(Cerpen) ~ Lily ~
Aku memperingatkan!?
Ini bukan kisah menakjubkan seperti yang kalian harapkan. Tidak ada kisah cinta romantis, aksi-aksi menegangkan, dan fantasi-fantasi aneh dunia lainnya. Ini hanya kisah kecilku, setangkai bunga Lily rapuh menjalani takdir, seperti manusia biasa.
Jangan merasa kecewa, aku akan mengawasi kalian. Datang padaku jika kalian merasa dunia yang sebelumnya indah, kini menjadi seburuk neraka. Aku akan membantu, karena aku tahu, kita sama.
Selamat berubah.
Hari ini, ibu menamparku lagi. Bukan hal yang mengejutkan. Kali ini disebabkan karena guci airnya yang mahal, dipecahkan kedua adikku yang masih kecil. Aku yang bertindak sebagai kakak tertua sekaligus pengasuh kedua adikkupun tak luput dari ledakan amarah ibu. Seperti biasa, ia akan memaki, lalu memukul kami bertiga. Tapi pukulannya di wajahku hari ini tidak sesakit tiga hari yang lalu, saat aku menghilangkan uang yang diberikannya untuk membayar iuran sekolah, tamparannya meleset ke mataku. Selama tiga hari mataku berdenyut sakit. Aku tidak menangis. Aku kan sudah besar, umurku sudah menginjak sembilan tahun.
~*~
“Kamu yang memeriksa kertas ulangan Zeril, ya?” tanya Billa, saat aku duduk di bangku kelas sembari sibuk mencoreti buku gambarku.
Aku mengingat-ingat, meletakkan pensil ke atas meja. “Iya, kemarin jawabannya salah semua.”
“Kenapa kamu salahin semuanya?!” Billa berujar panik, “Zeril marah, dia nggak suka nilai ulangannya kecil. Kamu sih. Kenapa disalahin semuanya?!”
Rasa panik menyerbu, aku pura-pura tak acuh. “Emang jawabannya salah semua, Bil. Aku nggak mengada-ada kok.” Tentu saja aku jujur.
Bisa dikatakan, aku sangat teliti dalam memeriksa kertas ulangan. Saat memeriksa kertas milik Zeril, jawabannya terkesan asal dan berantakan. Maka dari itu, aku memberinya nilai nol. Sekarang setelah tahu bahwa Zeril marah, aku menyesal telah memeriksa kertas ulangan miliknya. Lebih baik aku memeriksa kertas ulangan anak lain. Zeril terkenal sangat mengerikan. Badannya gendut dengan perangai wajah yang dibuat menakutkan. Ia seperti bibi-bibi tua pemarah, dibanding terlihat seperti seorang anak sekolah dasar.
Bel pulang berbunyi, aku semakin panik. Rasa takut mencekikku, hingga aku sulit bernapas. Zeril pasti akan memukulku, seperti ia memukul anak culun kemarin yang menolak memberinya uang. Aku memang sudah sering dipukul ibuku, tapi berbeda dengan Zeril. Zeril bukan ibuku, dan aku ketakutan setengah mati padanya, melebihi ketakutanku pada ibuku.
“Lily...!?” Aku menoleh, mendapati Billa memelototiku dengan panik. “Zeril nungguin kamu di depan pintu.”
Aku menegang, jantungku rasanya berhenti berdetak. Zeril akan memukulku. Haruskah aku melawan... atau pasrah?
Sekelebat bayangan mengenai adegan pemukulanku-pun memenuhi pikiran. Aku tidak ingin dipukul, enak saja, di rumah ibuku sudah memukuliku. Jangan sampai di sekolah, aku juga dipukuli! Aku akan... bersembunyi.
Seketika, mataku menangkap ibu guru Asma, wali kelasku, berjalan keluar kelas. Sigap aku berlari ke arahnya. Ia terlihat terkejut mendapatiku berdiri mengkerut di balik punggungnya.
“Lily, kenapa belum pulang?” tanyanya.
“Zeril mau mukulin Lily, Bu!” Billa menjawab panik. Aku melotot padanya. Kenapa ia harus mengadukan hal yang memalukan seperti itu? Mataku jadi panas, dan rasanya aku ingin merengek saja pada bu guru Asma.
