Kelobaan Manusia # 47

in #steempress6 years ago

“Benarkah?” tanya Mama Mara dengan wajah berseri-seri.

Nendo mengangguk. “Kami tidak bisa lama di sini. Bagaimana kalau sekarang kita temui Pak Kades, membicarakan hal ini?”

“Boleh! Boleh! Mama bilang dulu sama ayah,” dengan langkah tergopoh-gopoh Mama Mara memasuki rumah.

“Mas jadi banyak mengeluarkan uang!” keluh Mara, sesaat setelah mamanya pergi.

“Lalu di mana rasa bersyukurmu? Keluarga ayah beringkah seperti itu, kamu marah. Aku ingin membangun gedung PAUD, kamu mengeluh?” Nendo mencolek dagu Mara dengan telunjuknya.

Kepala Maya tertunduk. “Pasti akan menghabiskan banyak uang.”

“Mara, caramu mengucapkannya, membuatku seolah-olah jadi bebanmu ... Alhamdulillah, aku punya kelebihan rezeki. Aku senang sekali, bisa bantu mereka yang benar-benar membutuhkannya.”

“Terima kasih.”

“Sama-sama,” Kepala Nendo mengangguk sedikit. Senyum tidak bisa lepas dari bibirnya. Mara sudah jadi miliknya sekarang.

“Mengapa kau melakukannya semalam?” tanya Nendo dengan nada serius.

Pipi Mara terasa panas. “Aku tidak tahu,” ia memalingkan wajah, ketika tatapan Nendo berubah jadi begitu lembut.

Ibu jari Nendo memegang dagu Mara. Dengan sangat perlahan, ia membawa wajah Mara menghadapnya.

“Mari kita sama-sama mencari tahu ... tanpa syarat apa pun ... tidak untuk balas budi ... atau pun kewajiban untuk menolong ... mulai sekarang, mari lakukan segala sesuatu, hanya karena hati kita yang menginginkannya.”

 

Innovation, Business, Information, Presentation, Graph

source

 

“Bukankah Mas sendiri yang bilang, ayah memerlukan banyak biaya?” tanya Mara lirih.

“Maafkan aku!" Nendo meraih Mara dalam pelukannya. "Saat itu aku tidak tahu cara lain, agar kau mau menikah denganku,”

Mata Mara terpejam. Berada dalam pelukan Nendo, membuatnya merasa sangat nyaman.

“Lalu kenapa Mas mau menikahiku?” tanya Mara lirih.

Nendo tertawa pelan. “Berhentilah bertanya seperti ini! Hanya laki-laki gila yang buta saja, yang tidak menginginkanmu.”

Kedua tangan Nendo memegang lengan Mara lembut, kemudian menjauhkan Mara sedikit dari pelukannya. “Untuk semua yang berkaitan dengan dirimu, aku tidak bisa menjelaskannya ... aku hanya tahu, aku sangat cemburu, benar-benar seperti kehilangan akal, ketika kau menyebut nama Firman saat kau mengigau ... dan aku selalu ingin membuatmu tersenyum dan bahagia ... kau diskripsikan itu, sebagai apa?”

Mata Mara menatap mata tersenyum suaminya. “Aku tidak tahu....” sahut Mara.

“Bagaimana kalau kita mulai segalanya lagi dari awal? ... bukankah pernikahan hebat, selalu dilandasi dengan persahabatan suami istri?”

Mara terus menatap Nendo tanpa berkedip. Perasaannya pada suaminya mulai berjangkar. Dia ingin selamanya merasa seperti ini.

“Maaf, kalau mengganggu,” sebuah suara memecahkan keheningan yang menakjubkan keduanya. Secara bersamaan keduanya menoleh.

“Paklik Narma!” seru Mara kaget. Wajahnya terasa panas. Dia segera berbalik dalam pelukan Nendo, berusaha menjauhkan diri dari suaminya. Namun Mas Nendo tidak membiarkannya. Tangannya tetap merengkuh bahu Mara.

