Lawe, Si Pawang Kepiting

in #story7 years ago

Sejak sekolah dibangku SMP aku mulai bekerja ditambak udang milik orang kampungku. Pekerjaan itu aku lakoni hingga tamat SMU di Bireuen. Di tambak itu ada sebuah rangkang (gubuk) yang berfungsi sebagai gudang pakan sekaligus tempat istirahat kami para penjaga tambak.

Posisi tambak yang berada di dekat perkampungan, membuat banyak orang yang singgah ke rangkang itu hanya untuk sekedar ngopi atau ngobrol-ngobrol sebelum melanjutkan aktifitas lain disana. Baik mancing di sungai, pencari kepiting atau para pencari burung-burung liar yang biasa singgah pada malam hari di hutan-hutan mangrove dekat pantai.

Dari sekian orang yang singgah, salah seorang yang paling ku ingat adalah Lawe. Aku tak tau nama aslinya. Dia seorang pencari kepiting bakau. Namanya begitu tersohor seantero kampungnya bahkan sampai ke kampungku karena keahliannya menangkap kepiting. Lawe, adalah seorang pemuda berambut lurus, gondrong sebahu. Badannya tegap dan berbicara agak sedikit gagap.

Kemampuan berbahasa Indonesianya sangat mengkhawatirkan saat itu. Dia beberapa kali ikut 'tes TOEFL' di pos tentara yang ada di meunasah kampungku. Saat kami melihat dia harus push up di depan para serdadu itu, sudah dapat dipastikan dia tak lulus tes. Kondisi Aceh yang saat itu dalam suasana konflik, mengharuskan setiap orang yang menuju tambak atau melaut diwajibkan melapor ke pos tentara baik saat mau berangkat maupun saat kembali ke kampung.

Berbeda dengan orang lain yang mencari kepiting dengan cara memancing dan memasang bubu atau menangkap dengan tanggok jaring dimalam hari. Lawe menangkap kepiting bakau menggunakan 'ceulangiek' langsung dari sarangnya.

Ceulangiek itu terbuat dari besi sebesar sedotan minuman dengan panjang maksimal 1,5 meter. Ujungnya dibengkokkan sebagai pengait. Dipangkalnya diberi kayu yang berfungsi sebagai gagang.

Lawe sangat disiplin, ia melakukan pengintaian dimalam hari saat air pasang, dan menangkapnya disiang hari saat menunggu air surut. Saat malam dia berkeliling sepanjang pinggir sungai, matanya cekatan melihat ke sela-sela akar mangrove untuk menemukan dimana kepiting membuat sarang. Jika sudah melihat sarang dan ada penghuninya, dia memberi tanda agar memudahkan dia menemukannya keesokan hari saat air sudah surut.

Keesokan harinya, saat air sudah surut, Lawe mulai menunjukkan keahliannya. Walaupun sarang itu seperti kelok sembilan yang ada di Sumatera Barat, bisa dipastikan Lawe mampu mengeluarkan si penghuni tanpa cacat sedikitpun. Lawe sangat mahir, jarang sekali dia gagal. Sampai seorang teman yang sama-sama bekerja denganku berkata "asai ka di kalen si Lawe, ka di meudoa bing lam umpung beu seulamat (jika sudah melihat si Lawe, pasti kepiting disarang sudah mulai berdoa agar selamat)".

image

Begitulah, kepiting-kepiting itu harus dia keluarkan tanpa cacat apapun. Jika cacat, itu adalah petaka. Harga kepiting yang sudah tak ada capit atau cacat dibagian lainnya bisa anjlok jauh. Jika cacat parah terkena pengait, apalagi mengenai badannya, sudah dapat dipastikan kepiting itu tak akan bertahan lama. Harganya akan ditawar sangat murah sekali.

Pernah suatu ketika, seorang nenek dari kampung yang berbeda mencoba mengait kepiting dari sarangnya seperti yang dilakukan Lawe. Celakanya, kepiting yang dikait tersebut di sarang yang sudah ditandai si Lawe pada malam harinya. Dari jauh si Lawe berlari tergopoh-gopoh menuju nenek itu. Begitu dekat dia langsung tau bahwa itu adalah nenek latah yang berasal dari kampung tetangga. Biasanya nenek tersebut hanya mencari tiram disungai, namun sesekali juga mencari kepiting jika kebetulan melihat ada sarang yang berpenghuni.

Lawe lantas duduk di pematang tambak, menyalakan rokok, sambil mengamati nenek itu menjalankan aksinya. Setelah menunggu agak sedikit lama, si Lawe bangkit dan mendekati nenek itu. Sekuat tenaga si lawe berteriak "culoook (coloook)...!". Si nenek yang latah tersebut kaget bukan kepalang. Sambil mengikuti teriakan si Lawe "culoook... culoook... culoook", tangannya bergerak cepat seperti piston motor memompa sarang kepiting itu.

Begitu hilang kaget dan latahnya, sang nenek menarik perlahan ceulangiek-nya. Keluarlah satu persatu bagian tubuh kepiting. Mulai dari capit, badan dan terakhir kaki-kakinya. Sambil memaki, Nenek tersebut memukul si Lawe dengan ceulangiek yang ada di tangannya. Karena ulah si Lawe, buruan si nenek itu tak ada harganya lagi. Namun, dengan santai si Lawe menjawab, " um.. um.. pung nyan, a.. aa..ta kee tanda buklam (sa.. sa.. rang itu, pu..pu..nya aku tanda semalam)" dengan logat gagapnya.

Kepiting-kepiting tangkapan si Lawe biasanya ia jual ke pengepul untuk selanjutnya dibawa ke Medan dengan tujuan eksport ke luar negeri. Seandainya kepiting-kepiting itu biasa bicara, sungguh mereka akan bercerita pada orang-orang Taiwan atau Hongkong tentang bagaimana getirnya saat si Lawe melakukan pengepungan.

Sort:  

Lon sikilo manteng. Nak peu leumak eunteuk malam.

Jeut hubungi si Lawe atau si Yan Korea
Hahahahhaha

Bereh boh bieng...

Jak ta peuget mie..😂😂😂😂😂

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63834.78
ETH 2627.38
USDT 1.00
SBD 2.78