Kebab and Memoriam Aceh-Turkey (Kebab dan Nostalgia Aceh – Turki)

in #story7 years ago

INDONESIA-ENGLISH

Setahun terakhir ini saya mulai menyukai Kebab. Makanan khas asal Negara Turki itu awalnya saya dikenali oleh seorang gadis yang doyan terhadap Kebab. Dia meminta saya mencicipinnya, akhirnya saya pun jatuh cinta kepadanya, bukan kepada gadisnya tapi kepada makanan khas negeri Ankara tersebut.

IMG_20180115_180910.jpg

Cita rasa Kebab ternyata cocok dengan lidah saya, aroma dagingnya yang renyah serta bumbu saus serta sayur yang sangat menggoda selera. Di Banda Aceh, kebab yang paling saya senangi itu Kebab Ali yang ada di Lampineung Banda Aceh.

Bicara Kebab Turki ini, seperti gayung bersambut. Kebetulan, beberapa minggu lalu saya diberikan membuat tugas menulis artikel oleh dosen di kampus tentang sejarah peradaban Islam, temanya Hubungan Aceh dengan Turki sejak Abad 16 hingga 19.
IMG_20180115_170811.jpg

Secara tidak langsung, saya menyukai makanan Turki dan saya mengkaji melalui beberapa buku bacaan hubungan harmonis antara Sultan Aceh Darussalam dengan Kerajaan Turki Utsmani.

Hubungan Aceh dengan Turki memang sudah lama terjalin sejak Sultan Aceh Al-kahhar. sebagai bukti, masih dapat dilihat beberapa makam Turki seperti makam Teungku Dibitai. Sampai sekarang tidak ada lagi hubungan yang seerat dahulu. Ketika Aceh dilanda Tsunami yang meluluhlantakkan ibukota, bantuan kemanusian seluruh dunia berdatangan, termasuk dari Turki itu sendiri.

Terakhir Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mulai berkerjasama kembali dengan negara itu, namun bukan lagi sebagai hubungan antara negara, sebab Aceh bukan sebuah negara melain sebuah provinsi di Indonesia yang diberikan otonomi khusus, termasuk bekerjasama dengan negara luar.

Aceh-Turki Masa Lampau

Hubungan antara Turki Utsmani dengan kerajaan Aceh Darussalam tergolongan hubungan yang sangat unik dan menarik. Secara geografis kedua kerajaan ini berada sangat jauh. Posisi Turki Utsmani berada di Eropa bagian Tengah, sedangkan Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara (pinggiran). Untuk pengaksesan antara kedua kerajaan ini pada abad 16 hingga 19 belum tersedianya transportasi laut yang memadai. Biarpun demikian, hubungan kedua kerajaan ini berlangsung lebih 300 tahun.

Dalam buku Mapping The Acehnese Past yang ditulis R. Michael Feener, dkk menyebutkan, pada abad 12, hubungan dengan Asia Tenggara telah berlangsung. Para pedagang Turki mengikuti jejak orang-orang Islam Arab, Persia dan India yang mulai membangun hubungan dengan Asia Barat dan Cina setelah pemberlakuan Aturan Seljuk di Asial Barat sekitar abad 11.

Kedatangan pedagang orang-orang Turki ke daerah tersebut dicatat oleh seorang pengelana muslim dari Afrika Utara yaitu Ibnu Batuta (w. 1369). Kebetulan Ibnu Batuta saat itu mengunjugi kesulatan Samudra Pasai di Sumatera Utara dalam perjalanan menuju Cina pada tahun 1345 dan 1346. Ia melihat ada tradisi kesultanan yang mirip dengan Turki di India dan Delhi.

Albert Hourani, dalam buku A History of Arabs Peoples menuliskan, bangsa Turki ini dikenal dengan bangsa “Rum”. Pasalnya, tempat Turki yang kita saksikan hari ini sebagai bekas pemerintahan Kerajaan Romawi. Kerajaan Turki Usmani memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Masyarakat yang berada dalam wilayahnya tentu jumlahnya banyak pula. Mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda, mereka adalah rakyat atau penduduk yang menetap di dalam wilayah kekuasaan kerajaan Turki Usmani.

Sumber-sumber Turki

Beberapa sumber Turki mengungkapkan mengenai hubungan Turki dengan kesultanan Aceh terjadi pada abad ke-16 ketika Sultan Sulaiman Agung berkuasa dan dilanjutkan oleh Sultan Selim II (k. 1566-1547). Duta besar Aceh pertama tiba di Istanbul pada tahun 1547, meskipun tidak ada rekaman di arsip Turki Utsmani yang membuktikan hal ini.