“Kebetulan sedang jalan-jalan pagi, lihat mobil Nak Nendo. Sekalian Paklik ada perlu sama Nak Nendo,” ujar Paklik Narma.

“Boleh, Paklik... gimana kalau nanti saja, sekalian makan siang. Kebetulan sekarang saya ada perlu,” sahut Nendo, setelah mereka saling berjabatan tangan.

“Begitu ... ya, ya nanti siang saja. Ayo Mara, kirim salam untuk orang tuamu, ya... Mari, Nak Nendo.”

Mara mengantar kepergian Paklik Narma dengan pandangan marah.

“Ingat, apa yang disuruh dibaca mama, untuk menghilangkan pikiran negatifmu?” tanya Nendo sambil menepuk pundak Mara perlahan.

“Ayo, mau berangkat sekarang?” tanya Mama dari arah belakang mereka.

Bricks, Wall, Stones, Structure, Stone Wall, Texture

source

Kepala Nendo mengangguk-angguk. “Begini saja, Pak. Tolong musyawarahkan dengan perangkat desa dan BPD, apa saja yang perlu dibangun atau diperbaiki. Kalau sudah ada hasilnya, tim saya, akan mulai merencanakan dan melaksanakan pembangunan.”

“Maksudnya, Pak Nendo?” tanya Pak Kades dengan nada sangsi.

“Tolong Bapak buat daftar prioritas apa saja yang sangat dibutuhkan masyarakat desa ini."

Pak Kades terdiam sesaat. Matanya beralih dari wajah Nendo, ke wajah Mama Mara, kemudian kembali pada Nendo. "Semuanya, Pak Nendo? Maksud saya, jalan utama desa, renovasi gedung SD, irigasi ... sarana olahraga?"

"Semuanya, Pak. Kita juga akan gedung serba guna serta balai desa. Sekalian untuk PAUD."

Pak Kades memperbaiki posisi duduknya. Punggungnya tegak sekarang. Tangannya diletakkan bertaut di paha. "Tapi, maaf ... biayanya tidak sedikit. Kalau dalam bentuk pinjaman, kami tidak bisa menjamin, kapan uang akan bisa dikembalikan."

"Apabila sudah dievaluasi tim saya dan mereka setuju, masalah biaya tidak usah Bapak pikirkan. Semua bantuan berupa hibah. Tentu saja, kami akan pertimbangkan dari beberapa sisi. Supaya bantuan ini tidak sia-sia dan salah target."

"Alhamdulillah ... alhamdulillah," suara Bu Kades terdengar.

Mara memperhatikan wajah suaminya dengan tatapan ngeri. Apa Mas Nendo tahu berapa uang yang harus dikeluarkannya? Renovasi satu kelas saja, dari informasi yang diterimanya, dana yang dibutuhkan 50 juta.

Dia menoleh ke arah mamanya, yang menggenggam erat tangannya. Melihat mamanya tersenyum memberi dukungan, perasaan Mara jadi sedikit lebih tenang.

"Kami juga punya tim, yang terbiasa melatih dan membina keterampilan potensi masyarakat. Akan lebih baik lagi, bisa dibuat Badan Usaha Milik Desa, hingga bisa menghidupkan roda perekonomian masyarakat desa," suara Mas Nendo terdengar lagi.

Mulut Pak Kades menganga mendengar kata-kata Nendo. Wajah cerahnya silih berganti dengan wajah pucat.

“Bu ... Bu aku engga salah dengar kan ya?” tanyanya keras, sampai membalikkan tubuh ke arah istrinya.

Melihat istrinya menangis tersedu-sedu, ia kembali menghadapkan tubuhnya ke arah Nendo. “Bisa kita buat di atas hitam putih, Pak Nendo.”

“Tentu saja, Pak. Tapi ada syaratnya.”

Pak Kades yang sedang berdiri dari duduknya, langsung kembali menghadap Nendo. Dia kembali duduk dengan tegang. Tangisan Bu Kades langsung berhenti. Ruangan terasa sangat hening.

