Tak Sejalan
"Jalan kita sudah berbeda, pergilah. Lupakan semua cerita lama. Suatu hari kamu akan paham, tidak semua sad ending akan berakhir tragis." Sampai hari ini kalimat itu belum bisa ku pahami dengan benar. Ribuan hari telah berlalu tetapi nyatanya aku masih disini-sini saja, masih dengan luka yang sama saat terakhir kali mata ini beradu pandang dengan dalamnya tatapan matamu.
Hari itu hujan turun begitu deras. Jalanan yang biasanya padat dengan kendaraan yang berlalu lalang nampak lenggang. Mungkin mereka lebih memilih bergelung dengan selimut tebalnya di rumah daripada harus menantang hujan. Apalagi weekend seperti ini, semua keluarga berkumpul di rumah.
Tak terhitung lagi puluhan menit telah berganti. Aku masih setia duduk menanti di sudut coffee kecil di sudut kota ini. Berharap di menit selanjutnya kamu akan hadir dengan senyum hangatmu yang seperti biasanya. Aku percaya kamu akan datang. Iya, datang untuk sebuah penjelasan.
Hari semakin senja, udara makin dingin dan hujan tak kunjung reda. Belum ada tanda-tanda kamu akan datang, tapi seperti janji-janjimu terdahulu aku percaya kamu takkan pernah mengingkarinya.
"Harusnya kamu pulang saja, tidak perlu menunggu seperti ini. Bisa saja aku takkan datang," suara berat khasmu yang begitu ku hafal di luar kepala terdengar pas di tegukan terakhir coklat panas yang sedang ku sesap. Aku tersenyum lebar, seperti biasa kamu selalu menepati janjimu.
"Buktinya kamu datang, jadi tidak mengapa kalau harus menunggu sedikit lebih lama,"ucapku.
Kulihat kamu memalingkan wajahmu, seperti enggan menatapku. Padahal biasanya kamu menyukai kontak mata denganku. Kamu menemukan telaga yang tenang disana katamu. Namun bukan itu yang penting, aku harus mendengarkan penjelasanmu. Dan kuharap penjelasan yang kuterima akan berbeda seperti yang kudengar tempo hari dari ibumu.
"Jangan pernah menunggu seperti ini lagi, aku sudah tidak bisa memenuhi janjiku. Semua sudah berbeda, jangan lagi menaruh harapan padaku," ujarmu tanpa menatap sedikitpun.
"Tapi kenapa? Aku butuh penjelasan yang logis bang. Aku, aku... Ah, kamu tidak paham," aku terbata-bata. Kau tau, rasanya sakit, sangat sakit. Tapi semua kata-kata yang ingin kuutarakan lenyap bersama linangan air mata yang tak sanggup lagi ku bendung.
Kamu diam, tenang seperti biasanya. Tapi aku mengenalmu lebih dari siapapun, aku tau di balik diammu itu ada banyak penjelasan yang ingin kau ucap. Sama sepertiku, aku tahu kamu tidak menginginkan ini semua. Tapi aku tidak pernah paham, kenapa kamu menerima dengan pasrah semua ini. Kenapa kamu tidak mau berjuang sedikit lebih banyak untukku, untuk kita.
"Kita sudah sejauh ini, kita sudah tahu resikonya dari awal. Tetapi kenapa kamu memutuskan berhenti? Kenapa aku harus dipaksa menerima sesuatu yang tidak bisa aku lakukan. Kenapa? Kenapa bang?" sejujurnya aku lelah. Dan kamu tetap bertahan dengan kediamanmu.
Sebagai seorang perempuan, dalam hal mencintai tentu saja aku rapuh. Menangis, tentu saja. Air mata sudah beranak sungai dari tadi. Disaat itulah aku melihat kau menatapku kembali dan di matamu aku melihat luka.
Ya, kau nyatanya juga terluka. Dan itu cukup menjelaskan semuanya. Kita sama-sama terluka, tetapi dari matamu lah aku juga akhirnya paham. Semua sudah berakhir, takkan ada lagi cerita.
Tak terhitung waktu kita telah berpisah. Hanya gara-gara persoalan budaya dua keluarga kita tak lagi bisa bersama. Hanya gara-gara dua tradisi cinta kita di bungkam paksa. Dan aku belum bisa menerima semua fakta menyakitkan ini.
Nun jauh ribuan kilometer di ujung kota sana ku dengar kau sudah bahagia. Meski tak terima karena bukan karena aku kamu tersenyum kembali, tetapi ku akui aku bahagia melihat senyum tulusmu telah terbit lagi.
Aku disini belum bisa menyembuhkan luka. Hatiku masih penuh oleh semua kenangan yang pernah kita ukir bersama. Dalam rintik hujan, gelap malam, jingganya senja dan kilau pelangi selepas hujan. Semua kita punya cerita disana.
Namun sakit bukan berarti kalah. Aku sudah baik-baik saja meski hatiku tak seutuh dulu lagi. Aku sudah hidup lebih normal dari yang kamu bayangkan, Itu pun jika kamu sempat membayangkan.
Aku tau akhirnya makna kata-kata yang kau ungkapkan waktu itu. Sad ending bukan akhir tapi awal langkah yang baru. Aku menemukan ceritaku yang baru meski terkadang bayanganmu datang menghantui. Tak ada lagi air mata saat itu datang, hanya sebuah senyuman. Senyuman agar kau akhirnya tau aku juga bisa punya kehidupanku sendiri. Tak perlu lukanya sembuh, tapi aku punya penawar saat luka itu datang. Tanpa menuntut untuk sembuh, tapi menuntunku berdamai dengan rasa sakit. Kamu, semoga kau juga lebih bahagia dari yang ku tau saat ini. Dan kita tetap sama-sama bahagia meski kebahagiaan kita tak lagi sama. Semesta, aku bahagia!
Aku menemukan ceritaku yang baru meski terkadang bayanganmu datang menghantui. Tak ada lagi air mata saat itu datang, hanya sebuah senyuman. Senyuman agar kau akhirnya tau aku juga bisa punya kehidupanku sendiri. Tak perlu lukanya sembuh, tapi aku punya penawar saat luka itu datang. Tanpa menuntut untuk sembuh, tapi menuntunku berdamai dengan rasa sakit.
"yuk, kita sudah di tunggu," sebuah tangan menggenggam jemari ku. Menarikku keluar dari semua lamunan, membawa aku pada sebuah cerita yang belum bisa ku tebak endingnya. Dan aku tertarik tantangannya.
Best Regards
NH
Kalau tak sejalan, lebih bak pilih jalan lain. Biar ga papasan heheheh
Hahha, bisa di coba 😂 😂
@resteemator is a new bot casting votes for its followers. Follow @resteemator and vote this comment to increase your chance to be voted in the future!
👍