Seorang sejarawan yang terkenal asal Austria, B.J von Hammer mengenai Turki Utsmani menuliskan berdasarka cerita-cerita Turki Utsmani, Yakni Ali Celazade. Solakzade dan Lutfi menyebutkan bawah saat tinggal di Istanbul, beberapa utusan Kristen mengatakan ada utusan dari Alauddin, salah satu penguasa di sepanjang Samudera India dalam rangka meminta bantuan militer untuk melawan Portugis. Katanya utusan Alauddin mempersembahkan kepada Sultan barang bawaannya seperti binatang-binatang aneh, burung Nuri yang cantik dengan bulunya bermacam warna, rempah-rempah dan wangi-wangian mahal, manis-manisan dengan balsam, pembantu Negro dan junuh (laki-laki dikebiri).

Kedatangan utusan Aceh juga dicatat dalam sumber-sumber Portugis. Surat-surat jemaah Jesuit melaporkan Sultan Turki Utsmani mengutuskan duta besar ke Aceh untuk menanggapi misi dari Aceh. Duta besar ini dilaporkan sampai di Aceh pada tahun 1565. Lombard menekankan pada tahun 1562 sebagai kedatangan duta Aceh pertama ke Istanbul, tetapi tahun 1547 sepertinya yang telah mmberikan bukti.

Pertukaran utusan kedua kerajaan ini pada masa Sultan Sulaiman Agung diyakinkan oleh keberadaan surat Sultan Alauddin Syah bertanggal 7 Januari 1566 di bawa ke Istanbul oleh Duta Besar Aceh, Huseyin Efendi. Surat itu diklasifikasikan sebagai surat dari India Islam dalam arsip Museum Istana Topkapi di Istanbul, dan pertama dipelajari oleh ahli dari Pakistan, Razaulhak Shah, dalam sebuah artikel tahun 1967 bersama dengan dokumen lain mengenai utusa Aceh ke Istanbul.(baca: Rahman Farooki, Mughal-Ottoman relations; A Study of Political relations between Mughal India and the Ottoman Empire, (Deli: Idarah-I Adabiyat Delli, 1989).

Sultan Aceh mengatakan dalam suratnya bahwa mereka sebelumnya telah mengirim duta besar bernama Umar dan Huseyin ke Istanbul. Hal itu bisa dimengerti dari pernyataan dalam surat tersebut ‘ketika orang-orang Anda berada di sini dan membantu kami tahun 972 (1564-1565)’ bahwa kekaisaran Turki telah sebelumnya mengirimkan duta besar ke Aceh adalah Lutfi Bey, kami ingin mereka dikirim lagi ke sini [...] ahli meriam yang Anda kirim tiba dengan selamat di sini dan mereka mendapat tempat terhormat di mata kami’.

Dalam surat tersebut Sultan Alauddin memberikan informasi mengenai situasi politik dan budaya di pulau tempat Aceh berada. Sultan Aceh menceritakan bawah penjajah Portugis mencoba menguasai jalur laut penting di daerah ini dan mereka menangkap kapal-kapal berbendera Islam yang menyangkut jemaah haji dan menangkap para pedagang menjadikan mereka budak serta menghancurkan kapal-kapal dengan meriamnya.

Alauddin juga melaporkan terkait umat Islam di Calicut tepatnya di India Barat Daya dan Pulau Sri Langka. Kemudian Sultan Aceh meminta beberapa kuda dan para ahli pembuat kapal dayung dan benteng dalam suratnya. Alauddin meminta khalifah Turki menganggap Aceh Darussalam sebagai wilayak Turki dan seluruh rakyatnya sebagai pembantu Turki.

Ketika Huseyin Efendi tiba di Istanbul bersama surat dari Sultan Aceh, ia harus menuggu di Ibukota karena beberapa peristiwa. Kedatangannya di Turki bersamaan dengan pengiriman armada militer Sultan Sulaiman ke Szigetvar di Hongaria. Kemudian Sultan Sulaiman mangkat, dan dilanjutkan putranya Sultan Selim II sebagai top leader. Hampir dua tahun berlalu antara tanggal surat Alauddin (7 Januari 1566) dan jawaban (20 September 1567) dari Sultan Turki yang baru, Selim II. Setelah menyambut dengan hangat utusan Aceh, Selim mengirim jawaban kepada Sultan Turki sebagai Duta Besar Turki ke Aceh. Sultan Selim menyanggupi permintaan Sultan Aceh setelah mempelajari surat-surat yang dikirimkan kepadanya. Baginya sebagai penguasa Islam adalah tugas suci dan tradisi Sultan Turki Utsmani.

