Kasih sayang Allah mengatasi semua sifat-Nya
‘Rahmatii wasi’at kulla syai-in’
Sifat Rahmat Allah Ta’ala Menguasai Semua Sifat-Nya
Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul
Masih al-Khaamis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullaahu Ta’ala
binashrihil ‘aziiz) pada 08 Juni 2018 di Masjid Baitul Futuh, Morden,
UK (Britania Raya)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ
أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ *
الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ
نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ[،
آمين.
وَاكْتُبْ لَنَا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ
إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ ۚ قَالَ عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاءُ ۖ
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ۚ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ
يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِنَا
يُؤْمِنُونَ
“Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat;
sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman,
‘Siksa-Ku akan Ku-timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan
rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku
untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.’” (Al A’raf: 157)
Merupakan ihsan (kebaikan) Allah Ta’ala yang menakjubkan atas
hamba-hamba-Nya, sebagaimana tampak jelas dari ayat ini, Allah Ta’ala berfirman, “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” Arti rahmat adalah lembut, mengasihi dan menyayangi. Artinya, perlakuan Allah Ta’ala yang lembut dan memaafkan kelemahan hamba-Nya yang tidak ada batasnya.
Perlakuan kasih sayang Allah begitu luasnya sehingga meliputi segala
sesuatu. Di dalam rahmat-Nya termasuk Rahmaniyyat dan Rahimiyyat. Di bawah sifat rahmaniyyat-Nya, Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu
yang tak terhingga jumlahnya bagi manusia di dunia ini. Sedangkan
sifat Rahimiyyat Allah Ta’ala lahirkan bagi orang-orang yang melaksanakan kewajibannya, melaksanakan perintah-Nya dan tunduk memohon ke hadirat Allah Ta’ala.
Di ayat ini Allah Ta’ala berfirman, “Bukanlah tujuan-Ku menurunkan
azab kepada para hamba-Ku”, sebagian orang telah salah faham
menganggap mengapa manusia diciptakan, jika tujuannya untuk diazab atau dihukum.
Allah Ta’ala berfirman, “Tujuan-Ku bukanlah memberi adzab. Namun jika layak untuk mendapatkan azab-Ku, yakni orang yang sudah melampaui batas dalam perbuatan dosa dan azabku ini sifatnya sementara, tujuannya untuk perbaikan dan menyadarkan. Sehingga akan tiba waktunya
ketika penghuni neraka mendapatkan bagian dari luasnya rahmat-Ku dan azab atas mereka pun akan berakhir. Hukuman neraka pun didapatkan karena perbuatan dosanya dan ini menjadi sarana untuk perbaikannya. Jika diperhatikan, hukuman pun merupakan perbaikan, masa hukuman pun dari satu sisi merupakan rahmat.”
Namun Allah Ta’ala merupakan Maaliki Yaumiddiin (Pemilik hari
pembalasan) juga. Allah Ta’ala dapat membebaskan para pendosa atau
mereka yang tampak oleh kita itu pendosa dari azab setelah membalutnya dalam selimut rahmat dan pengampunan-Nya. Namun, Dia mengatakan, “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu” guna memotivasi kita untuk melangkah di atas jalan-jalan kebaikan.
Artinya, Allah Ta’ala berfirman, “Pasti Aku akan curahkan rahmat-Ku atas mereka yang menempuh ketakwaan, yang membayar zakat dan meyakini tanda-tanda-Ku. Akan Aku selimuti dengan rahmat-Ku terhadap orang-orang yang menempuh jalan takwa, yang membayar zakat dan melaksanakan perintah-perintah-Ku
dengan sepenuh kewajiban sesuai haknya sembari mengamalkannya dengan keyakinan dan mengimani sepenuhnya tanda-tanda-Ku.”
Dalam tempat lain Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ
قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ Inna rahmataLlahi qoribun minal muhsiniin
- “Sesungguhnya, rahmat Allah dekat kepada para Muhsin (yang berbuat
kebaikan).” [Al-Araf, 7:57]. Muhsin adalah orang yang melaksanakan
tugasnya dengan memenuhi segenap persyaratannya. Walhasil, orang yang memenuhi tuntutan takwa, melaksanakan perintah-perintah Allah Ta’ala, meyakini sepenuhnya tanda-tanda-Nya, tunduk kepada-Nya, maka rahmat
Allah Ta’ala pasti tercurah atasnya.
Jadi, seorang mukmin (beriman)
harus berusaha keras untuk mengamalkan hukum-hukum Allah Ta’ala, melangkah di atas jalan takwa dan berusaha untuk sempurna dalam keimanan. Dengan melakukan hal itu, seorang manusia baru layak disebut sebagai beriman. Maka dari itu, ia harus berusaha untuk menarik manfaat dari pernyataan Allah ta’ala bahwa rahmat-Nya dekat kepada
orang yang mengamalkan perintah-perintah-Nya dan melaksanakan
kewajiban-kewajiban terhadap-Nya.
Allah ta’ala telah menetapkan atas diri-Nya sendiri, “Jika kalian
melakukan hal tersebut maka keluasan rahmat-Ku akan tercurah atas kalian.”
Betapa pengasih dan mulianya Tuhan kita! Kita semua adalah hamba-Nya. Bagaimana mungkin kita sebagai hamba dapat menyebut-nyebut (menuntut) hak kita atas Tuhan, Sang Pemilik. Namun, Sang Pemilik langit dan bumi
mengatakan, “Jika kalian berjalan di atas jalan takwa, meyakini
tanda-tanda-Ku sembari mengamalkan perintah-perintah-Ku, maka pasti kalian akan menjadi orang yang berhak mendapatkan rahmat-Ku.”
