Perempuan Bertopeng # 56

in #steempress6 years ago (edited)

Mama harus tahu! Satpam rumah teledor. Membiarkan orang asing masuk. Teman-temannya saja, kalau mau masuk, harus menunggu konfirmasi satpam depan dengan dirinya. Benar-benar memalukan!

Bibir Tari tersenyum sinis, penuh kemenangan. Akhirnya dia bisa juga menemukan kesalahan para penjaga pintu gerbang depan. Mama akan disuruhnya memarahi satpam itu habis-habisan.

Matanya menyipit, melihat wanita itu terus tersenyum padanya. Kurang ajar, dia berani berjalan menghampirinya!.

Mulutnya yang akan berteriak mengusir wanita itu, langsung tertutup begitu mendengar, "Tari, apa kabar?"

Ia langsung keluar kolam, berusaha mengingat nama sang pemilik wajah. Tidak ada satu pun nama yang terlintas di otaknya. Banyak orang yang berlagak kenal padanya. Biasanya dia juga akan pura-pura kenal mereka, setelah menilai apakah mereka pantas berteman dengannya.

Matanya mencari merk yang dikenalnya. setelah tidak menemukannya, Tari mendengus lirih. Kali ini dia sedang tidak ingin berbaik hati. Dagunya terangkat tinggi. Mama harus tahu kejadian ini. Tanpa mengatakan apa pun, dia langsung berjalan ke arah kursi kolam renang, bermaksud mengambil handuk, yang tadi disampirkan di sana.

"Tari, ini aku, Mara," kalimat itu menghentikan langkahnya. Ia terkesiap, dengan cepat membalikkan tubuh. Matanya menyipit, memperhatikan wanita di hadapannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mara?

Matanya memandang tidak percaya. Wanita dihadapannya memiliki postur tinggi dan langsing. Wajah dan kulitnya, terlihat sehat dan bersinar. Wajah dan tubuh yang benar-benar terawat baik.

Pandangannya berhenti di bibir yang sedang tersenyum. Tidak salah lagi. Wanita di hadapannya, benar-benar Mara, sepupunya. Amarah membuncah dalam dadanya. Wanita yang sudah mencuri calon suaminya. Dan membuat wajah mama beberapa bulan terakhir, selalu terlihat mengerikan.

Melihat Mara yang juga akan berenang, membuat minat renang Lestari hilang. Dia tidak peduli, anjuran mama, yang menyuruhnya olahraga setiap hari. Tanpa berkata apa-apa, ia segera membalikkan badan lagi, kemudian meneruskan langkah. Setelah mengambil handuk yang tergeletak di atas di kursi kolam reang, ia berjalan melewati Mara, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hanya memandang Mara dengan penuh amarah.

Air, Ombak, Riak, Refleksi, Berenang, Biru

source

Tapi dia tidak kuasa, menoleh ke belakang, setelah tidak mendengar suara amatir seorang perenang, menceburkan dirinya ke air. Wajahnya bertambah jengkel, melihat Mara berenang dengan gaya kupu-kupu yang sangat indah. Baju renangnya juga lebih mahal dari baju renang yang sedang dikenakannya. Padahal ini adalah baju renang terbaru dan termahalnya.

Gadis, Wajah, Warna Warni, Warna, Artistik, Model

source

Melihatnya duduk di kursi yang bermandikan matahari di tengah taman berumput, seorang pelayan tergopoh-gopoh mendekati Lestari.

“Sudah mau sarapan, Non?”

“Buatkan bubur ayam. Jangan pakai kacang dan seledri. Sambelnya yang banyak,” ujarnya ketus. “Heh! Engga pakai lama.”

Tiba-tiba wajahnya dipenuhi senyum, ketika melihat sesosok gadis kecil berjalan ke arahnya. “Ima sayang.” Tangannya dilambai-lambaikan.

“Mbak Tari!” Ima langsung berlari mendekatinya sembari tertawa lebar.

“Wah, Ima cantik sekali hari ini.”