“Zeril?” Bu guru Asma yang berusia separuh baya mengedarkan pandangannya keluar pintu kelas.
Zeril berdiri di samping pintu dengan wajah menakutkan. “Zeril...” panggilnya pada Zeril, dan itu membuatku tambah mengkerut di tempat. Rasanya aku ingin menghilang saja dari muka bumi.
“Kalian nggak boleh bertengkar. Sudah, sudah. Zeril, pulang sana. Jangan buat keributan di sini. Lily dan Billa, kalian juga pulang.”
Lalu, akupun keluar kelas dengan aman. Hanya sekejap, karena Billa dijemput orang tuanya, dan aku harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Perasaanku was-was, Zeril tidak akan melepaskanku semudah ini. Ia pasti akan membalasku.
Kemudian, hari-hari berikutnya, aku lalui seperti di neraka. Zeril memang tidak memukulku, tapi ia menindasku terang-terangan. Ia dengan berani mengoyakan buku pekerjaan rumahku, mematahkan semua pensilku, dan membuang tasku saat pelajaran berakhir.
Situasi memburuk. Aku tertekan. Billa tidak bisa membantuku, karena dia juga takut. Bahkan semua teman-teman menjauhiku karena hasutan Zeril.
Satu tahun aku melewati semuanya dengan kesabaran yang luar biasa. Sampai pengumuman kelulusan sekolah dasar, aku berteriak senang. Aku dengar, Zeril bersekolah di SMP swasta mahal yang jauh berbeda denganku. Dia anak orang kaya, tidak sepertiku yang harus bersekolah di SMP Negeri yang gratis. Huh, rasanya tidak adil melihatnya hidup senang setelah menindasku tanpa rasa kemanusiaan.
Hari pertama di SMP, biasa saja. Aku berdiri di pojok kelas seperti manusia tak terlihat. Kemampuan bersosialisasiku payah, jadi tidak ada yang mau berteman denganku. Hari-hari berikutnya juga biasa saja. Sangat biasa, sampai-sampai tidak terasa waktu dua tahun berlalu dengan cepat.
Memang, aku bukan murid yang pintar, tapi aku suka membaca. Aku suka sekali berada di perpustakaan saat anak-anak yang lain sibuk bermain, dan mengisi perut di kantin. Aku tidak punya uang untuk membeli makanan, jadilah aku duduk di sudut perpustakaan membaca Ensiklopedi tebal. Maka saat petaka lain muncul, akupun tidak siap. Padahal aku sudah menghindari perselisihan sekecil apapun, dengan siapapun. Kejadian menyakitkan dengan Zeril membuatku trauma.
Pelajaran kedua dimulai. Indri, anak perempuan cantik yang bertemperamen manja , dan sinis, -mengingat ayahnya adalah seorang guru-, dan Cici, anak perempuan berambut pendek dengan kulit putih pucat, sedang menindas Alsi. Alsi yang merupakan teman sebangkuku, -hanya teman sebangku karena kami tidak pernah mengobrol sebagai teman dekat-, menahan tangis sampai kedua matanya terlihat memerah. Sedangkan aku, manusia terbodoh dengan belas kasih yang sangat besar, tidak tahan melihatnya jadi bahan olokan Indri dan Cici. Dengan sok berani, aku menatap jijik pada Indri, dan Cici. Melihat perlakuan jahat mereka berdua, mengingatkan aku pada si gendut, Zeril.
“Jangan ganggu Alsi!” kataku tegas pada Indri, dan Cici. Mereka berdua terdiam menatapku remeh. Walaupun dalam hati aku menjerit takut, rasa kasihan lebih membuatku menjeritkan ketidak-adilan. Dunia ini dipenuhi oleh manusia-manusia jahat seperti Zeril, Indri, dan Cici. Lalu manusia baik hati, lemah, dan bodoh seperti aku, dan Alsi seakan tenggelam. Sisanya bersikap tidak peduli seperti anak-anak lain di dalam kelas.
