Kisah di Balik Perjanjian Renvile Indonesia-Belanda

in #story6 years ago

Perundingan Linggarjati yang ditandatangani pada 25 Maret 1947 tidak memberi kepuasan kepada kedua pihak, Indonesia dan Belanda. Pemerintah Belanda hendak memasukkan gendarmerie bersama ke wilayah de facto Republik Indonesia. Hal itu ditolak oleh pihak Indonesia.

Akibat penolakan itu, Belanda kemudian kembali menggunakan kekuatan bersenjata, perang kembali berkecamuk. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta kedua belah pihak untuk menghentikan tembak menembak dan mengirim Komisi Tiga Negara ke Indonesia untuk menjadi penengah.

Pada 14 November 1947 Panitia Perundingan Istimewa dari Indonesia dan Belanda mengadakan pertemuan permulaan untuk menghentikan perang. Tetapi perundingan itu buntu, sebab Belanda tidak mau menarik tentaranya ke garis demarkasi awal tanggal 4 Agustus 1947. Selanjutnya pada 8 Desember 1947 perundingan dilanjutkan lagi di atas kapal Renvile. Perundingan berjalan alot dan sempat menjadi deadlock.

H Agussalain Soekarno_Historia.jpg
Haji Agussalim bersama Soekarno Sumber

Perdana Menteri Amir Syarifuddin tak kala hendak kembali ke Yogjakarta, mengatakan kepada pers bahwa, delegasi Indonesia mungkin tidak akan kembali ke Jakarta untuk perundingan lanjutan, apa bila sikap Belanda tidak berubah dan tidak mau menyatakan itikat baiknya untuk menyelesaikan masalah.

Saat itu hanya Hadji Agus Salim sendiri delegasi Indonesia yang masih berada di Jakarta. Dalam suasana jalan buntu tersebut, Hadji Agus Salim menegaskan, meski sendiri ia akan mengupayakan perundingan itu bisa berlanjut.

Pada 2 Januari 1948, Belanda mengajukan usulan kepada Indonesia. Usulan itu tidak boleh ditambah dan dikurangi. Belanda mengajukan opsi kepada Indonesia setuju atau tidak dengan usulan itu.

Ali Sastroamidjojo meminta waktu dua hari untuk membawa dan merundingkan usulan Belanda tersebut ke Pemerintah Republik Indonesia di Yogjakarta. Belanda memberi waktu sampai tanggal 6 Januari 1948 pukul 12.00 siang. Usulan Belanda itu dianggap sebagai ultimatum, suasana menjadi tambah genting.

Amir Syarifuddin dan Mohammad Roem.jpg
Air Syarifuddin bersama Mohammad Roem Sumber

Perdana Menteri Amir Syarifuddin membawa sediri jawaban kepada Belanda yang dengan tegas menolak usulan Belanda tersebut. Jawaban tersebut diserahkan kepada Prof Frank Graham dari Komisi Tiga Negara utusan PBB. Komisi Tiga Negara kemudian menambah enam pasal lagi pada usulan Belanda. Tapi Belanda menolaknya, mereka tetap pada usulannya yang tidak boleh dirubah.

Suasana menjadi sangat genting. Pada 9 Januari 1948, Belanda pasukan Belanda disiapkan dari Jakarta untuk menyerang pusat pemerintahan Indonesia di Yogjakarta. Perdana Menteri Amir Syarifuddin terbang ke Singapura dan Bukittinggi untuk menjumpai Wakil Presiden Muhammad Hatta dan Sutan Sjahril. Mereka beruding di Kaliurang untuk menentukan nasib Indonesia.

Belanda kemudian memundurkan batas ultimatumnya salama satu minggu, yang semua 6 Januari menjadi 13 Januari 1948. Tapi Pemerintah Indonesia tetap menolak usulan Belanda tersebut.

Pemerintah Indonesia lalu memanggil Ketua Bagian Politik Pemerintah Hindia Belanda, Van Vredenburgh untuk menentukan nasib Belanda pula, kepadanya diserahkan usulan baru dari Indonesia, Van Vredenburgh kemudian membawa usulan tersebut kepada Pemerintah Belanda.

DK_PBB K3Negara.jpg
Para perwira DK-PBB dari Komisi Tiga Negara ketika berkunjung ke Aceh Sumber

Usulan itu merupakan gabungan tiga usul, yaitu usulan dari Indonesia, Komisi Tiga Negara dan usulan Belanda sendiri. Terhadap usulan itu Belanda kemudian mengambil empat poin sikap yakni:

Pertama, Belanda menganggap perang antara Indonesia dan Belanda selama ini hanyalah pertikaian dalam negeri saja. Kedua, Belanda akan menyerahkan penyelesaian hal itu kepada Dewan Keamanan PBB. Ketiga, Dewan Keamanan PBB tidak dapat mengirim arbitrage-nya ke Indonesia. Keempat, hak veto dari Perancis.

Setelah perjanjian Linggarjati ditandatangani, Lord Killearn meninggalkan Indonesia, tetapi dengan perjanjian Renvile, Komisi Tiga Negara tetap tinggal di Indonesia, sehigga Belanda tidak dapat mengatakan bahwa perselisihan antara Indonesia dengan Belanda itu hanya binnenlansche-kwestie.

Tapi hak-hak Komisi Tiga Negara hanya sebatas hanya sebatas mediasi saja. Tanggung jawab sepenuhnya untuk urusan perdamaian tetap ada pada pihak Indonesia dan Belanda.

Sort:  

Mungkin cuma droen steemian yang fokus sejarah. Yg laen sige saho, ho yg singet😁

hahahah, gob nyan ka nyan sikula geuh, awak laen watee dijak sikula dilob lampuoep.... wkwkwkw

Upss nyan ka salah brader @munaa sikula long ekonomi akuntansi kon sejarah. ha ha ha ha

Nyan nyang jeut teuh brader @tinmiswari nyang laen bah rakan laen nyang tuleh

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63439.39
ETH 2545.40
USDT 1.00
SBD 2.66