Bersahabat dengan Ketidakpastian # 23

in #steempress6 years ago

Dari ekor matanya, Nendo melihat Mara berbincang sangat akrab dengan Heri. Latihan pengendalian diri belasan tahun dan ketahanan mental mengarungi pasang surut bisnis-bisnisnya, yang membuatnya bisa tetap mengajar maksimal dengan santai.

Sepulang mengajar, dia pasti melakukan olahraga indoor sampai tidak bisa bangun. Bayangan Mara dan Heri yang berdiskusi dengan hangat terus berputar di otaknya. Saat memukul samsak, wajah muda Heri melekat di sana. Mereka punya hubungan khusus? Dahi Nendo berkerut dalam. Kenapa aku marah sekali, melihat mereka berdua sangat akrab?

A person standing on a rock overlooking a sun-drenched undulating valley

source

Dengan sigap, Mara menuliskan semua hal yang dirasanya penting. Ia sangat tertarik mempelajari materi ini. Pak Nendo benar. Orang terkaya di kampungnya, Papa Nida, punya usaha sendiri. Memiliki showroom mobil baru dan bekas di kota.

Beberapa orang kaya lain yang dikenalnya, juga tidak bekerja pada orang lain. Punya usaha sendiri. Walaupun ada beberapa tetangga, yang suaminya bekerja di luar kota, memiliki kehidupan berlebih. Kesempatan terbesar untuk jadi orang kaya, dimiliki oleh orang-orang yang memiliki usaha sendiri.

Ketidakpastian. Dia melingkarinya dengan bentuk hati. Itu syarat utama yang dikatakan oleh Pak Nendo. Sebagai seorang entrepreneur, kita harus mampu bersahabat dengan ketidakpastian. Kekuatan mental seseorang, perlu selalu ditempa, bila memutuskan akan menjalani karir sebagai seorang pengusaha. Dengan begitu, kegagalan hanya perlu dipandang dari sudut yang berbeda. Satu langkah lebih dekat dengan kesuksesan.

Dari sudut matanya, Nendo memperhatikan Mara begitu tekun memperhatikan dan mencatat. Pandangannya kembali terfokus pada lembaran test tertulis yang dibuatnya, ketika merasa ada mata yang memperhatikannya. Sementara pikirannya, melayang konsisten pada gadis muda dengan rambut diikat satu di kepalanya.

Mara yang sekarang ada di hadapannya, adalah gadis yang berbeda dengan Mara yang ditemuinya di perpus. Gadis itu keliatan lebih cerah. Mulai menatap wajah orang yang berbicara padanya. Ia mulai sering melihat senyum di wajah Mara. Kalau ia menyelipkan humor, Mara akan ikut tertawa bersama yang lainnya. Berani bertanya, apabila ada hal yang tidak dimengertinya.

Tidak mengherankan, ketika memeriksa test evaluasi, Mara mendapat nilai tertinggi. Tiga orang diberi kesempatan magang. Di antara mereka, ada Mara dan Heri. Dia memisahkan tempat magang ketiganya. Mara ditempatkannya di perusahaan induk yang mengurus franchise supermarket. Di bagian yang mengurus tentang cadangan barang di masing-masing toko.

“Mara, ini surat pemberitahuan untuk walimu,” Pak Deni menyerahkan selembar kertas. “Berikan ini pada Pakdemu, ya.”

“Iya, Pak. Terima kasih,” ujar Mara riang. Dia masih belum bekerja di lapangan futsal Pak Tama, jadi tidak akan mengganggu jadwal kerja utamanya.


source

Pakde Parman mengerutkan alisnya, ketika membaca surat yang diberikan Pak Deni pada Mara.

“Di mana kau kenal dengan Pak Tama?” tanya Pakde Parman.

“Saya tidak kenal dengan Pak Tama, Pakde,” sahut Mara dengan wajah bingung.