Indri menatapku sinis, bibirnya menyunggingkan senyum jahat. “Sok pahlawan,” cibirnya.
Benar. Aku memang sok, dan naif.
Sementara Cici sudah bersiap dengan beberapa buah pena di tangannya, aku bertanya-tanya apa ia akan menusuk mataku dengan pena sebanyak itu. Tetapi, tidak. Syukurlah mereka hanya melempari kepalaku dengan pena-pena itu.
(Ternyata aku tidak terlalu bodoh).
Aku berhasil masuk ke SMA Negeri favorit di kotaku. Walaupun pikiran logisku meneriakan harga SPP perbulannya yang sangat mahal, aku tetap senang. Ibu bilang,"Aku harus membantunya mencari uang, agar aku bisa terus sekolah." Jadi setiap hari minggu, aku akan bekerja di sebuah toko makanan di taman kota. Memang melelahkan. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus bertahan hidup.
Di suatu pagi yang sibuk, aku duduk di sudut perpustakaan membaca novel misteri, karya Agatha Christie. Iffa, anggota OSIS yang terkenal akan kecantikan, dan sifat lembutnya- menghampiriku dengan senyum yang tidak biasa.
Kami berdua tidak dekat, bahkan tidak pernah saling menyapa. Hanya Iffa yang sering tersenyum di sepanjang koridor kelas. Ia memang gadis yang ramah. Jauh berbeda denganku.
“Kamu mau menerima beasiswa?” ucap Iffa pelan.
Hal pertama yang terbesit dipikiranku bukanlah perasaan senang, melainkan perasaan terhina. Apa aku terlihat seperti orang miskin? Beasiswa di sekolah jelas-jelas diperuntukan untuk murid yang tidak mampu. Tetapi aku mampu, mampu membayar uang SPP sekolah dengan usahaku sendiri.
Jadilah aku menghadap ke guru kesiswaan. Iffa bilang jika aku ingin menolak atau menerima beasiswa, aku harus membicarakannya dengan guru.
Mrs. Nita, guru kesiswaan di sekolahku, duduk di balik mejanya, menatapku tajam. Mrs. Nita terkenal sebagai guru killer, dan aku tahu ia menghafal wajah anak-anak yang sering telat membayar SPP, seperti diriku.
“Lily, tiga bulan ini kamu belum membayar iuran sekolah.” Mrs. Nita bahkan mengawali percakapan menyangkut masalah uang.
Aku mencoba untuk jujur, “Keuangan keluarga saya sedang sulit, Mrs.”
Memang benar, pada minggu lalu toko makanan tempatku bekerja sudah tutup. Jadi aku hanya membantu ibuku berjualan kue di pasar.
“Kenapa sulit?” tanyanya berpura-pura manis, beberapa anak yang juga berada di dalam ruang guru mulai menatapku terang-terangan. “Kamu jarang sedekah ya, makanya kesulitan terus. Kenapa? Harus kaya dulu baru sedekah? Pantas saja keuangan kamu sulit terus.”
Ada sebongkah batu yang menghantam dadaku. Hatiku terluka.
Aku bersumpah, haruskah aku menyebutkan kebaikan-kebaikanku? Apakah sedekah harus berupa uang? Aku juga ingin bersedekah dengan uang yang banyak. Haruskah aku menceritakan pada semua orang betapa sulitnya aku, hingga pernah meminum air kran di masjid karena tidak punya uang untuk membeli air minum yang layak?
Ya, Tuhan. Rasanya aku tidak tahan lagi. Kukepalkan kedua tanganku kuat-kuat. Kutahan rasa sesak yang mendadak menyerang paru-paruku hingga air mataku tak terbendung lagi. Aku melangkah keluar ruangan dengan hati yang hancur. Betapa teganya seseorang menyakiti manusia yang lain hanya dengan beberapa kalimat kejam. Akhirnya, kuhabiskan berjam-jam untuk menangis di toilet sekolah.
Aku tidak bisa menangis dengan suara keras. Kututup mulutku dengan kelima jari telapak tangan, supaya anak-anak lain yang berada di toilet tidak akan mendengar.
(Aku jatuh cinta).