“Terima kasih, Mbak. Aku mau ketemu, papa. Tapi papa katanya sudah berangkat. Tadi Bu Siti bilang, Mbak lagi di sini, makanya aku samperin.”

“Sayang sekali, engga ketemu papamu. Padahal kamu sudah bela-belain bolos sekolah ya, sayang,” ujar Lestari dengan suara dibuat prihatin.

Ima mengangguk. “Kok sudah selesai berenangnya, bukannya Mbak baru berenang?”

“Mamamu lagi berenang di sana,” sahut Tari singkat.

Mata Ima memandang Tari dengan sorot mata kebencian. “Dia bukan mamaku! Dia cuma perempuan jahat! Dasar Pelakor jahat!” teriak Ima sengit.

Dalam hati Lestari bersorak, namun ia berkata dengan lembut, “Ima engga boleh begitu... bagaimanapun, dia kan sudah menikah dengan papamu.”

“Sampai kapan pun, aku engga akan menganggapnya sebagai mamaku ... gara-gara dia, aku sering lihat mama nangis, kalau malam. Kalau mama tidak bisa jadi istri papa, kalau aku disuruh milih, aku pengin Mbak Tari aja yang jadi mamaku.”

“Hush! Tidak boleh bicara sembarangan. Kamu ada-ada aja, Ima!” ujar Lestari perlahan, untuk mengekang rasa gembiranya mendengar perkataan Ima.

Ketika pelayan mengantarkan pesanannya, Tari berkata lembut, “Ima mau sarapan apa?”

“Kayak Mbak aja ah.”

“Kalau begitu ini untuk Ima aja. Tolong buatin satu lagi, ya. Yang sama seperti ini,” ujar Tari dengan suara halus.

Pelayan itu memandang Tari dengan mata terbelalak.

“Ada lagi, Ima?” tanya Lestari lagi. Melihat Ima tidak menjawab, pandangan Lestari mengarah ke pelayan itu lagi, “Orange juicenya dua, ya.”

Pelayan itu mengangguk dengan cepat dan segera membalikkan tubuhnya lagi.

“Iya, Mbak. Bener. Mbak Ima itu cantik. Putih. Tinggi. Dia itu kurus, hitam, mukanya aneh. Matanya juga menyeramkan.”

Pada saat bersamaan, Mara yang sudah berenang selama satu jam, berjalan ke arah rumah. Alis Ima berkerut, ketika ia tidak mengenali sosok wanita yang berjalan ke arah mereka.

“Papa lagi ada tamu, Mbak?” tanya Ima perlahan pada Tari.

Melihat pandangan Ima tertuju ke belakang, Tari menggeleng. “Bukan! Itu mamamu.”

“Mbak engga salah, coba lihat dulu?”

“Engga, Ima. Dia itu sepupu, Mbak. Masa Mbak bisa salah ngenalin saudara sendiri?” tanya Lestari tanpa membalikkan tubuhnya ke arah Mara. Dia sendiri tadi kaget sekali melihat perubahan Mara. Hampir-hampir tidak mengenalinya lagi. Kurang ajar!

“Kenapa bisa berubah jadi cantik sekali sekarang. Badannya engga terlalu kurus. Kulitnya jadi lebih putih. Matanya juga beda. Engga nyeremin kayak waktu itu.”

“Dia pasti operasi plastik ... wah uang papamu pasti dihabiskannya banyak sekali, untuk mengubahnya, sampai kau sendiri jadi pangling,” dengus Tari marah. Perubahan Mara benar-benar seratus delapan puluh derajat. Rasa iri memenuhi hatinya.

“Dasar perempuan mata duitan!” desis Ima geram.

“Halo Ima,” sapa Mara ramah, “Apa kabar?” tanya Mara ketika ia sampai di tempat Ima dan Tari duduk.

Ima berdiri. Setelah meludah, dia langsung membalikkan badan dan melangkahkan kakinya.

Tanpa menunggu, Tari langsung bangkit, dan berkata pada Mara dengan sinis, “Ternyata bukan aku saja yang tidak menyukaimu. Sadar diri, dong! Kamu tidak diterima di sini!” Dia langsung berlari mengejar Ima. “Ke kamar Mbak aja, yuk!”