“Lho, ini kamu akan bekerja di perusahaannya!” Pakde Parman menunjukkan sebuah nama yang tertera di lembaran itu.

Mara membaca surat pemberitahuan itu dengan seksama, dengan kening sedikit berkerut.

“Oh, itu Pak Nendo, Pakde.”

“Pak Nendo dengan Pak Tama itu orang yang sama. Bagaimana kamu bisa kenal Pak Nendo?” desak Pakde Parman.

“Dia ngajar di tempat kursus komputer, Pakde.” Pak Tama dan Pak Nendo orang yng sama?

Dengan wajah gusar Bude Parman menghampiri Pakde Parman dan Mara. “Ayo Pa! Ada apa sih? Aku engga mau terlambat ke pesta Tama!” seru Bude Parman marah.

“Engga! Engga ada apa-apa. Iya, Mara. Pakde ijinkan. Kerja yang bener ya! Buat pengalaman kamu.” Pakde Parman dengan segera menandatangani kertas yang disodorkan Mara.

“Terima kasih, Pakde.”

“Kamu kerja di sini langsung diterima sama Pak Nendo?” tanya seorang mentor wanita, orang yang ditunjuk Nendo untuk mengajari Mara. Setelah Pak Nendo meninggalkan ruangan.

“Ya. Aku ikut pelatihan kewirausahaan. Pak Nendo menjadi narasumber. Ada seleksi, Alhamdulillah, aku dapet.”

“Mmm ... Pak Nendo memang suka kegiatan sosial seperti itu ... kamu bisa komputer?”

“Bisa.”

“Ok kita mulai dari sini, ya!”

Mara mencatat saat mentornya mengajarkan cara menggunakan sistim yang digunakan oleh perusahaan. Tiba-tiba ia berdiri, ketika seorang wanita memasuki ruangan. Melihat mentor berdiri, Mara juga ikut berdiri.

“Bu Nisa, ada yang bisa saya bantu,” tanya mentor Mara sopan.

Wanita yang baru masuk itu menganggukkan kepalanya dengan ramah. Ia melihat ke arah Mara. “Ini Mara, ya?” Ia menjulurkan tangannya.

“Mara,” Mara menyebutkan namanya.

“Nisa.”

“Gimana, Mara?” tanya Nisa.

“Alhamdulillah, sudah mulai ada bayangan, Bu Nisa.”

“Bagus, tolong terus dampingin ya. Mara tidak akan lama magang di sini.”

“Baik, Bu,” sahut Mirna.

Begitu Bu Nisa keluar ruangan, mentor Mara duduk dengan wajah lega. “Alhamdulillah. Dia semalam mimpi bagus, kali, ya.”

“Memangnya kenapa?” tanya Mara sambil tersenyum.

“Biasanya senyumnya mahal sekali.”

“Ooohhh.”

Hari ketiga, Mara berpapasan dengan Nendo

“Gimana Mara? Lancar belajarnya?”

“Alhamdulillah, Pak.”

“Kemarin saya ke toko buku. Ada beberapa buku selfhelp bagus. Ini, untuk kamu.”

Mata Mara berbinar menerima sekantong plastik buku baru. “Untuk saya semuanya, Pak?”

“Iya.Tapi kalau mau baca jangan jam kantor! Nanti aja di rumah. Kalau kebetulan ketemu lagi, kita bisa bahas beberapa hal.” Nendo memperhatikan Mara, yang memperhatikannya dengan sorot mata aneh. “Ada apa, Mara?”

“Pak Nendo! Bapak pemilik lapangan futsal tempat saya akan bekerja?” tanya Mara setelah terlihat berpikir sesaat.

 

Bandung Barat, Kamis 26 Juli 2018

Salam

Cici SW


Posted from my blog with SteemPress : https://cicisw.com/2018/07/26/novel002-023/

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.13
JST 0.032
BTC 60793.50
ETH 2910.51
USDT 1.00
SBD 3.59