Islamic Press and Press Freedom | Pers Islami dan Kebebasan Pers |

in #realityhubs5 years ago



By @ayijufridar

Negativity has become part of the character of our society, including in the field of journalism in Indonesia. The exclusive authority granted by Law Number 11/2006 concerning the Government of Aceh, makes the press also want to be displayed differently from other regions in Indonesia. As if something was wrong with the face of the Aceh press all this time.

The discourse on the Islamic qanun and broadcasting is indeed like making an issue of something that is still in the clouds. A number of senior journalists in Banda Aceh claimed they did not know what the Islamic press was like because of the difficulty in obtaining the draft qanun.

Even in jest, a journalist said later journalists in Aceh had to wear gloves in every coverage and ride camels as vehicles. If it is violated then journalists will be flogged for violating qanun or local regulations.

From the aspect of formal legality, Article 153 of Law Number 11/2006 concerning the Government of Aceh does indeed provide space for the enactment of the Islamic qanun and broadcasting. The spirit contained in it is of course the application of Islamic values in the world of journalism. This spirit, of course, should be supported by all parties without having to forget the spirit of pluralism in life in Aceh. However, the regulation of the Islamic press still feels as a coercion that only concerned with the skin.

The attitude of rejection of the Islamic press was immediately demonstrated by a number of journalists in Banda Aceh, as it was raised in several media. They felt that Law Number 40/1999 on the Press was sufficient to regulate the work of journalists. Although Law No. 40 does not regulate in detail, there is still a Journalistic Code of Ethics that complements it in regulating press workers to be Islamic even though they do not call it that.

Islamic Values

If you want to be more careful in examining article by article journalistic ethics, then you will see how complete the behavior of journalists is arranged. Article 4 of the KEJ regulates that Indonesian journalists do not make false, slanderous, sadistic and obscene news. Specifically for the obscene, the interpretation is an erotic depiction of behavior with photos, images, sounds, graphics, or writing solely to arouse lust.

This is just one article. Journalism principles that apply universally, such as balance, honesty, accuracy, education, are also part of Islamic values. The other ten articles, if properly obeyed by journalists in Aceh, will produce Islamic journalistic products. So, Islam is like what is intended in the qanun later.

From a number of Islamic Sharia qanuns that have been enacted in Aceh, many are still artificial. Qanun is still used as a tool to regulate small communities and tends to be discriminatory. This was proven by a survey conducted by the Keumala Lhokseumawe Foundation in a number of districts / cities in Aceh. This is also a concern for a number of journalists in Aceh. The Islamic press Qanun will not be far from skin problems, it is not sustainable so that the hope of strengthening the function of the press watchdog has not been fulfilled.

Not artificial

If only regulating artificial problems such as only broadcasting call to prayer at all times for radio and television or things like that, really the qanun is no longer needed. Not only the media in Aceh, even in Jakarta this was done. In fact, all TV stations in Jakarta interrupt all programs for the Maghrib azan. So, there is no need to waste money, time, thoughts, and energy to produce a qanun which has been practically implemented by the press.

If it only regulates skin problems, it is only natural that there are rejections from journalists in Aceh. There is concern that the qanun has actually castrated the function of the press, curbing freedom of expression. In addition, the qanun will later be feared to be a beating weapon for the critical press. The Islamic phrase is only used as a protective shield of power.

For whatever reason, the qanun is included in the priority qanun that must be discussed. Is it because the existing journalistic products are no longer Islamic, or are the people involved in them behaving un-Islamic?

The enactment of this qanun, in any form, will have an impact on the development of the national press. Put the Islamic press in force in Aceh because in this area Islamic sharia applies. However, this provides an opportunity for other regions to pass regional regulations that are also exclusive. In a strong Christian province, regional regulations on the Christian press will be imposed, as will other regions such as Bali, which has strong Hinduism.

Even if it cannot be prevented, journalists in Aceh must be more involved in the drafting of the qanun. In addition, there is no harm in involving senior journalists from outside Aceh who have the capacity. Do not let regulations on journalism be made by those who are against the freedom of the press.[]






Pers Islami dan Kebebasan Pers

Oleh @ayijufridar

KELATAHAN tampaknya sudah menjadi bagian dari karakter masyarakat kita, termasuk dalam bidang jurnalistik. Kewenangan eksklusif yang diberikan Undang-Undang Nomor 11/2006 Tentang Pemerintahan Aceh, membuat pers juga ingin ditampilkan berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Seolah ada yang keliru dengan wajah pers Aceh selama ini.

Diskursus tentang qanun pers dan penyiaran Islami memang seperti mempersoalkan sesuatu yang masih berada di awang-awang. Sejumlah jurnalis senior di Banda Aceh, mengaku tidak tahu seperti apa pers yang Islami tersebut karena sulitnya memperoleh rancangan qanun tersebut.

Bahkan secara berseloroh, seorang jurnalis mengatakan nanti wartawan di Aceh harus mengenakan sarung dalam setiap peliputan dan naik menunggangi unta sebagai kendaraan. Kalau itu dilanggar maka jurnalis akan dicambuk karena melanggar qanun atau peraturan daerah.