Subhanallah wa bihamdihi ... subhanallah wa bihamdihi ... Mara menarik nafas. Ia meneruskan langkah sambil terus melafazkan kalimat itu. Perutnya keroncongan. Setelah membilas tubuh, ia langsung ke dapur.

“Wah, masak apa Bu Inah. Harum sekali baunya?”

“Ini, Bu. Nasi kebuli. Untuk teman-teman Bapak. Sudah lama mereka tidak kesini.”

Mara mengambil piring.

“Ibu mau makan ini?” tanya Bu Inah.

“Iya ... perut saya lapar sekali,” Ketika akan mengambil nasi, Bu Inah mencegahnya, “Maaf Bu ... maaf ... nanti akan saya sediakan di meja makan ... jangan ambil sendiri ... maaf Bu ...”

“Lho kenapa memangnya? Kan saya bisa ambil sekarang, saya juga mau makan di meja makan,” ujar Mara heran.

“Jangan, Bu! Nanti saya bisa dipecat! Maaf ya, Bu ... akan saya sediakan sekarang. Ibu tunggu di ruang makan dulu, ya. Maaf, Bu. Sebentar saja,” Bu Inah mengambil paksa piring di tangan Mara.

Seseorang yang seperti biasa membantunya dengan gesit mengeluarkan beberapa piring. Mengisinya. Yang lainnya langsung sibuk mengupas buah. “Ibu mau minum apa?” tanya Bu Inah dengan sopan.

“Air putih, aja Bu. Terima kasih banyak.”

“Sama-sama, Bu.”

Begitu ia sampai di meja makan, makanan segera terhidang. Bu Siti menarikkan kursi untuknya.

“Apakah harus seperti ini setiap hari?” tanya Mara dengan alis terangkat sedikit.

Tak lama kemudian Bude Parman masuk ke ruang makan. Dia sama sekali tidak melihat ke arah Mara yang sudah berdiri dan tersenyum.

“Siapkan sarapan yang biasa,” ujarnya dengan nada angkuh. Setelah dia dibantu Bu Siti duduk di meja makan.

Badan Bu Siti menbungkuk sangat dalam. “Baik, Bu,” ujarnya dengan suara halus dan perlahan.

“Selama lebih dari tiga bulan ke rumah ibunya, Nendo meminta kami merawat rumahnya. Aku sama sekali tidak menyangka, kebaikan hati kami padamu, dibalas air tuba olehmu. Jelas-jelas Nendo akan memperistri Tari, sampai kau merampoknya dari anakku. Kamu pasti main dukun, ya?”

Setelah memuntahkan amarahnya, ia melihat ke arah Bu Siti. “Antarkan sarapanku ke kamar. Aku kehilangan selera, kalau tetap di sini.”

Sebelum membalikkan badan, Bude Parman menatap Mara dengan pandangan penuh kebencian. "Aku tidak akan tinggal diam, melihatmu tertawa di atas airmata Tari!"

Mulut Mara yang akan menyapa budenya, lupa ditutup. Dia berdiri terpaku menatap kepergian Bude Parman yang meninggalkan ruang makan, dengan langkah lebar. Seperti prajurit, yang akan diturunkan ke medan perang. Tiba-tiba tubuhnya merinding. Andaikata tatapan itu berubah jadi senjata, dia pasti sudah terkapar dan tidak bernyawa lagi sekarang.

Dadanya tiba-tiba berdebar kencang. Bingung dan cemas memasuki pikirannya.

Mas Nendo, tadinya akan melamar Tari?

Bandung Barat, Jumat 7 September 2018

Salam

Cici SW

 

 


Posted from my blog with SteemPress : https://cicisw.com/2018/09/07/novel002-056/

Sort:  

Like your post, bagus jalan ceritanya

Alhamdulillah. Terima kasih banyak Pak @hsidik :)

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63878.47
ETH 2625.83
USDT 1.00
SBD 2.79