Aceh Hari Ini: Swedia Tutup Kedutaan di Jakarta Akibat Persoalan Aceh
Pemerintah Indonesia berulang kali meminta Pemerintah Swedia untuk memproses hukum Hasan Tiro dan Zaini Abdullah petinggi Gerakan Aceh merdeka (GAM) yang menetap di negara tersebut. Sesmenkopolkam Republik Indonesia saat itu Sudi Silal menyiapkan opsi untuk Swedia, salah satunya pemutusan hubungan diplomatik.
Hal itu disampaikan kepada media oleh Sudi Silalahi pada 1 Juni 2003. Pemerintah Idonesia mengaku kecewa kepada Swedia, karena Wali Negara GAM Hasan Tiro dan Menteri Luar Negeri GAM Zaini Abdullah yang menetap di Swedia tidak diproses hukum.Akibat opsi tersebut, Pemerintah Swedia menutup kantor kedutaannya di Jakarta.
Lambang Kedutaan Besar Swedia [Sumber: Google]
Sikap Swedia tersebut membuat banyak kalangan berang, tak kecuali Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Amien Rais yang sontak meminta agar memutuskan hubungan diplomatik dengan Swedia. Meski demikian, kekecewaan tersebut tidak sampai me¬mutuskan hubungan diplomatik dengan negara Eropa tersebut. Berbagai usaha terus dilakukan untuk meyakinkan pemerintah Swedia.
Pada saat yang sama Kapolri Dai Bachtiar terus menyiapkan bukti-bukti keterkaitan aktivitas Hasan Tiro dan Zaini Abdulah dengan GAM di Aceh. Mereka juga menyasar Malik Mahmud Perdana Menteri GAM warga negara Singapura yang pada masa-masa getting itu juga berada di Swedia, menemani Hasan Tiro dan Zaini Abdullah.
Selain itu, pada 7 Juni 2003, Pemerintah Republik Indoesia juga mengutus mantan Menteri Luar Negeri, Ali Alatas ke Swedia. Ali Alatas dengan timnya membawa sejumlah bukti keterlibatan Hasan Tiro dalam berbagai aktivitas GAM. Bukti-bukti tersebut terangkum dalam dokumen setebal 1.500 halaman.
Ali Alatas [Sumber: Wikipedia]
Konflik bersenjata di Aceh pada tahap-tahap tertentu membuat hubungan luar negeri antara Indonesia dengan Swedia sempat menegang. Pemerintah Indonesia meminta kepada Swedia untuk mengektradisi para petinggi GAM yang bermukim di negara Skandinavia tersebut ke Indonesia.
Masyarakat Indonesia dan dunia tahu bahwa pucuk pimpinan GAM menetap di sebuah kawasan pinggirin Stockholm, seperti Hasan Tiro, Zaini Abdullah dan Bakhtiar Abdullah. Mereka malah telah menjadi warga negara Swedia. Sementara Malik Mahmud dan Zakaria Saman alias Karim Bangkok meski menetap di Swedia keduanya berkewarganegaraan Singapura.
Petinggi GAM Malik Mahmud dan Zaini Abdullah [Sumber; Google]
Pemerintah Indonesia juga mengupayakan langkah diplomasi dengan melobi pemerintah Swedia agar menindak warga negaranya itu yang mengontrol perlawanan GAM terhadap RI di Aceh. Langkah diplomasi pemerintah Indonesia ini berjalan lamban karena ditanggapi dingin oleh pemerintah Swedia.
Pemerintah Indonesia melalui Menko Polkam, Mabes Polri dan Departemen Luar Negeri berusaha mengumpulkan bukti-bukti yang bisa memperkuat alasan agar aparat penegak hukum Swedia mengusut keterlibatan petinggi GAM di Swedia dengan konflik Aceh. Beberapa kali pemerintah Indonesia mengirim bukti-bukti kepada pemerintah Swedia.
Untuk menembus benteng hukum Swedia, pemerintah Indonesia menyewa seorang pengacara Swedia, Anders Karlstrom untuk mempelajari dan menembus hukum Swedia yang dikenal begitu ketat. Kemudian pada 3 Mei 2003, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam) kala itu dijabat Susilo Bambang Yudoyono, meminta pemerintah Swedia untuk mengambil tindakan hukum terhadap Hasan Tiro. Dua hari kemudian Juru Bicara Departemen Luar Negeri Swedia, Jan Janonius menyatakan bahwa pemerintah Swedia menolak permintaan pemerintah Indonesia tersebut.
Setelah sekian lama melakukan langkah diplomatik, baru pada 16 Februari 2004, Kepala Kejaksaan Stockholm, Tomas Linstrad mengumumkan bahwa pihaknya akan melakukan penyelidikan awal terhadap Hasan Tiro dan petinggi GAM lainnya di Swedia.
Thomas Linstrad [Repro: Sidney Morning Herald]
Pihak Kejaksaan Stockholm kemudian mem¬bentuk tim investigasi. Tim itulah yang kemudian melakukan investigasi langsung ke Indonesia. Mereka datang ke lokasi kejadian sebagaimana disebutkan dalam dokumen yang diserahkan pemerintah Indonesia. Selain itu, tim tersebut juga melakukan wawancara langsung dengan tokoh-tokoh GAM di Indonesia yang telah ditangkap dan dipenjara.
Tim dari Kejaksaan Swedia yang dibawa Linstrad ke Aceh antara lain: Agnetha Hielding (Wakil Linstrad), Bjorn Erlandson, Gunar Akesten, Sven Ake Blombrgson dan Ulif Samuelsson. Tim ini datang untuk melakukan investigasi awal (preliminari investigation). Mereka didampingi oleh sejumlah pejabat dari Departemen Luar Negeri (Deplu), Mabes Polri, Kejaksaan Agung, serta Departemen Kehakiman dan HAM.
Ada 13 tokoh GAM di Aceh yang diperiksa tim kejaksaan Swedia, diantaranya: Tgk Muhammad Usman Lampoh Awe yang dikalangan GAM dikenal sebagai Menteri Keuangan, Sofyan Ibrahim Tiba (mantan juru runding GAM), Said Ali Sawang bin Abdullah, dan Ligadinsyah. Pemeriksaan terhadap mereka dilakukan secara tertutup di Mapolda Aceh. Dari Banda Aceh tim jaksa Swedia kemudian berkunjung ke Meulaboh, Kamis, 18 Maret 2004 untuk mewawancarai tokoh GAM yang ditahan di sana.
Namun hasilnya, jaksa Stocholm tidak menemukan keterkaitan antara perang yang digelorakan di Aceh dengan pimpinan GAM di luar negeri. Tanggung jawab terhadap perang diemban oleh panglima wilayah masing-masing. Kecerdikan GAM di Aceh memberi jawaban membuat petinggi GAM yang sempat ditahan di Swedia dibebaskan. Saat dibebaskan, Pemerintah Swedia juga membayar kompensasi kepada petinggi GAM akibat penahan tersebut.
Pada masa itu, berita tersebut sangat gencar dipublikasikan melalui pelbagai media massa dan elektronik. Namun sayangnya, bisa dikatakan inilah kegagalan politik pusat saat itu terhadap Aceh.
Ya, semua telah menjadi catatan sejarah, untuk menjadi pelajaran bagi generasi Aceh masa yang akan datang.