Selanjutnya dikirimkan angkatan laut yang terdiri atas 15 kapal dayung dan dua perahu layar, seorang komandan artileri dari meriam kekaisaran dengan 7 ahli meriam di bawah komandonya. Selain itu pasukan yang cukup dari Mesir dan armada yang dipersenjatai dengan meriam, senapan, serta peralatan perang untuk menyerang benteng.(baca: R. Michael Feener, dkk, Mapping The Acehnese Past).

Pada 12 September 1567, Sultan Selim II mengeluarkan perintah kekaisaran (nisban-i bumayum) kepada Kurtoglu Hizir Reis diperintahkan untuk memimpin armada laut tersebut, dan jika mereka telah tiba di Aceh, mereka diminta untuk tunduk patuh kepada kesultanan Aceh dalam rangka membantu mereka menduduki benteng penjajah Portugis. Jika ada dintara pasukan Turki yang melanggar akan dikenakan sanksi langsung dari Kurtoglu Hizir Reis sebagai peringatan bagi yang lain.

Sedangkan gaji dan segala kebutuhan selama setahun penuh ditanggung oleh Kerajaan Turki, jika setelah setahun itu Sultan Aceh masih memerlukan mereka, maka kebutuhan mereka harus ditanggung kesultanan Aceh. Hal ini tertulis dalam surat Sultan Selim II (k. 1566-1574) kepada Sultan Aceh Darussalam al-Kahhar (k. 1537-1571), tanggal 16 Rabiul awwal 975/20 September 1567.(baca: Ismail Hakki Goksoy, Guneydogu Asya’da Osmanli-Turk Tesirleri, (Isparta: Fakulte Kitabevi, 2004).

Ketika persiapan untuk keberangkatan sudah mapan, namun tiba-tiba muncul pemberontakan besar terjadi di Yaman. Angkatan laut yang tadinya hendak diberangkatkan ke Aceh terpaksa diarahkan ke Yaman untuk membendung kericuhan di sana. Keputusan ini disampaikan kepada duta besar Aceh Huseyin dengan surat tertanggal 12 Januari 1568 (12 Rajab 975) lewat tangan Mustafa Chavush. Setelah pemberontakan itu ditumpaskan, Sultan Turki masih memiliki komitmen seperti semula mengirimkan armada bantuan ke Aceh.

Keseriusan mengirim armada laut ke Aceh dibuktikan Sultan Turki dalam intruksinya kepada gubernur Mesir untuk meneliti kemungkinan membuka terusan di Suez, setelah menerangkan bahwa Portugis berusaha memblokir jalur haji dan perdagangan Islam yang datang dari Samudra India.

Referensi

Farooki, Rahman, Mughal-Ottoman relations; A Study of Political relations between Mughal India and the Ottoman Empire, Deli: Idarah-I Adabiyat Delli, 1989.

Feener, R. Michael, dkk, Mapping The Acehnese Past, diterjemahkan oleh Supardi Asmorobangun, Jakarta: Pustaka Lasaran, 2011.

Hourani, Albert, A History of Arabs Peoples, terjemahan. Irfan Abubakar, Sejarah Bangsa-bangsa Muslim, Bandung: Mizan Media Utama, 1991.

ENGLISH:

Kebab and Memoriam Aceh-Turkey

A year past, I like to eat Kebabs. The typical Turkish-origin food was originally recognized by a girl. He asked me to taste it, finally i fell in love, not to the girl but to the typical food of the country of Ankara.

The taste of kebabs fits with my tongue, the aroma of the crispy flesh and the seasoning of the sauce and vegetables are very tempting taste. In Banda Aceh, the kebab I like most is Kebab Ali in Lampineung Banda Aceh city.

Talk abouth this Turkish Kebab, Incidentally, a few weeks ago I was given the task of writing articles by lecturers on campus about the history of Islamic civilization, the theme of the Relationship of Aceh with Turkey from the 16th to the 19th Century.

Indirectly, I love Turkish food and I am studying through several books on reading the harmonious relationship between Sultan Aceh Darussalam and the Ottoman Empire.

The relationship between Aceh and Turkey has long been established since the Sultan of Aceh Al-kahhar. as a proof, can still be seen some Turkish tombs like the tomb of Teungku dibitai. Until now there is no longer a close relationship first. When Aceh was hit by the devastating Tsunami of the capital, humanitarian aid all over the world came, including from Turkey itself.

The last Aceh Governor Irwandi Yusuf began to cooperate again with the country, but no longer as a relationship between the state, because Aceh is not a state of a province in Indonesia which is granted special autonomy, including in cooperation with foreign countries.

