REVIEW ACEHNOLOGI VOLUME II BAB 18 TENTANG "ANTROPOLOGI ACEH"
Halo sahabat steemit, pada kesempatan kali ini saya masih akan membahas tentang buku Acehnologi. Yaitu di bab 18 tentang “Antropologi Aceh”. Di awal bab sudah membahas tentang perbedaan antara sarjana lokal dan sarjana internasional, yang dimana sarjana lokal selalu di kecilkan karna tidak memiliki kualitas akademik. Sarjana lokal juga sering menjadi bahan tertawan akibat dari ketidakmampuan para sarjana dlm mengumpulkan karya yg dapat diterima oleh sarjana internasional.
“Sarjana internasional” datang ke Aceh mereka pasti akan menghubungi “sarjana lokal” baik sebagai supir, penerjemah. “sarjana lokal” dengan bangga bergaul dengan org kulit putih berharap ingin lanjut kuliah di luar negri dan berharap adanya uang masuk atas apa yg dia bantu atau kerjakan, khususnya yg tidak punya pekerjaan tetap di Aceh. Sarjana internasional pun sudah merencanakan pertemuan dengan informan yg pastinya orang orang yg berpengaruh di Aceh. Kebanyakan tamu yg datang ke Aceh akan menanyakan pertanyaan yg sama kepada kita masyarakat Aceh, pertanyaan nya tidak lain adalah seputar pemberlakuan syariat islam di Aceh. Seperti pertanyaan tentang “mengapa Aceh memberikan sanksi hukum cambuk”. Ada juga beberapa peneliti luar yg komplain karena data mereka selalu tidak cukup ketika berada di Aceh pasal nya ada karena data yg bersifat “membahayakan” citra Aceh di mata internasional. Kebanyakan dr mereka juga banyak mengungkit “apa yang salah dari Aceh”. Bukan bagaimana menjelaskan secara komprehensif. Beberapa peneliti bahkan tidak tau bagaimana menghadapi orang Aceh di daerah perkampungan, imajinasi yg terbayang dr mereka adalah orng Aceh seperti pada masa rehab rekon pasca tsunami, mereka hanya tau nama Aceh saja tidak dengan bagaimana budaya Aceh itu sendiri, “they only judge us by our cover”.
Pasca tsunami kedatangan warga asing ke Aceh sangat meningkat, sejauh ini warga asing bebas berkeliaran di Aceh. Ada juga yg mengangkut hasil bumi keluar negri tanpa sepengetahuan pemerintah setempat. Aceh memang di desain oleh pemerintah sebagai daerah tujuan wisata. Namu, wisata ke Aceh tampaknya bukanlah menghabiskan uang, tetapi sedapat ,mungkin menghasilkan uang. Ada juga sebagian cafe, restaurant, hotel bukan milik org Aceh itu sendiri melainkan milik imigran yg sudah berimigrasi ke Aceh bahkan membawa keluarganya dan pulang pergi ke negaranya untuk merekomendasikan bisnis yg mereka bangun. Di sabang, singkil bahkan simelue sasaran warga asing untuk membangun bisnis wisata dan menggiurkan si pemiliki lahan awal dengan uang yg lebih, kebanyakan warga asing mengambil pelajaran apapun yg terjadi bisa di selesaikan dengan uang hal itulah yg membuat Aceh terlihat sangat buruk di mata internasional. Hal yg sama bahkan juga terjadi di simeulue, orang asing mencerirakan tentang terkadang mereka tidak perlu keluar indonesia untuk memperpanjagkan visa mereka. Karena mereka dapat minta bantu oleh kawasan mereka untuk memperpanjangkan di Sumatra utara. sampai sini aja review saya tentang antropologi aceh, ditunggu bab selanjut nya ;))