Memancing Inspirasi # 51
“Dia menyuruh kita masuk,” ujar Lisa pada Pak Hadi.
Langkah Pak Hadi ragu-ragu ketika memasuki ruangan. Dia melihat Bu Mara sedang menyeduh kopi di ujung ruangan.
“Apakah ini salah satu kebiasaan Pak Nendo, minum tiga gelas kopi sebelum makan siang?” tanya Mara ketika dia berjalan mendekati mereka.
“Saya malah tidak tahu, kalau Pak Nendo suka kopi, Bu Mara,” sahut Pak Hadi lega. Ia lagi-lagi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Berjanji pada diri sendiri, tidak gampang menilai.
“Punya istri berarti tambah peraturan ya, Pak Hadi?” tanya Nendo, meminta pembelaan sesama laki-laki.
“Wah! .. kalau dibandingkan dengan istri saya, Bu Mara termasuk tunawicara, Pak,” komentar Pak Hadi.
Nendo tersenyum, ketika melirik Mara yang tersenyum lebar mendengar jawaban Pak Hadi. “Ya ... itu karena sudah saya wanti-wanti dari awal ... kalau di rumah dia yang jadi ratu, tapi kalau di tempat kerja, saya yang jadi Bos.”
“Pak Nendo, kalau ngomongin istri jangan di depan orangnya, ya!” sungut Mara pura-pura marah.
Pak Hadi tertawa terbahak-bahak. Senang sekali melihat kekompakan pasangan muda ini.
Sementara Nendo sendiri hanya tersenyum simpul.
“OK, kita mulai saja rapat koordinasi ini. Sampai mana pekerjaan kita sampai kemarin, Lisa?”
Lisa memberikan laporannya dengan singkat, namun akurat, karena disertai dengan foto-foto. Pak Hadi memberikan jumlah total biaya yang sudah dikeluarkan sampai kemarin, beserta perkiraan biaya finishing akhir.
“Lonjakan biaya, masih dalam jumlah yang kita perkirakan sebelumnya,” ujar Nendo setelah memeriksa laporan keuangan yang dibuat Pak Hadi. "Bagus sekali. Terima kasih, Pak Hadi."
"Sama-sama, Pak Nendo," sahut Pak Hadi gembira.
“Apakah ada masalah?” tanya Nendo pada keduanya.
Pak Hadi menggeleng.
“Sejauh ini semuanya sesuai dengan yang kita rencanakan ... kecelakaan waktu itu, murni human error. Tidak parah akibatnya, karena kita sudah menetapkan standar tinggi, tentang keselamatan para pekerja,” sahut Lisa.
Kepala Nendo mengangguk-angguk. “Mama sangat menyukai gambar rancanganmu,” ujar Nendo pada Lisa.
Wajah Nisa langsung berseri-seri. “Alhamdulillah, terima kasih banyak, Pak ... atas kepercayaan Bapak dan Bu Sayati pada saya.”
“Sama-sama Lisa ... kerja kalian bagus sekali ... lanjutkan ya, waktu kita tinggal dua minggu lagi.”
Dengan wajah cerah, keduanya berdiri. Setelah berjalan beberapa langkah, Pak Hadi berhenti. "Anak-anak pada nanya, kenapa Pak Nendo sekarang tidak pernah ikut main basket lagi?"
"Pak Nendo suka main basket, Pak Hadi? Kapan?" tanya Mara.
"Wah, Pak Nendo jago, Bu Mara, main basketnya. Sebelum Ibu ikut ke sini, hampir setiap malam Bapak main basket," Pak Hadi tersenyum lebar. Dia langsung menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ketika melihat Pak Nendo tiba-tiba melihat langit-langit dengan serius. Perasaannya langsung tidak enak.
"Oh, jadi selama ini, selalu pulang dini hari, karena main basket?" suara Bu Mara terdengar sangat manis.
"Ya, engga setiap malam, kan main basketnya, Pak Hadi?" Nendo balik bertanya pada Pak Hadi dengan sorot mata serius.