Aceh-Turkey of the Past

The relationship between Ottoman Turkey and the kingdom of Aceh Darussalam is a very unique and interesting relationship. Geographically these two kingdoms are very far away. The Ottoman Turks position is in central Europe, while the Kingdom of Aceh Darussalam in Southeast Asia (suburb). For access between these two kingdoms in the 16th to 19th centuries there has been insufficient sea transportation. Nevertheless, the relationship between these two kingdoms lasted over 300 years.

In the book of Mapping The Acehnese Past written by R. Michael Feener, dkk mentions, in the 12th century, relations with Southeast Asia has taken place. Turkish traders followed in the footsteps of Arab, Persian and Indian Muslims who began to establish relationships with West Asia and China after the implementation of the Seljuk Rule in Western Asial around the 11th century. The arrival of Turkish traders to the area was recorded by a Muslim traveler from Africa The north is Ibn Batuta (w 1369). It happened that Ibn Batuta then visited Samudra Pasai's sovereignty in North Sumatra on his way to China in 1345 and 1346. He saw a sultanic tradition similar to that of Turkey in India and Delhi.

Albert Hourani, in the book A History of Arabs Peoples writes, the Turks are known for the "Rum" nation. The reason, the place of Turkey that we see today as the former reign of the Roman Empire. The Ottoman Empire has a vast territory. People who are in the area of course a lot too. They have different backgrounds, they are the people or residents who settled within the Ottoman empire.

Turkish sources

Some Turkish sources reveal that Turkish relations with the sultanate of Aceh occurred in the 16th century when Sultan Sulaiman the Great came to power and was continued by Sultan Selim II (k 1566-1547). The first Acehnese ambassador arrived in Istanbul in 1547, although there was no record in the Ottoman Turkish archives that proved this. A famous Austrian historian, B.J von Hammer regarding Ottoman Turkey, writes down the basis of Ottoman Turkish stories, Nam Ali Celazade. Solakzade and Lutfi mentioned down while living in Istanbul, some Christian envoys said there were delegates from Alauddin, one of the rulers along the Indian Ocean in order to ask for military assistance against the Portuguese.

He said the messenger Alauddin offered to the Sultan his luggage such as strange beasts, beautiful parrot with colorful fur, expensive spices and perfumes, sweet-sweets with balm, Negro servants and kill (castrated men).
The arrival of the Aceh envoy was also recorded in Portuguese sources. The Jesuit congregational letters reported the Ottoman Turks decreeing the ambassador to Aceh to respond to the mission from Aceh. This ambassador was reported to Aceh in 1565. Lombard emphasized in 1562 as the arrival of the first Aceh ambassador to Istanbul, but in 1547 it seemed that the evidence had been given.

The exchange of messengers of these two kingdoms at the time of Sultan Sulaiman the Great was convinced by the existence of Sultan Alauddin Syah's letter dated January 7, 1566, brought to Istanbul by the Ambassador of Aceh, Huseyin Efendi. The letter was classified as a letter from the Islamic India in the archive of the Topkapi Palace Museum in Istanbul, and first learned by the Pakistani expert Razaulhak Shah in a 1967 article along with other documents on the Aceh utusa to Istanbul (read: Rahman Farooki, Mughal- Ottoman relations; A Study of Political relations between Mughal India and the Ottoman Empire, (Deli: Idarah-I Adabiyat Delli, 1989).

Sultan of Aceh said in his letter that they had previously sent ambassadors named Umar and Huseyin to Istanbul. It is understandable from the statement in the letter 'when your people are here and helped us in 972 (1564-1565)' that the Turkish empire had previously sent ambassador to Aceh is Lutfi Bey, we want them to be sent here again [...] the cannonman you sent arrived safely here and they have a place of honor in our eyes'.

In the letter Sultan Alauddin provides information on the political and cultural situation on the island where Aceh is located. Sultan of Aceh tells under Portuguese colonialists trying to seize important sea lanes in this area and they catch Islamic-flagged ships that involve pilgrims and arrest the merchants making them slaves and destroying ships with their cannons.

Alauddin also reported related Muslims in Calicut precisely in Southwest India and Sri Lanka Island. Then the Acehnese Sultan asked for some horses and expert rowboat makers and fortress in his letter. Alauddin asked the Turkish caliph to regard Aceh Darussalam as a territorial Turkey and all its people as Turkish auxiliaries.

