsum.. yg lain pasti menyusul saat mulai melempsrnya ke publik😁 masih ingat soal obligasi seribu rupiah kan? Naaahh.. who knows? Mgkn harus disusuri ke siapa penyelia urusan pendidikan tahun 60-an di Aceh. Uhmmm.. biasanya kalau sudah dilarang akan dimusnahkan. Tapi kalau mau riset .. mana tahu ada di pusat film nasional? Apalagi pita film saat itu masih celluloid

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.15
JST 0.028
BTC 62943.85
ETH 2464.43
USDT 1.00
SBD 2.55