Life Mapping # 41

in #steempress6 years ago (edited)

A person writing in a life planner with a coffee and a croissant on the desk

source

“Bagaimana kalau kita memahat Mara baru ... hingga kau bisa menegakkan kepala, saat dikenalkan pada teman-temannya?”

Mara memandang Sayati dengan pandangan ngeri. “Dikenalkan ke teman-temannya, Mas?”

Tubuh Mara langsung lemas. Ia menyandarkan tubuh ke punggung sofa.

“Ya. Dan teman serta koleganya, tidak hanya orang Indonesia,” lanjut Sayati dengan wajah sangat serius.

Suara Sayati seperti terdengar di kejauhan. Kepala Mara tertunduk semakin dalam. Ia tahu, bagaimana rasanya jadi orang kalah dan tersisihkan. Menjadi orang di luar lingkaran.

“Kadang-kadang dia harus menghadiri acara-acara resmi. Saat itu, lebih baik jika ada yang mendampinginya ... apalagi setelah Nendo menikah. Kalau kau tidak bersedia, kau mau dia mengajak wanita lain?” desak Sayati lembut.

Punggung Mara langsung tegak. “Tidak,” sahutnya dengan cepat. Dia tidak mau menunggu di rumah, sementara Nendo pergi, ditemani seorang wanita cantik dengan sejuta pesona.

Berhasil. Sayati tersenyum dalam hati. Dia suka melihat semangat dan keberanian Mara. Penilaian Nendo benar. Dia menjaga suaranya tetap terdengar serius. “Bagaimana kalau mulai sekarang, kau belajar semua yang kau perlukan, hingga kau bisa merasa nyaman, saat mendampingi Nendo.”

“Belajar?” Mara mengerutkan dahi. “Belajar apa?”

Sayati memberikan buku yang sedang ditulisnya.

Mara membaca daftar yang dibuat Sayati. “Sebanyak ini?” tanyanya tidak percaya.

“Nendo mempunyai banyak kolega dari luar negeri ... dia menguasai 5 bahasa ... ia juga punya ketertarikan pada masalah sosial dan agama. Dia punya ribuan anak asuh, dari PAUD sampai perguruan tinggi. Donatur tetap di banyak pesantren dan panti asuhan. Belum lagi renovasi mesjid, gedung sekolah, dan fasilitas umum vital yang butuh bantuan segera. Jadi kurasa pengetahuan agama, sesuatu yang sangat vital untuk kau dalami ... dia suka olah raga itu. Kalau kau mau menghabiskan lebih banyak waktu dengannya, sebaiknya kau kuasai dengan baik. Kau suka olahraga juga bukan?”

“Suka ..." Kepala Mara manggut-manggut, "... tapi saya tidak suka tenis.”

“Belum, bukan tidak suka .... kamu bisa berenang?”

“Iya ... saya juga suka basket ...” Mata Mara kembali menelusuri daftar yang dibuat Sayati. “Perkembangan situasi terakhir, apa maksudnya?”

“Kau harus memahami perkembangan ekonomi, sosial, budaya, politik, kebijaksanaan pemerintah, apa pun yang sedang tren, viral, atau mendunia, sampai mode ... dengan menguasai itu semua, kau akan lebih percaya diri, saat mendampinginya.”

“Berapa lama waktu yang kumiliki, untuk menguasai ini semua?” Mara terus mempelajari daftar panjang yang dibuat Sayati.

“Tiga bulan.”

“Tiga bulan!' Kepala Mara mendongak. "Bisakah saya mempelajari semua ini?” tanya Mara sangsi.

“Kita akan mulai dengan mencari tahu potensi-potensimu. Melihat kelebihan dan kekuatanmu. Kita akan bekerja keras di kekuatanmu, sambil secara perlahan, meningkatkan semua aspek penting, yang harus kamu kuasai, di aspek yang lain. Kita akan fokus, agar kamu mempunyai satu atau dua keahlian yang harus sangat kau kuasai, sebagai kartu as kelebihanmu."