"Oh, iya, Bu Mara. Kalau kebetulan, kita lagi senggang aja. Pas tidak dikejar target. Pekerjaan Pak Nendo kan banyak sekali. Saya permisi dulu, Pak Nendo, Bu Mara." Tanpa menunggu jawaban keduanya, dia melangkah cepat meninggalkan ruangan.
"Mara jangan iseng godain, Pak Hadi! Dia itu orangnya serius," ujar Nendo yang kasihan melihat Pak Hadi jalan terbirit-birit.
Pandangan Nendo beralih ke arah Mara yang menyeringgai lebar. Kalau tidak dihentikan, dia pasti akan habis jadi bahan bercanda Mara. “Apa yang kau dapat selama seminggu menempel padaku?” tanyanya untuk mengalihkan perhatian Mara.
Berhasil!
Nendo memberi tepukan di bahu, di pikirannya, ketika melihat wajah Mara langsung serius.
“Kau seorang pemimpin yang baik,” sahut Mara sembari tersenyum bangga.
“Hanya itu?” tanya Nendo dengan alis terangkat. Suaranya dibuat resmi, untuk menutupi dadanya yang mengembang, dipuji Mara. Ya Allah, padahal sudah tidak bisa dihitung lagi, berapa kali dia menerima pujian. Kenapa berbeda rasanya, saat istrinya yang mengatakannya.
“Kau memiliki keahlian, membalikkan sebuah kondisi dengan tren negatif, jadi sebaliknya, dengan mengarahkan persepsi mereka. Menciptakan kondisi, seolah segala sesuatu berasal dari ide mereka.”
“Betul. Itulah tugas seorang pemimpin. Memberikan inspirasi. Mereka akan bekerja total, jika merasa sesuatu berasal dari inisiatif mereka. Mereka jadi ikut terlibat, memiliki kepentingan untuk mensukseskan proyek. Jadi tidak hanya sekedar menjalankan tugas dan kewajiban mereka.”
Mara mengangguk menyetujui. Dia memang melihat, setiap orang yang dipekerjakan Nendo bekerja dengan semangat dan gembira. Seakan-akan berlomba untuk memberikan yang terbaik.
“Keliatannya ada yang sedikit mengganggu pikiranmu?”
Mara memperhatikan sekelilingnya. “Apakah ruangan ini tidak bisa kita buat lebih nyaman? Hanya dengan sedikit pengaturan, akan terasa lebih luas.”
“Kau mau mengubahnya?” Nendo memperhatikan ruangan kosong yang disulap jadi kantor sementaranya. Selama ini tidak menjadi masalah untuknya.
“Boleh?” tanya Mara antusias.
“Kalau bisa membuatnya lebih nyaman kenapa tidak? Kita masih akan di sini dua minggu lagi ... kau perlu bantuan?”
Mata Mara bersinar. “Aku akan senang sekali kalau dibantu.”
Nendo tersenyum lebar. Dengan segera ia menggulung lengan kemejanya sampai ke siku. Dengan gembira membantu Mara menggeser-geser meja, kursi dan lemari.
Setelah satu jam berkutat, Mara memandang ruangan itu dengan sinar mata puas.
“Hahaha ... terima kasih Mara, benar ... terasa lebih luas dan segar,” komentar Nendo tulus.
“Aku belum bertanya, kenapa kau sudah mengatakannya?” Mara membalikkan badannya ke arah Nendo. Mulutnya cemberut, namun matanya bersinar-sinar mendengar pujian Nendo.
“Kau pasti akan menanyakannya, bukan?” kilah Nendo, sambil mengambil tissu dari sebuah meja. Ia mengelap pipi Mara dengan lembut.
“Kenapa?” tanya Mara.
“Kotor kena debu. Sekarang sudah bersih.”
“Terima kasih.”
