Secret (2) #Part 17: Enlighten Canberra

in #steempress6 years ago (edited)

Bab 8. Enlighten Canberra (Menelusuri Ruang Hati 2)


“Kenapa kamu nggak biarin aku pulang aja dulu? Supaya aku sempat mandi dan dandan,” tanyaku ketika mobil kami melaju keluar parkir Westfield Belconnen. “Kamu cantik kalo dandan, nanti banyak yang mencuri pandang ke kamu,” jawabnya sembari tersenyum nakal.

So, kamu mau bilang aku nggak cantik kalo dandan, dan itu akan buat orang lain nggak mau ngelirik aku? Begitukah?”

“Hahaha, saya nggak bilang begitu.”

“Kamu beneran udah enrol, kan? Enggak bohong, kan?” Aku mengalihkan pembicaraan.

“Sudah, lihat aja di sana ... portal kampusnya masih kebuka, kok. Outlook-nya juga sudah nyambung dengan email UC saya.” Dia meletakkan ponselnya di pangkuanku.

Selama ini memang kami tak saling ganggu ponsel masing-masing. Tapi, tidak pula ponsel itu tertutup dengan password. Ben setipe denganku, tak ada rasanya hal yang perlu disembunyikan dari perangkat elektronik yang selalu menemani kami itu. Jika sekali-kali ponsel Ben berbunyi saat dia sedang asyik workout atau melukis, dia akan membiarkanku menjawab panggilan tersebut. Begitu juga sebaliknya, tak pernah aku melarang Ben menyentuh ponselku jika berbunyi saat berada di tangannya.

Kuhabiskan waktu untuk memastikan bahwa kekasihku itu memang sudah terdaftar di semester ini, dan hanya tinggal menunggu jadwal saja lagi untuk memulai kuliahnya. Dua mata kuliah yang diambilnya juga sama denganku. Semoga saja kelas yang sudah kujalani seminggu ini masih bisa dimasukinya.

Tak seperti biasanya, kali ini aku tergoda untuk menelisik gallery ponselnya. Bukan dari foto terbaru yang ada di sana, tapi dari foto terlama yang berada di sana. Tapi tak kutemukan apa-apa, selain nota, bahan baku kue, pesanan, dan beberapa kotak kue. Aku tertawa sendiri menyadari tak adanya foto kami berdua di dalam gawainya.

“Kamu kenapa? Kok, ketawa sendiri? Apa yang lucu?” tanyanya sembari mencuri lihat ke arah ponselnya yang berada di tanganku.

“Coba senyum sedikit, Ben,” ajakku sembari ber-swafoto dengan gawainya.

“Lucu aja, udah berbulan-bulan kita dekat, tapi nggak ada foto kita di dalam HP-mu,” ucapku usai memastikan foto yang barusan diambil lumayan bagus dan memperlihatkan pipi tirusku dengan sempurna.

“Kan, di dalam ponselmu udah ada.” Ia menanggapi sembari memarkir mobil. Kami sudah sampai di sekitar Parliamentary Triangle.

“Kamu takut foto kita kelihatan sama Razan, ya? Atau staf kamu yang lain,” godaku.

“Ya, kalo mereka tahu ... saya tinggal ‘merumahkan’ kamu aja,” Ia terkekeh.

Memang sudah dari dulu Ben membujukku agar berhenti bekerja, dan berjanji akan menanggung seluruh biayaku di sini. Sebenarnya, tanpa bantuannya pun kedua orang tuaku memberi belanja yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan harianku. Tapi, bukan uang yang kucari di tokonya, melainkan kesenangan berinteraksi dengan banyak orang. Berhubung Ben tidak mengizinkanku bekerja di tempat lain, aku pun tak punya pilihan selain tetap bekerja padanya dan terima saja diperlakukannya seperti staf lainnya selama bekerja.

“Masih terang, jalan-jalan di Queen Terrace dulu, yuk,” ajaknya saat menutup pintu mobil. Kami sudah di luar, cukup banyak mobil lainnya yang memenuhi lokasi parkir ini. Sepertinya, festival ini akan sangat ramai nanti malam.

“Ya.” Aku menyambut uluran tangannya dan menggenggamnya dengan lembut.

Hangat. Tangan besar itu selalu hangat. Seperti hati dan senyumannya yang tak pernah terlihat dingin di hadapanku. Betapa ingin aku berkata pada diriku sendiri bahwa lelaki di sampingku ini bukan pelarian! Seharusnya dan sepantasnya dia menjadi satu-satunya pria yang ada di hatiku saat ini. Tapi ... kedatangannya dulu yang tepat ketika Nathan menyakiti hatiku, membuatku tak mampu melakukan pembenaran itu.

***



Posted from my blog with SteemPress : https://endanghadiyanti.com/2018/07/17/secret-2-part-17-enlighten-canberra/

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.12
JST 0.032
BTC 57859.61
ETH 2966.06
USDT 1.00
SBD 3.67