“A.. apa syaratnya, Pak Nendo?” tanya Pak Kades tergagap.

“Saya mau melakukannya, karena kata Mama Mara, Bapak orang yang baik dan jujur ....”

“Terima kasih ... saya hanya berusaha menjalankan amanat dengan sebaik-baiknya,” sahut Pak Kades dengan suara tersendat.

“Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, saya akan menggunakan orang-orang saya dalam pembangunan infrastruktur. Kalau memang ada warga desa, yang akan ikut bekerja ... biar orang saya, yang akan menentukan, mereka akan bekerja sebagai tukang atau laden. Bapak atau siapa pun tidak boleh ikut campur. tentu saja, kalau memang masyarakat di sini memang mampu, saya akan menarik para pekerja saya.”

Pak Kades menarik nafas lega. Wajahnya dipenuhi senyum. “Ada lagi, Pak Nendo?”

“Saya rasa itu cukup.”

“Sebenarnya, itu akan sangat memudahkan kerja saya. Karena hanya tinggal mengawasi jalannya pembangunan.”

“Kalau Bapak bisa secepatnya mengurus ijin lokasi, kita bisa segera mulai pembangunannya.”

“Saya akan mengurusnya hari ini juga.”

“Kalau Bapak akan mengadakan rapat dengan warga, akan ada tim saya yang akan mendampingi Bapak. Salah satunya seorang arsitek. Biar nanti dia akan melihat apa-apa yang dibutuhkan, lalu akan dibuatkan rencana awal gambarnya.”

“Iya, Pak Nendo. Terima kasih banyak sebelumnya.”

“Sama-sama Pak Kades ... baiklah, kalau sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan... tinggal surat perjanjiannya, Pak.”

“Tidak. Tidak usah, saya percaya sama Pak Nendo ...” Wajah Pak Kades memerah karena malu.

“Dari tim kami, akan membuat mou untuk semua pelaksanaan pembangunan. Itu prosedur standar. Tidak boleh memberikan gratifikasi pada mereka." Melihat Pak Kades mengangguk sebagai tanda persetujuan, Nendo lanjut berkata, " Baiklah, kalau begitu kami permisi, dulu.”

Nendo langsung berdiri

Lho, belum dikasih minum! Bu! Bu! Lho, gimana ini?” Pak Kades ikut-ikutan berdiri dengan wajah kebingungan.

Tubuh Mara setengah melayang, ketika berjalan menuju mobil.


Rombongan keluarga ayah Mara datang pukul 11.00. Mama Mara dan beberapa tetangga yang membantu, masih membakar ikan.

“Begini, Nak Nendo, langsung saja ya ke pokok pembicaraan ... kami sedang kesulitan modal ... jadi karena Nak Nendo berkecukupan, kami minta bantuan untuk modal ... ini pinjaman lho ... kami akan membayarnya,” ujar Pakde Sarman, setelah mereka semua berkumpul di ruang keluarga.

“Kalau saya Nak Nendo, ingin sekali memperbaiki kondisi desa kita ini,” Paklik Narma menimpali pembicaraan kakak tertuanya. “Saya ingin mencalonkan diri jadi kades. Tapi tentunya ... semuanya kan butuh modal ... itu satu-satunya yang saya kurang. Istri saya juga mau buka rias pengantin."

“Paklik sudah buat rencana, apa yang akan Paklik lakukan saat sudah jadi kades, nanti?” tanya Nendo pada Paklik Narma.

“Sudah, Nak Nendo.”

“Apa rencananya, Paklik?”

“Ya, banyak, Nak Nendo. Semuanya sudah ada di kepala,” Paklik Narma menunjuk kepalanya.

“Rencananya kalau ada uangnya, mau buat apa Paklik?” tanya Nendo lagi

“Buat poster, kaos simpatisan, umbul-umbul,” seru Paklik Narma bangga.

Kepala Nendo mangut-manggut. “Untuk programnya sendiri, bagaimana Paklik?”