Dari aspek legalitas formal, Pasal 153 Undang-Undang Nomor 11/2006 Tentang Pemerintahan Aceh memang memberikan ruang bagi pemberlakuan qanun pers dan penyiaran Islami. Semangat yang dikandung di dalamnya tentu saja penerapan nilai-nilai Islam dalam dunia jurnalistik.

Semangat ini tentu saja patut didukung semua pihak tanpa harus melupakan semangat pluralisme dalam berkehidupan di Aceh. Namun, peraturan tentang pers Islami itu tetap terasa sebagai sebuah pemaksaan yang hanya mementingkan kulit.

Sikap penolakan terhadap pers Islami itu langsung diperlihatkan sejumlah jurnalis di Banda Aceh, seperti yang mencuat di beberapa media. Mereka menilai Undang-Undang Nomor 40/1999 Tentang Pers, sudah cukup untuk mengatur cara kerja jurnalis. Kendati UU No 40 tidak mengatur secara detail, tetapi masih ada Kode Etik Jurnalistik melengkapinya dalam mengatur pekerja pers agar bersikap Islami kendati tidak menyebutnya demikian.

Nilai Islami

Kalau mau lebih teliti mengulik Kode Etik Jurnalistik pasal per pasal, maka akan terlihat betapa lengkapnya perilaku wartawan diatur. Pasal 4 dari KEJ itu mengatur agar wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Khusus untuk cabul, penafsirannya adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis, atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

Ini baru salah satu pasal. Prinsip jurnalistik yang berlaku universal pun seperti keberimbangan, jujur, akurat, mendidik, juga bagian dari nilai-nilai Islami. Sepuluh pasal lainnya pun, jika dipatuhi dengan baik oleh jurnalis di Aceh, maka mereka akan menghasilkan produk jurnalistik yang Islami. Jadi, Islami seperti apa yang dimaksudkan dalam qanun itu nanti.

Dari sejumlah qanun syariat Islam yang telah diberlakukan di Aceh, banyak yang masih bersifat artificial. Qanun masih dijadikan alat untuk mengatur masyarakat kecil dan cenderung diskriminatif. Hal itu dibuktikan dengan survey yang dilakukan Yayasan Keumala Lhokseumawe di sejumlah kabupaten/kota di Aceh.

Hal ini juga yang menjadi kekhawatiran sejumlah jurnalis di Aceh. Qanun pers Islami itu nantinya tidak jauh-jauh dari persoalan kulit, tidak sustansial sehingga harapan menguatnya fungsi watchdog pers belum terpenuhi.

Bukan artifisial

Kalau hanya mengatur masalah artificial seperti hanya menyiarkan azan setiap waktu bagi radio dan televisi atau hal-hal semacam itu, sungguh qanun itu tidak diperlukan lagi. Tidak hanya media di Aceh, di Jakarta sekali pun hal itu dilakukan. Bahkan semua stasiun TV di Jakarta menginterupsikan seluruh program untuk azan Maghrib. Jadi, tidak perlu membuang biaya, waktu, pikiran, dan tenaga untuk menghasilkan sebuah qanun yang seara praktis sudah dilaksanakan kalangan pers.

Kalau hanya mengatur masalah-masalah kulit, wajar saja ada penolakan dari kalangan jurnalis di Aceh. Ada kekhawatiran qanun tersebut malah mengebiri fungsi pers, mengekang kebebasan berekspresi. Selain itu, qanun tersebut nanti dikhawatirkan menjadi senjata pemukul bagi pers yang kritis. Frasa Islami hanya digunakan sebagai tameng pelindung kekuasaan.

Entah atas pertimbangan apa, qanun tersebut masuk ke dalam qanun prioritas yang harus dibahas. Apakah karena produk jurnalistik yang ada saat ini sudah tidak Islami lagi, atau orang-orang yang terlibat di dalamnya yang berperilaku tidak Islami?

Pemberlakuan qanun ini nanti, bagaimana pun bentuknya, akan memberikan dampak bagi pengembangan pers nasional. Taruhlah pers Islami diberlakukan di Aceh karena di daerah ini berlaku syariat Islam. Namun, hal ini memberi peluang bagi daerah lain untuk mengesahkan peraturan daerah yang juga bersifat eksklusif. Di provinsi yang kuat Kristen, akan memberlakukan peraturan daerah tentang pers yang Kristiani, demikian juga daerah lain seperti Bali yang kuat Hindu-nya.

Kalau pun tidak bisa dicegah, kalangan jurnalis di Aceh harus lebih banyak terlibat dalam penyusunan qanun tersebut. Selain itu, tidak ada salahnya melibatkan wartawan-wartawan senior dari luar Aceh yang punya kapasitas. Jangan sampai peraturan tentang jurnalistik malah dibuat oleh kalangan yang antiterhadap kebebasan pers. []




Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif



Posted on RealityHubs - Rewarding Reviewers

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63330.55
ETH 2645.93
USDT 1.00
SBD 2.82