Menakhodai Hidup # 39

in #steempress6 years ago (edited)

Bab Sembilan

Life Mapping

A view inside the Gigjökull Ice Cave in Iceland, highlighted with a blue light

source

“Papa jahat!!!!!” teriak Ima histeris. “Kenapa mau nikah, engga tanya-tanya sama Ima!”

“Ima, maafin Papa—“ sebelum kalimat Nendo selesai, Ima sudah berlari sambil menangis ke kamarnya.

Wajah pucat Nisa tersenyum minta maaf. “Maaf, biar saya yang membujuknya,” katanya lirih. Nisa bangkit dari duduknya sembari menganggukkan kepala, meminta izin.

Wajah Mara menunduk. Dia bisa merasakan kesedihan Ima. Merasa sangat menyesal, dialah yang menjadi sumber kesedihan gadis kecil itu. Dia juga merasa sangat bersalah, melihat tatapan Nisa yang terlihat kosong dan sangat kecewa, ketika memandang Nendo. Jam 1 dinihari paling menyiksa dalam hidupnya.

“Kenapa wajahmu seperti itu?” Dengan lembut Nendo yang duduk di sebelah Mata. mengacak-ngacak rambut istrinya. “Jangan merasa bersalah seperti itu!”

“Kasihan Ima,” ujar Mara lirih. Raungan tangis Ima, terdengar sampai ke ruang tamu. Mara menggosok lengannya yang terasa dingin.

“Nendo sangat memanjakannya,” ujar Sayati lembut. “Dia kaget. Sama seperti kita semua. Bayarlah dengan punya pernikahan yang sangat bahagia."

Nendo mengangguk, sembari bangkit.

“Jangan ke sana sekarang! Biarkan Nisa yang bicara dulu padanya, malam ini!” cegah Sayati dengan suara tenang. “Kalian tentu lelah sekali. Masih tengah malam, kalau mau sahur. Beristirahatlah dulu. Pakai kamar yang di depan, Nendo. Maaf ... Mama juga mau istirahat dulu ya.”

Nendo yang sudah berdiri, meraih gagang koper. “Tidak apa-apa. Nanti Ima juga baik sendiri ... sikapnya memang seperti itu, kalau keinginannya tidak dipenuhi. Ayo, kita istirahat dulu!” ujarnya lembut pada Mara.

Langkah Mara di samping Nendo, diiringi tangisan histeris Ima. Subhanallah wa bihamdihi subhanallah wabihamdih terus terlantun dalam hatinya. Semoga Allah menerima kalimat yang dicintai-Nya darinya, dan mencurahkan kasih sayang ke segala penjuru rumah ini dan seluruh penghuninya.

Mara mengedarkan pandangan sekilas. Sayati bilang, rumah yang ditempatinya milik Nendo. Ia tidak menyangka, suaminya sekaya ini. Rumah yang ditempati Sayati, jauh lebih bagus dan mewah, dibanding rumah Pakde Parman.

“Astaghfirullahaladzim,” tanpa sadar Mara menghentikan langkahnya.

“Ada apa?” tanya Nendo. Kakinya otomatis ikut berhenti. Mara memandangnya dengan wajah menyesal.

“Kita belum bilang ke Pakde Parman.”

“Kukira ada apa ... aku sudah telpon Pakde Parman...” ketika melihat wajah Mara yang kebingungan, Nendo melanjutkan, “Karena kita sudah menikah, keluargamu jadi keluargaku juga kan.” Tangannya meraih pegangan pintu kamar.

Jantung Mara berdebar, ketika memasuki kamar yang sangat besar.Dia berdiri di ambang pintu. Sepertinya Pak Nendo suka warna-warna bumi. Dinding kamar, furniture, aksesoris dekorasi didominasi gradasi warna tanah, putih tua, krem dan kuning pastel.

Terdapat ranjang di tengah sebuah sisi ruangan. Sofa empuk kuning pastel di sebelah tempat tidur dengan cushion-cushion berwarna coklat milo dan putih tua. Penutup lantai ruang tidur seperti kayu berwarna coklat tua.

"Masuk Mara. Ini kamar kita, selama tinggal di rumah mama."

Mara berjalan perlahan.

"Kalau kau tidak suka desain interiornya, ganti saja!"

"Tidak-tidak ... ini sudah bagus sekali," tukas Mara cepat. Dia duduk di pinggir ranjang kayu Telapak tangannya menyusuri sprei bermotif bunga kecil yang lembut dan dingin.

“Ini sudah malam, beristirahatlah ... kalau mau ke kamar mandi, di sebelah sana.” Tangan Nendo menunjuk ke sebuah pintu dalam ruangan itu.

Mara membuka koper yang dibawa Nendo. Ia mengeluarkan baju tidurnya. Semua barang yang dibelinya, dibawa pulang Sayati lebih dulu. Yang dibawanya hanya koper kecil, yang berisi beberapa baju salin untuknya dan Pak Nendo.

Setelah membersihkan tubuh, ia langsung menggunakan baju tidur katun model piyama panjang. Ketika kembali ke kamar, Pak Nendo sudah tertidur di sofa. Ketika ia akan menarik selimut menutupi tubuhnya, tiba-tiba Pak Nendo terbangun.

“Kamu sudah selesai?” tanya Pak Nendo dengan wajah setengah mengantuk.

“Ya,” sahut Mara lirih.

“Gantian aku, ya.” Nendo membuka lemari. Mengeluarkan pakaian tidur, kemudian bergegas ke kamar mandi.