“Mama sudah merencanakan semua ini?” tanya Mara perlahan. Pantas saja, sehari menjelang lebaran, mama didatangi beberapa lembaga yang menangani tentang pemeriksaan dan deteksi potensi diri.

Anak cerdas.

“Bisa dibilang ya ... bisa juga dibilang tidak, kalau kau tidak bersedia melakukannya. Aku kan tidak mengatur pernikahan kalian,” sahut Sayati diplomatis.

Mara mengangguk menerima penjelasan Sayati. Matanya terus terpaku pada rekomendasi materi Sayati. Pernikahan membuatnya resmi menjadi istri Mas Nendo di depan umum. Ia tidak ingin menjadi Mara, yang hanya dipandang sebelah mata lagi. Yang bisanya hanya berharap, untuk mendapatkan sebuah senyuman dan perhatian dari seorang Firman.

Dia tidak mengijinkan dirinya lagi, lelah, karena hanya bisa berharap. Dia akan berjuang untuk dirinya sendiri. Ia akan berjuang, hingga ia bisa bangga dan mampu mengangkat kepalanya dengan tegak, saat bertemu siapa pun. Semua orang ... termasuk teman-teman suaminya.

“Kau tidak akan mempelajarinya sendiri ... akan ada profesional di bidang masing-masing yang akan mendampingimu. Aku sendiri akan terus memantau perkembanganmu ... Mara ... lihat!”

Sayati menunjuk mural sebuah pohon besar yang rimbun dan sedang berbuah lebat di sebuah taman. “Dia tidak bisa bergerak dari tempatnya ditanam ... hanya memasrahkan hidup pada Allah, yang menggerakkan hati orang untuk menjaga dan merawatnya. Perhatikan apa yang bisa diberikannya, untuk semua kebaikan yang telah diterimanya?..."

Dia berjalan dan berdiri di depan mural tersebut. "Dia menghasilkan buah sangat lebat, menjadi pengindah pandangan mata, menjadi salah satu penghasil oksigen, dan masih banyak yang lainnya... sedangkan kau..." Pandangannya menoleh ke arah Mara yang sudah berdiri di sampingnya.

"Kamu bisa bergerak, sehat, cerdas, apa yang tidak bisa kau lakukan?.... Kalau pohon ini saja bisa melakukannya, bisa memberi beragam manfaat, dengan semua kebaikan hati yang diterimanya, apa yang membuatmu tidak bisa melakukannya?... bukankah surga seorang istri terletak pada suaminya? ... bukankah kita diperintahkan untuk selalu memperbaiki diri, agar tidak khawatir dan bersedih?”

Mara tercenung, memandang gambar pohon itu.

“Pahamilah semuanya perlahan-lahan,” Sayati berdiri. “Waktumu hanya tiga bulan, untuk mempelajari semua itu. Otak kanan dan kirimu bekerja seimbang. Kekuatan menghafal dan menghitungmu sama kuat. Kamu seorang pembaca tren luar biasa, dan kamu seorang pejuang. Kamu peduli pada orang, Mara. Itu semua, dirimu sendiri bukan?"

Mara mengangguk. Hasil pemeriksaan sidik jari, dan beragam tes yang dilakukannya, membenarkan semua yang telah dikatakan Sayati. Mau tidak mau, tumbuh rasa kagum dalam hatinya. Mama Nendo, bisa melihat secara global, sekaligus sangat detil. Sayati jauh lebih hebat, dari semua pembimbing lomba yang dimilikinya. Dengan pembimbing hebat, kemungkinannya sukses sangat besar.

Melihat Mara terdiam, Sayati lanjut berkata, "Semua keterampilan ini hanya dasar. Jika kau sudah menguasainya, kau bisa merancang pengembangan dirimu sendiri. Setelah pembangunan pesantren itu selesai, Nendo akan mengajakmu ke rumahnya sendiri. Saat itulah, kehidupan barumu yang sesungguhnya akan dimulai.”

