PANGLIMA AMAN JERANG
panglima Aman njerang
Pasukan Belanda mengintensifkan sasaran ke bagian pedalaman Aceh (Tanah Gayo), karena daerah tersebut dijadikan tameng tempat berlindungnya para pejuang-pejuang Aceh yang terus bergerilya. Tanah Gayo merupakan wilayah yang paling akhir dimasuki Pasukan Belanda selama menjajah di nusantara ini.
Sejarah mencatat, bahwa pasukan Belanda telah 2 kali melakukan serangan secara besar–besaran ke Tanah Gayo. Pertama; Dalam tahun 1902, pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Coliju menyerang Tanah Gayo melalui kawasan Isaq tapi hanya sampai wilayah dekat Burni Intem–Intem. Serangan ini mengalami kegagalan karena perlawanan yang sengit dan sulitnya medan yang dilalui. Kedua; Pada tanggal 08 Februari 1904 di bawah pimpinan Van Daalen dengan menggunakan 3 buah kapal berkekuatan 10 brigade morses dengan 12 perwira terbaik.
Sebelum melakukan penyerangan ke tanah Gayo, Penguasa Tertinggi Colonial Belanda di Aceh (Gubenur Militer Belanda) Letnan Jenderal JB Van Heutsz membentuk Pasukan Marsose (Het Korps Marechaussee) yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Van Daalen. Pasukan khusus ini dibentuk untuk menguasai daerah pedalaman Aceh (Tanah Gayo).
Keberhasilan serangan pasukan Belanda yang kedua ini adalah dengan berbekal laporan seorang Antropolog berkebangsaan Belanda yaitu C Snock Hurgronje yang berjudul Het Gayoland En Zijne Bewoners (Negeri Gayo dan Penduduknya).
Tragedi yang terjadi pada tahun 1904, saat Letnan Colonel GCE Van Derlan menggempur Tanah Gayo, yang mengakibatkan 2.500 orang Gayo tewas, merupakan fakta tertulis dengan tinta emas perjuangan Rakyat Gayo.
Di antara tokoh–tokoh perjuangan yang pernah terlibat pertempuran dengan pasukan Belanda di luar maupun di Dataran Tinggi Tanah Gayo sendiri, sebelum kemerdekaan, antara lain Tengku Tapa (Mustafa) yang berjuangan di Aceh Timur dan Pase antara tahun 1893 sampai 1900.
Inen Mayak Tri (sebutan untuk pengantin baru di Tanah Gayo) yang merupakan srikandi Tanah Gayo (setara dengan kegigihan Tjut Nyak Dhien), tewas ditembak Belanda di bawah pimpinan Van Heutsz, pada hari Jumat bulan November tahun 1899, di sebuah gubuk di hutan Lukup. Beliau angkat senjata setelah suaminya gugur dalam perlawanan menentang kekuasaan Belanda.
Pang Amin atau lebih dikenal dengan sebutan Panglima Perang Amin. Beliau ini berasal dari Belah Gele. Pang Amin menghimpun dan melatih dengan gigih rakyat Gayo untuk menentang penjajahan Kolonialis Belanda.
Aman Njerang, pejuang gagah berani yang ± 20 tahun mengembara di belantara hutan Tanah Gayo. Beliau syahid 3 Oktober 1922, ketika bertempur dengan Marsose di kawasan pegunungan Van Daelen, wilayah Geumpang perbatasan Aceh Tengah dengan Aceh Barat. Pedangnya kemudian dibawa Letnan Jordans ke Belanda. Akhirnya pedang yang telah berumur ± 120 tahun (setelah 82 tahun berada di Belanda) pada hari Jumat, 4 Maret 2003 dikembalikan ke Aceh, yang sekarang pedang tersebut tersimpan di museum Aceh.