Secret (2) #Part 18: Enlighten Canberra
Hai teman-teman, mari kita selesaikan Bab. 8. Enlightten Canberra (Menelusuri Ruang Hati 2) hari ini.
“Wuah, keren!” Aku tak henti mengambil foto, setiap kali berpindah dari satu objek ke objek lainnya. Berkali-kali pula aku meminta Ben mengambilkan fotoku dengan latar belakang lampu yang berwarna-warni. Salah satu sculpture yang sangat kusukai adalah sekumpulan bola lampu yang bisa hidup ketika ditarik. Tak hanya aku, beberapa orang juga bergantian memenuhi sculpture yang tepat berada di tepi danau tersebut, meski kebanyakan adalah anak-anak. Ben tertawa saja melihat tingkahku, tak sedikit pun dia merasa malu atau terganggu dengan kehebohanku.
“Sudah puas?” tanyanya ketika aku terduduk lelah di sebuah kursi yang kami temui.
“Belum, sih. Tapi ... aku capek.” Aku tertawa ringan.
Tak kuduga, Ben langsung berpindah duduk ke hadapanku, dan mulai memijit kakiku.
“Jangan! Aku nggak apa-apa, kok. Sebentar lagi juga capeknya pasti hilang.” Aku menahan kedua tangannya. Berhubung semua lampu hidup dimana-mana, tempat duduk kami menjadi salah satu tempat yang begitu gelap dan sepi.
“Boleh aku bicara serius, Grace?” tiba-tiba saja dia bertanya.
Aku terkejut. Spontan melepaskan tangan dan menegakkan kembali posisi dudukku, yang tadinya harus membungkuk untuk menahan tangannya.
“Kamu tahu aku mencintaimu, kan?” Ben mendekat, meletakkan kedua tangannya di atas lututku, tanpa mengubah posisinya yang bersimpuh.
“Ya. Kenapa kamu tiba-tiba begini?” Aku tak bisa menyimpan keherananku.
“Razan melihat ada yang aneh di antara kamu dan Nathan. Apa memang ada sesuatu di antara kalian?” Ben menatap jauh ke dalam mataku. “Kalian sama-sama dari Indonesia, dan seingat saya, dulu ... kamu pernah menerima panggilan dari seseorang bernama Nathan saat kita sedang di Thredbo,” lanjutnya perlahan.
Sial! Kenapa dia masih ingat dengan panggilan telepon itu?
“Ya, dia juga dari Jakarta. Aku sudah kenal Nathan sebelum dia datang kesini, kami teman lama,” jawabku akhirnya.
“Jawabanmu sama dengan jawaban Nathan,” sahut Ben lega.
Meski gelap, tetap bisa kuperhatikan wajah tampannya yang mulai kembali mengukir senyuman. Sepertinya, aku tak perlu lebih detail lagi mengungkapkan siapa Nathan.
“Sama seperti kamu, dia orang yang menyenangkan. Saya berharap tak ada apa-apa di antara kalian. Saya menyukai kalian berdua, baik sebagai staf maupun sebagai teman di luar tempat kerja,” lanjutnya sembari menepuk-nepukkan tangan di atas lututku.
“Jadi, aku temanmu?” godaku sembari mengelak dari pertanyaan lebih lanjut terkait lelaki dari masa laluku itu.
“Ya, kamu teman hatiku.” Ben berangsur berdiri dan menempelkan tangan pada pundakku. “Teman hatiku yang harus selalu ada di sisiku,” bisiknya di sela-sela rambutku.
Kurasakan embusan napasnya melewati rambutku hingga sampai di telinga dan menimbulkan sensasi hangat yang tak biasa. Aku menarik napas panjang dan berusaha tetap tenang. Ben memang begitu memesona, apalagi jika dilihat dari jarak sedekat ini. Bukankah seharusnya ... hanya dia yang memenuhi pikiranku saat ini?
“Ah, enlighten projection-nya udah mulai.” Aku memutuskan untuk berdiri dan menunjuk ke arah gedung yang mulai disinari lampu sorot. Tak kupedulikan tatapan Ben yang seakan meminta sesuatu dariku. Sudut mataku menangkap gerakan kepalanya yang menunduk dan menggeleng sekejap, sebelum akhirnya mengikuti arah telunjukku.
“Ok, my lady. Mari kita nikmati malam ini,” ucapnya sesaat sebelum merangkulku dan mengikutiku berjalan ke tempat yang kuinginkan.
Maafin aku, Ben.
Posted from my blog with SteemPress : https://endanghadiyanti.com/2018/07/18/secret-2-part-18-enlighten-canberra/
Canberra!! Cant wait lanjutan ceritanya Mbakkk
Siyap 👌😘
Umm gag yakin endingnya sama Ben
:)
Mau nya kk sama siapa? 😁😁😁