When Huseyin Efendi arrived in Istanbul with a letter from the Sultan of Aceh, he had to wait in the Capital for several events. His arrival in Turkey coincided with the sending of Sultan Sulaiman's military fleet to Szigetvar in Hungary. Then Sultan Sulaiman died, and continued his son Sultan Selim II as top leader. Almost two years passed between the date of Alauddin (January 7, 1566) and the reply (September 20, 1567) of the new Turkish Sultan, Selim II. After welcoming the Aceh envoy, Selim sent an answer to the Sultan of Turkey as the Turkish Ambassador to Aceh.
Sultan Selim undertook the request of the Sultan of Aceh after studying the letters sent to him. For him as the ruler of Islam is the sacred duty and tradition of the Ottoman Sultan of Turkey. Subsequently sent a navy consisting of 15 rowboats and two sailboats, an artillery commander of imperial cannon with 7 cannon experts under his command. In addition, enough troops from Egypt and a fleet armed with cannons, guns, and war equipment to attack the castle (read: R. Michael Feener, et al, Mapping The Acehnese Past).

On September 12, 1567, Sultan Selim II issued an imperial order (nisban-i bumayum) to Kurtoglu Hizir Reis ordered to lead the fleet, and if they had arrived in Aceh, they were required to submit to the sultanate of Aceh in order to help them occupy the fort Portuguese colonists. If there is a surge of Turkish troops who violate will be subject to direct sanctions from Kurtoglu Hizir Reis as a warning to others. While salaries and all necessities for a full year are borne by the Turkish Empire, if after that year the Sultan of Aceh still needs them, then their needs must be borne by the sultanate of Aceh. It is written in the letter of Sultan Selim II (k.1566-1574) to the Sultan of Aceh Darussalam al-Kahhar (k 1537-1571), 16th of Rabiul awwal 975/20 September 1567. (read: Ismail Hakki Goksoy, Guneydogu Asya ' da Osmanli-Turk Tesirleri, (Isparta: Fakulte Kitabevi, 2004).

When preparations for departure are established, but suddenly there is a big uprising going on in Yemen. The navy, which was about to be dispatched to Aceh, was forced to go to Yemen to stem the turmoil there. This decision was submitted to the ambassador of Aceh Huseyin by letter dated January 12, 1568 (12 Rajab 975) through the hands of Mustafa Chavush. After the uprising was crushed, the Sultan of Turkey still has a commitment as to send a fleet of aid to Aceh.

The seriousness of sending a fleet to Aceh proved the Sultan of Turkey in his instructions to the governor of Egypt to examine the possibility of opening the canal in Suez, after explaining that the Portuguese tried to block the pilgrimage and Islamic trade coming from the Indian Ocean.

Sort:  

Aku sudah ada beberapa foto kebab, tinggal diramu menjadi tulisan. Mungkin untuk menandingi tulisan ini wkwkwkw.

Tulis Han, hahaha

Hahhahaha tapi ini disertasi sih yaaa kwkwkwk

Jangan lupa sertakan foto kacang rebus itu ya @ihansunrise ahaha

kami tunggu, pasti lebih bertus kalau @ihansunrise yang tulian kan kak @fardelynhacky ?

Pada masa setelah tsunami, lembaga kemanusiaan dari Turki sering membagikan roti Turki dan para pengungsi antre panjang menunggu. Persahabatan Aceh dan Turki dapat kembali disemarakkan melalui Pendidikan. Saat ini hal yang agak rumit adalah untuk bisa belajar ke Turki harus menguasai bahasa Turki.

tapi banyak kawan kita ke turki tanpa harus dibarengi bahasa, tapi cukup bahasa inggris atau bahasa arab, bahasa turki belajar di sana..

Wajah Orang aceh mirip jg ma org turki :)

hahahaha.. yang dalam foto ini bukan awak Turki, tapi awak blah deh seulawah hahaha :D

Semoga anggota GIS bisa ke Turki bareng ya :-)

GIB hijrah ke GIS sekarang.. hahahha payah ganto nama grup WA :D

Kebab, makanan favorit sejak kuliah dulu. 😀

sekarang nggak lagi ya Sri? hehe

Kan sejak kuliah dulu, berarti sekarang masih.

oo pikir sekarang gak lagi hihihi

Woe enak sekali kebabnya. Ini salah satu makanan favorit saya. salam KSI dan terimakasih @hayatullahpasee

betul bang,,, lon hana tuken, cucok aju dengan lidah lon....

Jadi surat-surat dan utusan-utusan itu menggunakan bahasa apa, Bang Haya? Bahasa Arab?

menye hana salah bahasa Arab,,,,,,, sebab saat itu Mekkah di bawah Turki...

Enak enak,, yummy 😋 😋

Sangat... Terasa di lidah

Sangat, terasa di lidah hehe

Jadi lapar 😨😨

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 67112.11
ETH 2610.99
USDT 1.00
SBD 2.67