Nendo mencolek pipi Mara perlahan. “Masih ada lagi?” tanya Nendo ketika ia sudah duduk di kursinya, dan dahi istrinya mulai terlihat sedikit berkerut.
“Administrasinya ... " Pandangan Mara mengarah pada file-file yang ditumpuk di atas meja, " ... keliatannya agak kacau ... aku sering melihat Retno agak kerepotan, kalau disuruh mencari arsip.”
“Ya ... belakangan ini aku juga melihatnya ... kau bisa membantunya?”
“Apakah dia tidak akan tersinggung?”
“Itu adalah perasaan yang paling dilarang di sini ... namun kau sendiri juga harus peka ... bila akan memperbaiki sistim yang digunakannya sekarang ... Bu Agus yang mengajarimu administrasi?”
“Ya ...”
“Administrasi yang dipegangnya bagus sekali ... tidak membuat orang bingung, walaupun dia tidak ada di tempat ... lakukan besok, ya. Kalau Retno sudah masuk.”
Mara mengangguk. “Aku akan melihat-lihat dulu, apa yang sebaiknya akan kita sederhanakan.” Tanpa menunggu jawaban Nendo, Mara segera menghampiri lemari yang berisi arsip. Ia membuat catatan-catatan di ipodnya.
“Ayo, Mara! Makan siang, dulu!” Nendo melihat jam tangannya.
“Bisakah kau makan siang duluan, masih ada yang harus kukerjakan,” kata Mara tanpa menoleh ke arah Nendo.
Tangan Nendo mengambil ipod Mara. “Selain sebagai suami, aku di sini juga jadi bosmu. Jadi kita akan makan siang sekarang. Lemari itu masih akan tetap di sini, ketika kita kembali nanti! Kita juga belum sholat dzuhur.”
Mara tidak akan berhenti kerja, kalau tidak dipaksa. Nendo merengkuh bahu istrinya, setengah menyeret lembut tubuh Mara ke arah pintu.
Alis Retno berkerut, ketika memegang gagang telpon. Dia menghembuskan nafas lega, ketika melihat Mara membuka pintu dan memasuki ruangan.
“Bu Mara, ini ada telpon dari luar negeri ... saya tidak ngerti, katanya fax apa ... saya engga ngerti,” Retno menyerahkan telpon ke Mara.
“Coba, tolong ambil fax yang masuk!” ujar Mara seraya menerima telpon yang diberikan Retno.
“Hello,” ternyata telpon dari China. Dengan cepat Mara membaca fax berbahasa Cina yang diberikan Retno. Bahasa Inggris penelponnya terbata-bata. Dia beralih menggunakan bahasa China. Suara dari ujung sana terdengar sangat lega dan gembira. setelah menutup telpon, ia membalikkan badan. Wajahnya terasa panas.
Retno, Pak Hadi, dan Lisa berdiri berderet di sebelah Nendo, di ambang pintu, dengan wajah terkesima.
“Maaf, saya tidak tahu, sudah pada masuk,” ujar Mara dengan wajah merah karena sungkan. Melihat ketiganya masih berdiri mematung menatapnya.
“Bu Mara bisa bahasa China?” tanya Pak Hadi kagum.
“Dia menguasai—“ kata-kata Nendo dipotong Mara. “Alhamdulillah ... sedikit-sedikit, lagi terus belajar,” ujarnya seraya memberikan senyum pada Nendo.
“Ada apa?” tanya Nendo sembari tersenyum. Ia suka kerendahhatian Mara.
Fax yang dipegang Mara, diberikan padanya.
“Ada kelangkaan bahan baku mereka, karena ada peraturan baru ... kemungkinan pesanan kita akan terlambat, tapi mereka akan mengusahakan yang terbaik.”
Setelah membacanya, ia segera keluar ruangan. “Maaf, rapat kita tunda sebentar.”
Bandung Barat, Minggu 2 September 2018
Salam
Cici SW
Posted from my blog with SteemPress : https://cicisw.com/2018/09/02/novel002-051/