Ia berjalan menuju piano yang dengan anggun menempati ujung ruangan. Memainkan lagu kesayangannya.


source

Dengan kagum, Mara mendekati Sayati. Ia berdiri tidak bergerak di samping piano, terkesima melihat jari-jari Sayati menari di atas tuts dan memperdengarkan gabungan bunyi indah. Tiba-tiba Sayati menghentikan permainannya, “Kau menyukainya?”

“Indah sekali, Ma,” puji Mara. "Saya sampai merinding dan ingin menangis."

“Terima kasih ... kalau kau mau, aku bisa mengajarimu.”

“Benarkah?" Mata Mara bersinar. Dia sangat tertarik dengan alat musik ini. Di sekolah, dia hanya bisa belajar pianika.

"Ma....” Wajah Mara merona. “Berapa lama proyek itu akan selesai?”

“Sekitar tiga bulan lagi.”

“Saya akan belajar semua yang Mama sarankan, tapi saya ingin, ini akan tetap jadi rahasia kita... Pak Nendo ... Mas....” Mara dengan cepat mengganti pangilannya, ketika melihat alis Sayati bergerak perlahan ke atas, “... sama seperti saya ... Mas juga tidak terlalu mengenal saya ... saya ingin dia lebih mengenal saya ... minimal dengan sedikit kriteria yang ada di daftar Mama.”

“Tentu saja! Kenapa tidak?” seru Sayati antusias. Ya Allah. Seperti Nendo, dia juga sudah jatuh cinta pada Mara.

Mata Mara berbinar-binar. “Benarkah?... terima kasih, Ma!” tanpa sadar dia memeluk Sayati.

Sayati balas memeluk Mara dengan gembira. Ia seperti memiliki seorang anak perempuan.

“Kalau begitu kapan kita akan mulai?” tanya Mara riang. Jiwa kompetisinya meluap-luap berteriak minta diberi makan. Mas Nendo benar. Petualangan hebat menantinya mulai saat ini. Bismillahirrahmanirrahim.


“Tumben, pulang makan siang, Nendo,” Sayati buru-buru menutup buku catatannya. Merahasiakan ini semua dari Nendo, membuatnya jadi kembali seperti muda kembali.

“Iya, Ma... tadi pagi aku engga sempet makan ice cream buatan Mara... kebetulan siang ini bisa kabur sebentar.”

“Kalau mau pulang, telpon dulu, Mas,” Mara mengambilkan nasi ke piring Nendo.

Lho! Mau pulang ke rumah aja kok, perlu telpon dulu?” tanya Nendo. Ia senang, melihat sikap Mara sudah berubah. Siang ini istrinya keliatan gembira dan semangat sekali.

“Maksud Mara ... bagaimana kalau kau sudah menyempatkan diri pulang, dan kami tidak ada di tempat,” Sayati menengahi dengan suara lembut.

Nendo manggut-manggut, mendengar penjelasan Sayati. “Ok ... lain kali aku akan menelpon dulu.”

Mara tersenyum penuh ucapan terima kasih pada Sayati.

Sayati membalas dengan mengerdipkan matanya dengan jenaka. Dia sudah menghubungi semua orang didaftarnya. Mereka semua sangat antusias bergabung dengan proyeknya. Mara mendesak agar mereka memulai 'Petualangan', begitu Mara menyebutnya, hari ini juga.

Otaknya sedang berputar. Bagaimana dia bisa menyuruh Nendo pergi secepat mungkin, tanpa menimbulkan kecurigaannya?

 

Bandung Barat, Rabu 22 Agustus 2018

Salam

Cici SW

 

 

 

 

 


Posted from my blog with SteemPress : https://cicisw.com/2018/08/22/life-mapping-novel002-041/

Sort:  

dorong aja ke pintu kemana saja yang ada tepat di sebelahnya

Coin Marketplace

STEEM 0.29
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 64107.66
ETH 3148.40
USDT 1.00
SBD 3.84