Kelenteng Untuk Kuli Tionghoa di Sumatera Utara, 1900-an

in #sejarah2 years ago

190373.jpg
Foto: Carl Josef Kleingrothe/National Gallery of Australia

Sejak ditemukannya kapal uap dan dibukanya Terusan Suez, yang memotong daratan sehingga menghubungkan Laut Mediterania di Eropa dengan Laut Merah di Asia, jarak antara kedua benua semakin dekat. Teknologi telekomunikasi yang berkembang dengan ditemukannya telegraf dan telepon juga makin mempererat hubungan keduanya.

Modal swasta Eropa semakin berani berinvestasi di benua Asia dan mengeksploitasi alamnya yang kaya. Begitu pula dengan perusahaan-perusahaan Belanda yang semakin banyak berinvestasi di Hindia Belanda, termasuk di pertambangan dan perkebunan. Komoditas hasil pertambangan dan perkebunan Hindia Belanda menjadi andalan untuk diekspor ke pasar Eropa.

Salah satu daerah yang menjadi tujuan investasi tersebut adalah Sumatera Utara. Kuli-kuli kontrak Tionghoa didatangkan dari Tiongkok untuk bekerja di pertambangan dan perkebunan di Sumatera Utara. Alasannya adalah kuli Tionghoa mau diupah murah dan kerjanya bagus. Ketika kuli Tionghoa makin mahal karena pembatasan pengiriman kuli, perusahaan-perusahaan Belanda itu beralih ke kuli Jawa yang juga pekerja keras.

Akibatnya, akulturasi kebudayaan pun terjadi. Kuli-kuli Tionghoa dan Jawa beranak-pinak di Sumatera dan hidup berdampingan dengan warga lokal. Foto di atas memperlihatkan salah satu bukti akulturasi kebudayaan Tionghoa di Sumatera Utara, yaitu sebuah kelenteng tempat orang-orang Tionghoa beribadah, dengan arsitektur khas Tiongkok.

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.13
JST 0.030
BTC 64689.90
ETH 3450.92
USDT 1.00
SBD 2.50