Ramuan Emosi
Kaki supir Bude Parman menginjak rem perlahan. Jam pulang kantor, jalan menuju rumah majikannya seperti biasa selalu macet. Kepalanya meneleng ke jalan yang berlawanan arah dengan mobil mereka.
“Mbak Mara lagi belajar setir mobil,” ujar supir Bude Parman. Mobil yang dikendarai Mara berhenti di antrian lampu merah.
Bude Parman mengikuti arah telunjuk supirnya. Mara duduk tegang di balik kemudi. Amarahnya memuncak. Lengkap sudah alasan untuk histeris.
Tama membatalkan rencana pesta syukuran ulang tahun ke-30. Padahal dia sudah menyiapkan segala sesuatu. Anak kampung itu sudah tidak sekampung saat pertama dia datang. Parman bodoh itu, lebih sering di rumah belakangan ini.
“Kapan dia belajar mobil?” tanya Bude Parman marah.
“Saya juga baru lihat, Bu,” sahut supir Bude Parman. “Biasanya suka dianter sama Heri ke rumah.”
“Heri? Pacarnya? Bukannya belajar malah pacaran di sini!” Kurang ajar. Dikasih hati minta jantung.
“Bukan pacarnya, Bu. Heri sudah ditolak Mbak Mara, kata Heri. Tapi Mbak Mara masih suka bikinin kue untuk ibunya Heri.”
“Bikin kue dari belanjaan saya, terus dikasih orang!” seru Bude Parman dengan suara melengking. “Kurang ajar. Berani-beraninya dia curi makanan.”
Wajah supir Bude Parman pucat pasi. “Setahu saya, Mbak Mara selalu beli bahan sendiri, Bu … soalnya, selalu nitip beli bahan-bahan kue ke istri saya.”
“Kamu jangan belain dia, ya! Kamu mau berhenti kerja!” teriak Bude Parman.
Supir Bude Parman terdiam. Tubuhnya mengkerut ketakutan. Syukurlah mobil di depannya sudah jalan. Kakinya menginjak gas dengan sangat hati-hati.
Bude Parman mengeluarkan ponselnya. “Nar, Mara suka curi makanan di rumah?”
“Mencuri apa, Bu?”
“Kalau dia bikin kue.”
“Mbak Mara beli sendiri. Bu, bahan-bahannya. Dia suka –“
“Jangan bohong!” potong Bude Parman sengit. “Saya tidak akan membiarkan pencuri di rumah saya. Dia tidak boleh masak lagi di rumah. Dia suka bawa makanan dari rumah?”
“Tidak, Bu. Mbak Mara jarang makan di rumah.”
“Punya uang dari mana dia, beli makanan di luar?” seru Bude Parman tidak percaya.
Hening sesaat.
“Maaf, Bu. Kalau Mbak Mara tidak boleh masak, snack-snack waktu arisan di rumah nanti—“
Alis Bude Parman terangkat tinggi. “Memang dia yang bikin?”
“Semuanya, Bu. 10 macam.”
Darah Bude Parman mendidih. “Cari di tempat lain!” Dengan kasar dia memutuskan hubungan. Waktu dia bawa snack itu ke grup arisan, teman-temannya menyukainya, sama seperti dirinya. Dahi Bude Parman mengkerut dalam, itu bukan kue-kue kampung. Dari mana Mara belajar buat dessert seperti itu? Dia mendengus kesal.
Sejak kedatangan anak kampung itu, hidupnya berantakan total. Suami sering di rumah. Pesta Tama batal. Padahal dia sudah menerima berbagai barang, dari ibu-ibu luar biasa kaya, yang ingin mengenalkan anaknya pada Tama.
Dia meraba tas Hermes yang dikenakannya. Harganya tiga kali lipat dari uang bulanannya yang hanya 75 juta. Tiba-tiba ruangan berputar. Vertigonya kumat. Sudah dua malam ini dia kurang tidur. Dengan cepat tangannya mengambil merision yang selalu tersedia dalam tasnya. Tubuhnya langsung dibaringkan.
Setelah setengah hari, ruangan masih berputar. Bude Parman minum merision sekali lagi. Dia kembali berbaring
Malam hari vertigonya menghilang.
Pesta Tama dibatalkan. Bagaimana kalau tas ini dan barang-barang lain, mereka minta kembalikan? Dia sudah memamerkan tas ini ke teman-teman dan keluarganya.
Telunjuk Bude Parman mengusap lembut kerutan di antara dua alisnya. Tadi pagi dia diajak Jamie melihat rumah, yang akan permanen ditempati Tama. Kalau rumah yang ditempati Tama saat ini, sudah membuatnya panas dingin, rumah yang akan ditempati Tama membuah sekujur tubuhnya gemetar.
Jangan Lupa Bahagia
Bandung Barat, Senin 23 Juli 2018
Salam
Cici SW
Posted from my blog with SteemPress : https://cicisw.com/2018/07/23/novel002-020/
Ea ... “hanya” 75jt yah uang belanja nya 😂
hahahaha ini kan tempat kita bermimpi Kak @diyanti86
Betulllllll sekali, jadi jangan nanggung-nanggung, ya kan? 😊
Semangat, Mara! Eh 🤭✌️