Mara bisa mendengar air di pancuran kamar mandi dinyalakan. Pak Nendo keluar kamar mengenakan piyama panjang.

Engga dingin, Pak?” tanya Mara sambil menaikkan selimut sampai ke leher. Dengung lembut ac, memecahkan keheningan malam.

Langkah Nendo terhenti di tengah ruangan. Dahinya mengernyit dalam. “Mara ... jangan memanggilku Pak, mulai sekarang. Aneh sekali, dengarnya.”

“Jadi harus panggil apa?” Mata Mara mengikuti langkah suaminya yang mengarah ke sofa. Dia memiringkan tubuh menghadap ke arah suaminya. Laki-laki itu mulai meletakkan tubuh di sofa. Wajah Pak Nendo terlihat jauh lebih muda. Sehabis mandi, dengan rambut yang masih agak basah, orang tidak akan menyangka umurnya sudah 29 tahun. Sebuah perasaan aneh, membuatnya mulai tidak nyaman. Dia tidak berani begerak. Mara bernafas dengan sangat perlahan.

“Kamu mau panggil aku, apa?”

Nendo memiringkan badan ke arah tempat tidur, kemudian langsung menelentang. Mara memiliki rambut indah. Hitam dan bersinar. Wajahnya yang merona dengan tatapan malu-malu, mengakibatkan jantungnya berdenyut lebih cepat. Kenapa dia berubah, dari seorang gadis polos, menjadi wanita menarik secepat ini?

“Bagaimana kalau, .... Mas?” tanya Mara dengan suara ragu-ragu.

Tenang Nendo. Kau akan membuatnya ketakutan dan tidak mempercayaimu, nasihat Nendo pada dirinya sendiri. Alisnya berkerut, ketika akal sehatnya menginformasikan, konsekuensi tindakan gegabahnya.

Nendo hanya mengangguk. Kalau menjawab, istrinya pasti bisa mendengar perubahan suaranya. Tanpa mengalihkan pandangannya dari langit-langit. Ia sibuk mengingat semua cara yang telah dilatihnya bertahun-tahun, saat dia salam kondisi terjepit, namun harus menang dari situasi yang rumit dan membuat frustasi.

“Sudah malam ... tidur Mara ...,” ujarnya setelah dapat mengendalikan pikirannya.

Bukannya mengantuk, seluruh indranya seperti semakin peka. Ia mendengar gesekan berulang tubuh Mara di atas ranjang.

“Tidak bisa tidur, Mara?” tanya Nendo setelah setengah jam berusaha, namun belum juga bisa mengistirahatkan mata.

“Aku tidak terbiasa tidur dengan laki-laki dalam satu ruangan. Gelisah sekali rasanya,” ujar Mara jujur. “... apakah setiap malam akan seperti ini?”

“Kalau sudah terbiasa, tidak,” sahut Nendo menghibur Mara dan dirinya sendiri sekaligus. Ya Allah, malam pertama saja sudah mulai membuatnya gila seperti ini.

“Lagipula, aku merasa sedikit bersalah, membuat Pak ... eh ... tidur di sofa, sedang aku sendiri di tempat tidur.”

“Aku boleh tidur di sana?” tanya Nendo bercanda. Dia masih mempelajari dengan serius ukiran gypsum di langit-langit. Tidak berani menoleh ke arah Mara.

“Tidak bersebelahan aja, membuatku gelisah ... apalagi harus berbagi tempat tidur!” sungut Mara bangun dari tidurnya. Ia menyalakan lampu. Berjalan mondar mandir dalam ruangan.

“Mara aku tidak bisa tidur, kalau begini,” ujar Nendo sambil menutup matany,a dengan punggung tangan kanannya.

“Sama. Aku juga tidak bisa tidur.” Mara duduk kembali di ranjangnya. Dia meraih selimut hingga menutupi kaki.

Nendo duduk di sofa. Melakukan sesuatu, apa pun itu, pasti jauh lebih baik, dari pada hanya diam dan menikmati detik demi detik di neraka pikirannya. Ia menyetel DVD. “Duduklah, film ini sangat lucu!”

Mara dan Nendo tertawa terbahak-bahak sepanjang tayangan. Ketika film selesai, tubuh Mara terasa lebih rileks.

“Aku sudah mengantuk sekarang,” kata Mara. Begitu membaringkan tubuh, ia langsung terlelap.


source

Nendo menyelimuti tubuh Mara. Wajah gadis itu terlihat amat tenang dan damai. Bibir istrinya tersenyum. Sepertinya Mara bermimpi indah.

Aku harus sangat menjauh darimu. Alisnya bertaut dalam, ketika pikiran warasnya kembali menuntut, agar dia menepati janji yang telah dibuatnya pada Mara.

Setidaknya Mara sudah jadi istriku, Nendo mengingatkan dirinya sendiri, kemajuan yang telah dicapainya, ketika pikiran lain terus memaksa menerobos akal sehat. Dia ingin Mara terus menatapnya, dengan pandangan hormat dan kagum.

Seperti semua keadaan menjepit di masa lalu, selalu ada solusi ketuhanan yang dimilikinya. Keyakinan ini membuat matanya akhirnya beristirahat.

Bandung Barat, Senin 20 Agustus 2018

Salam

Cici SW

 


Posted from my blog with SteemPress : https://cicisw.com/2018/08/20/menakhodai-hidup-novel002-039/

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63156.23
ETH 2560.33
USDT 1.00
SBD 2.83