“Ya, itu nanti setelah jadi kades.”

“Kalau programnya belum jadi, apa engga buang-buang waktu lagi nanti, setelah jadi kades?”

“Buat program kan masalah gampang, Nak Nendo!” tukas Paklik Narma. "Yang penting ada uang dulu."

"Bulik Narma punya pengalaman di bidang rias pengantin?" tanya Nendo pada Bulik Narma.

"Sebelum nikah suka bantu-bantu rias, kalau ada tetangga yang hajat," sahut Paklik Narma mewakili istrinya.

"Ya, Nak Nendo. Ada yang nawarin bisnis ini. Saya cuma harus menyerahkan uang modal, nanti setiap bulan, mereka akan memberikan keuntungan 15 % dari uang modal. Saya sih tidak minta modal banyak-banyak, Nak. 200 juta sudah cukup," ujar Bulik Narma. "Tidak sampai setengah dari renovasi rumah ini."

Mara menahan nafas berupaya meredakan marah.

“Pakde Sarman mau berbisnis apa?” Nendo mengalihkan pandangannya kembali ke Pakde Sarman.

“Tadinya mau buat kolam ikan, seperti Ayah Mara. Tapi istri saya pengin jualan baju jadi, katanya. Kan perlu kios kalau begitu, di pasar.”

“Bude sudah pernah jualan baju?” tanya Nendo pada Bude Sarman.

“Belum. Keliatannya enak. Tetangga sebelah rumah, kalau abis belanja, semua nyerbu ke rumahnya,” sahut Bude Sarman sangat semangat.

“Nanti mau beli bajunya di mana?” tanya Nendo.

“Di pasar besar. Kita juga tidak punya kendaraan. Jadi harus beli mobil juga, untuk belanja."

Nendo mengamati pakaian yang dikenakan Bude Sarman. Tubuhnya yang besar mengenakan motif bunga-bunga super besar. Pakaian yang dikenakannya membuatnya kelihatan semakin besar dan tua. Bagaimana wanita ini bisa jualan baju?

"Kita kan keluarga Nak Nendo. Sudah sepantasnya niat baik kami, didukung," ujar Paklik Narma, yang langsung mengundang anggukan kepala rombongan yang datang bersamanya.

"Waktu Ayah Mara sakit, kami-kami ini yang bantu Nak Nendo. Perhiasan istri saya sampai habis terjual," Pakde Sarman menambahkan. "Kalau bukan keluarga sendiri, siapa yang mau bantu kita?"

Mara mengepalkan kedua tangannya sekuat tenaga. Mencegahnya menjerit dan mengusir orang-orang serakah itu. Mama sudah wanti-wanti, agar dia menghormati dan mempercayai suaminya. Tapi kali ini, keluarga ayah benar-benar keterlaluan.

Sikap Mas Nendo sejak bicara dengan keluarga ayah, berbeda dengan keseharian Mas Nendo yang dilihatnya. Mas Nendo yang ditatapnya saat ini, bukan suami yang tadi pagi begitu ramah dan bersikeras tetap memeluknya di hadapan orang lain. Tidak ada ekspresi apapun di wajah suaminya. Dia tidak kenal, laki-laki tenang yang ditekan agresif oleh keluarga ayah.

Rasa marah dan penasaran bercampur di hati Mara. Apa yang akan dilakukan suaminya?

Bandung Barat, Selasa 28 Agustus 2018

Salam

Cici SW


Posted from my blog with SteemPress : https://cicisw.com/2018/08/28/novel002-047/

Sort:  

Nendo- nendo................hatimu Ikhlas membantu di pendidkan Paud, dan .......ini kalimat yg aku suka.............aku sangat cemburu, benar-benar seperti kehilangan akal, ketika kau menyebut nama Firman saat kau mengigau ...

Pernahkah punya pengalaman seperti itu @fityan?
Hehehe
Terima kasih sudah berkomentar :)

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63179.13
ETH 2573.33
USDT 1.00
SBD 2.72