Menulis Untuk Senang-Senang

"Menulis itu untuk apa?" pertanyaan ini keluar dari mulut teman saya yang berwajah tirus.

Sebab tahu dia seorang pendebat kusir (kami pernah berdebat panjang bahkan sampai berkelahi waktu masih sama-sama di pesantren sebab hanya memperdebatkan masalah ketentuan qadha dan qadar) maka saya jawab seadanya saja,"untuk senang-senang belaka."

Dia terkekeh semacam menyindir, "berarti kerjamu cuma senang-senang di Banda? Umimu terlalu bangga dengan pilihanmu itu."

Saya tertawa. Dia belum berubah rupanya. Kupikir dengan menghantam pelipisnya hingga meninggalkan bekas sampai sekarang, dia sudah berhenti berkusir. "Kamu tidak sekolah untuk apa?" tanya saya.

"Saya tidak mau menyusahkan diri dan melakukan hal sia-sia seperti orang kalian," jawabnya sinis. Saya tidak berpikir akan menghajar pelipisnya lagi, tapi kali ini akan saya bunuh dia.

"Tidak mau menyusahkan diri sama dengan mau menyenangkan diri, tidak mau melakukan hal sia-sia itu sama dengan mau melakukan hal yang berguna. Jadi keputusanmu untuk tidak sekolah sama dengan keputusanku untuk menulis. Untuk menyenangkan diri dan agar apa yang kupikirkan tidak sia-sia. Kamu pernah dengan sangat hebat mengalahkan Barmawi ketika merebut Sarita dulu. Meskipun kemudian Sarita juga meninggalkanmu dengan hinaan di rumah kenduri, di hadapan banyak orang. Tapi siapa yang tahu cerita kehebatanmu selain aku? Mungkin kamu sendiri sudah lupa. Tapi cerita Cut Lot yang mencintai Meulu dan dia sering mengirim pantun, lihatlah, sampai hari ini masih bisa kau ketahui bagaimana ceritanya. Sebab apa? Sebab ceritamu tak ditulis sedangkan cerita Cut Lot saya tulis."

Dan sekarang ada Steemit. Menulis di sini akan membuatmu memiliki cukup luas kesempatan mendapat apresiasi besar. Semacam gaji. Bayangkan jika terjadi sesekali tulisanmu beruntung seperti temanku, @jamboe13. Dia posting puisi alakadar, langsung dapat upvote hingga 25. Luar biasa.