Sayangnya, pria itu sudah memiliki pacar. Firli Anggara, -guru magang di sekolahku yang berparas tampan dan bertutur kata lembut- adalah pria yang kumaksud. Usia kami terpaut sepuluh tahun, tapi bagiku tidak masalah. Dia sangat ramah, dan bersikap lembut padaku. Kami sering mengobrol akrab di perpustakaan, membahas berbagai topik mulai dari cerita novel, hingga membahas ulang mata pelajaran. Aku tidak mengharapkan hal lebih padanya, hanya dengan menatapnya dari seberang meja saja, sudah cukup bagiku.
Sialnya, pacarnya yang juga merupakan guru magang di sekolahku, mengetahui kedekatanku dengan Firli. Anjani, namanya. Ia memang perempuan yang cantik. Tetapi dengan perangai jahat seperti itu, ia seperti nenek sihir bagiku. Anjani memaksaku untuk menjauhi Firli, ia bahkan menyebarkan gosip yang tidak benar tentang aku di sekolah.
Perlahan, aku mengalah. Aku menjauhi Firli seperti perintahnya. Belajar dari pengalaman, ditindas secara fisik maupun mental itu sama sekali tidak menyenangkan.
Hari pertama aku bekerja di Rumah Sakit Jiwa kota sebagai seorang psikiater, sangat menyenangkan. Para perawat selalu menyapaku dengan ramah. Dokter-dokter dan psikiater yang lain pun bersikap santun padaku. Kami bekerja sama dengan baik untuk merawat pasien-pasien gangguan jiwa di rumah sakit ini.
Aku suka sekali berada di Rumah Sakit Jiwa ini, menghabiskan waktu dengan merawat pasien-pasien. Bahkan saat jam tugas habis, akupun masih merawat mereka.
Oh, ya. Di Rumah Sakit Jiwa ini, aku memiliki enam pasien sakit jiwa favoritku. Mereka berenam sangat ramah, baik, dan akrab padaku.
Pasien pertama, perempuan berbadan gendut yang suka sekali membuatku tertawa. Ia sangat lucu.
Lalu, pasien kedua, dan ketiga adalah dua orang perempuan cantik yang gemar sekali membawa sisir, juga kaca di tangan mereka. Minggu lalu, aku bahkan membelikan mereka boneka Barbie mahal yang membuat mereka kegirangan.
Selanjutnya pasien keempat, wanita paruh baya yang suka sekali menghitung. Setiap aku mengunjunginya, ia pasti akan meminta uang koin padaku.
Oh, jangan lupakan pasienku yang kelima. Ia adalah seorang wanita yang sangat cantik. Sampai-sampai aku bingung, apakah ia benar-benar seseorang yang sakit jiwa? Tetapi, melihat dari caranya saat tertawa, aku tahu bahwa ia tidak normal. Ia suka berteriak menyebut nama suaminya, membuatku merasa kasihan padanya.
Pasien terakhir. Pasien keenam, pasien favoritku. Jantungku berdebar setiap kali aku pergi mengunjunginya. Ia suka bercerita padaku tentang banyak hal, mulai dari cerita ketiga anaknya yang sukses, dan selalu mengunjunginya, hingga betapa ia yang merasa bahagia hanya dengan melihatku setiap hari menjaga, dan merawatnya.
Ok. Sekarang waktunya untuk mengabsen pasien-pasienku. Cuaca sedang cerah, dan aku ingin mengajak mereka bermain di halaman Rumah Sakit Jiwa ini. Mereka butuh udara segar, dan pemikiran yang segar juga.
Akupun menyiapkan selembar kertas, serta sebuah pena di tangan, siap mengabsen mereka.
"Zeril (Pasien pertama), Indri (Pasien kedua), Cici yang cantik (Pasien ketiga), Mrs. Nita (Pasien keempat). Kemudian, Anjani (Pasien kelima), dan yang terakhir, Ibu (Pasien keenam). Semua, ke-sini...!? Ayo, kita bermain di taman."
~The End~
Buku Paradigma Sang Pena
(Antologi Cerpen)
Penerbit : Jentera Pustaka (Mata Pena Grup)