SANJA DIMATAMU

in #short6 years ago

image
Karya: Akmal Al-Husaini
Kubacai baris demi baris pesanmu, kata demi kata yang kamu rangkum menjadi ulasan yang indah. Goresan-goresan perasaan yang mengambang dalam bayang. Seolah aku akan hanyut bersamamu di semesta tak berpenghuni ini. Tampak hadirmu dalam imajinasiku sebagi sosok putih yang membias menjadi sejuta warna-warni kehidupan. Kamu adalah seperti pelangi. Adalah pelangi yang tak mungkin hadir di gelap malam. Adalah pelangi yang selamanya tak berpijak ke bumi. Kamu adalah pelangi yang selalu mengesankan, sesuatu yang jelas tampak elok di pandang. Namun selamanya takkan pernah tersentuh tangan.
Semenjak setahun lamanya tak kutatap wajahmu itu. Kita terpisahkan dalam jeruji keniscayaan yang entah atas dasar apa, aku harus di kampus dan kamu harus di pesantren. Disini ku ditemani tumpukan buku-buku barat yang tak jelas asal muasal buah pikirnya, sedang ku yakin kamu sedang asik dengan hafalan kitab-kitab lama tanpa pernah mengerti kondisi di luar lingkunganmu. Semenjak setahun yang lalu tak lagi ku tahu bagaimana senyum yang selalu kamu toreh di relung terdalam lubuk hatiku.
image
Sedang ku terbayang tentangmu itu. Saat terakhir berjalan diantara pasir pantai selatan, tentunya takkan berpegangan tangan layaknya dua kekasih lainnya. Air laut yang menjilat-jilat menghempaskan dirinya ke daratan. Sedang di sekujur badan pantai ramai sekali orang. Berlarian dan bermain dengan pasir seperti anak kecil yang bertubuh besar. Menjadi kecil di umur yang tua. Mungkin angin pantai memang sanggup memembawa orang-orang seperti mereka pada masa lalunya. Atau mungkin pasir yang teronggok itu yang membawa mereka bernostalgia melawan zaman yang tak pernah berhenti. Apalah mereka itu, yang pasti sedang melupakan apapun yang ada di balik permasalahan hidupnya. melupakan untuk sesaat.
Keramaian pantai tampaknya tak mapu membendung bahagiaku atasmu kala itu. Pantai seisinya hanya simfhoni yang mengiringi indahnya alunan kebersamaan. Bercakap tentang khayalan masa depan, atau hanya ukiran kata yang teronggok menjadi sebuah candaan. Kutatap matamu, semilir angin tak menggoyahkan hasrat memaknaimu. Sembari kau tersenyum sedikit malu-malu. Memang tak pernah ku sentuh kulitmu semenjak ku mengenalmu, namun aku tahu masih semulus bidadari yang ada dalam mimpi. Kutatap terus matamu itu. Kamu menoleh ke sana kemari seperti anak yang bingung mencari ibunya. Dan kini kamu sedang mencari keberanianmu.
“Kenapa tak kamu diamkan saja matamu itu tetap menatapku?” Tanyaku.
“Untuk apa? Jika tatapan hanya menggoreskan keharuan. Haru jika kamu menatapku sedang tak ada kamu mampu membaca isi hatiku.”
“Membaca isi hati? Apa tak pernah kamu menganggapku mengerti tentangmu?”
Memang tampak sendu sekali matamu kala itu. Sembari melanjutkan langkah kaki yang sedari tadi tak mau berhenti. Atau melarikan diri dari pertanyaanku. Tak ada niatan untuk berenang di pantai, apalagi aku tak bawa baju ganti. Kamu terus saja berjalan sedang aku mengikuti disampingmu. Bertanya-tanya.
Matahari sedikit demi sedikit menurun menuju ujung laut. Sedang perahu seperti mengaitkan tali menariknya ke bawah. Menunggu malam tiba agar bisa berlayar ke tengah samudera. Para nelayan yang tampak kecil dari kejauhan memang sedang mengecek perahu mereka. Takut jika di tengah usahanya mencari nafkah tenggelam akibat kelalaian mereka yang tak tahu jika ada kebocoran. Perahu mereka bentuknya memang mirip. Yang membedakan hanya usianya. Dan kelapukan kayunya.
Akhirnya kita berdua berhenti di atas batu besar. Berhenti karena kelelahan. Juga berhenti menikmati senja yang akan memunculkan keindahan dengan warna merahnya. Membakar langit yang biru. Bagi para remaja tentu menjadi simbol dari gejolak asmara yang selalu menggeliat. Berhasrat untuk mencengkram birunya cinta tanpa takut sama sekali. Dan tak ada lagi kamu menatapku. Hanya menatap ufuk terbenam mentari sembari bercumbu dengan angin senja.
“Apa yang aneh dari hatimu yang tak termaknai olehku?”
“Senja.”
Aku hanya terdiam kala itu. berfikir untuk mencari arti perkataanmu. Namun hanya kosong sekosong senja itu sendiri.Tak ada lagi percakapan. Hanya isyarat untuk pulang sebagai akhir dari perjumpaan. Atau mungkin perjumpaan terakhir.
Hari mulai berlalu. Nilai ujian nasional akan segara dibagikan. Tapi justru keresahan tentangmu yang menghantuiku. Akhirnya setelah satu minggu baru kamu mengirim pesan. Pesan perpisahan.
“Hatiku adalah senja. Senja saat kita terakhir bertemu. Sebagai isyarat datangnya malam agar setiap orang kembali ke tempat asal mereka. Hatiku menjadi senja. Saat pertemuan kita kemarin menjadi pertemuan terakhir. Isyarat agar kita kembali ke asal tujuan kita dan asal kelahiran kita. Aku terlahir sebagai anak dari kiyai tentu tak mungkin bertujuan kuliah sepertimu. Aku lahir untuk meneruskan perjuangan orang tuaku. Mungkin adakalanya matahari terbit dan terbenam. Namun ketika sudah terbenamnya harapan kita untuk bersama, jangan sekali-kali berharap esok akan terbit kembali. Aku adalah senja yang sedang memerah. Merintih dibalik jeruji takdir. Namun aku tetap senja, yang pasti akan terbenam jua. Tak ada keraguan saat ku mengenalmu sebagai kekasih. Tentu suatu keniscayaan bahwa cinta selalu menuntut untuk memiliki atau dmiliki. Namun ironi menjadi jawaban saat taqdir memang tak menghendaki. Saat bersamamu menjadi kebahagian tak menutup kemungkinan melepasmu sama halnya mencengkramkan diri dalam kerinduan. Tapi aku tetap saja senja. Harus siap di seret arus waktu dan tenggelam sedalam-dalamnya lautan. Maafkan aku jika harus pergi, dan aku ikhlaskan kamu untuk melanjutkan
imagekehidupanmu meraungi sempitnya bumi ini.”
Kupejamkan mataku. Menutup kenangan yang selalu terulang dalam ingatan. Berharap besok, lusa atau kapanpun. Bisa menyandarkan hidupku di bawah naungan senyummu. Meski hanya sesaat bahkan sekejap.

Coin Marketplace

STEEM 0.26
TRX 0.13
JST 0.031
BTC 61553.99
ETH 2881.27
USDT 1.00
SBD 3.54