Dalam hal ini pertama Allah Ta’ala menjelaskan ketakwaan. Sebenarnya jika memahami ketakwaan dengan sebaik-baiknya maka kebaikan-kebaikan lainnya dan kesempurnaan dalam iman akan tercakup ke dalamnya.
Berkenaan dengan hal ini Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Segenap keelokan ruhani manusia terletak pada melangkahnya mereka di atas jalan-jalan takwa yang sehalus-halusnya. Jalan-jalan takwa yang halus merupakan jejak yang halus dan gambaran yang elok dari kejuitaan ruhani. Jelaslah bahwa jalan menuju keelokan ruhani terdapat pada sedapat mungkin menjaga amanat-amanat Tuhan dan memelihara janji-janji keimanan.” (yakni melaksanakan dengan sebaik-baiknya)
“...dan seberapa besar potensi dan anggota tubuh yang dimiliki dari
ujung rambut sampai kaki yakni mata, telinga, tangan, kaki dan anggota badan lainnya, begitu juga secara batin yakni kalbu, potensi lainnya dan akhlak, sebisa mungkin untuk menggunakannya sesuai dengan tempat ketika diperlukan dan menggunakannya sesuai dengan keadaan”, (menggunakannya dengan sebaik-baiknya yakni melaksanakannya sesuai hukum-hukum yang Allah perintahkan dan jelaskan kepada kita, melaksanakan haknya),
“ dan menahan diri dari apa-apa yang Allah Ta’ala larang dan berhati-hati dari serangannya yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari pihak kekuatan dan anggota-anggota tubuh ini serta memperhatikan pelaksanaan kewajiban-kewajiban terhadap sesama.” (penyalahgunaan
anggota tubuh dan potensi yang dijadikan sarana oleh setan untuk
menyerang secara diam-diam, untuk itu adalah tugas manusia untuk
bersikap waspada dan menahan diri dari itu, jika demikian adanya baru
dia akan dapat melangkah diatas jalan takwa secara benar, baru dia
akan dapat melaksanakan hukum-hukum Tuhan dengan baik.)
“Di dalam Al-Qur’an Karim, Allah Ta’ala menyebut takwa dengan sebutan pakaian sebagaimana dikatakan dalam kata Libaasut Taqwa (pakaian takwa). Hal ini mengisyarahkan bahwa keindahan dan perhiasan ruhani terlahir dari ketakwaan. Takwa maksudnya manusia sebisa mungkin menjaga amanat-amanat Tuhan dan janji keimanan, begitu juga halnya
dengan amanat makhluk dan janjinya. Yakni sebisa mungkin sisi yang paling halus pun diamalkan dengan seberapa pun kekuatan yang
dianugerahkan padanya.”[1] (Seberapapun besarnya kekuatan dan kemampuan manusia amalkanlah hal-hal yang sehalus-halusnya dan dawamkanlah.)
Walhasil, jika menusia meraih standar ini, rahmat Allah Ta’ala menjadi wajib sebagai hak hambaNya. Yakni Allah Ta’ala sendiri yang mewajibkan atas diri-Nya untuk mencurahkannya. Seperti yang telah saya katakan, bukanlah kedudukan seorang hamba untuk dapat mengambil sesuatu dari Allah Ta’ala sebagai haknya.
Kita tengah melalui minggu terakhir di bulan Ramadhan yang mengenainya Rasulullah saw bersabda, إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ
أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتْ
الشَّيَاطِينُ “Ketika tiba bulan Ramadhan, pintu-pintu surga akan
dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan akan dibelenggu.”[2]
Orang beriman lah yang dapat mengambil manfaat dari ini. Yang dapat mengambil faidah adalah orang yang beriman dengan benar dan mengamalkan perintah-perintah Allah Ta’ala. Tipu daya setan pada
hari-hari ini pun tidak pernah berhenti. Di dunia ini begitu banyaknya hal yang sia-sia, ketiadaan rasa malu sudah menjadi rutinitas keseharian, dan itu tidak berhenti sekalipun pada bulan Ramadhan.
Jadi, kabar suka ini diperuntukkan bagi orang-orang beriman dan bagi
orang-orang yang bertakwa, bagi orang-orang yang mengambil bagian dari rahmat Tuhan yakni Allah Ta’ala telah memperluas lagi lebih dari
sebelumnya bagi kalian. Untuk itu manfaatkanlah ini dan berusahalah
untuk melaksanakan hak-hak Allah Ta’ala, berusahalah untuk mengamalkan segala hukum-hukum Nya.
Dalam menekankan kepada hal ini Hadhrat Rasulullah saw bersabda: مَنْ
قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ “Orang yang bangun pada malam hari dengan tuntutan keimanan dan niat mendapatkan ganjaran, maka dosa-dosanya yang lalu akan diampuni.”[3]
Ini adalah satu lagi pemandangan luasnya rahmat Allah. Dia berfirman,
“Jika kalian mengupayakan berbuat amalan, maka Aku akan berikan kepada kalian berlipat-lipat banyaknya.”
Lihatlah! Bagaimana penzahiran rahmat Allah, rahmaniyyat dan
rahimiyyat-Nya. Jadi, beruntunglah orang-orang yang mengambil manfaat dari hari-hari ini. Merupakan termasuk karunia Allah juga yang pada hari-hari terakhir Ramadhan ini menekankan kepada kita untuk mencari lailatul qadr supaya kita menyaksikan pemandangan pengabulan doa,
lebih dari sebelumnya. Ini pun bukanlah hak kita, melainkan merupakan anugerah dariNya untuk menarik hambaNya mendekat kepadaNya dan ini pun merupakan keluasan rahmatNya.
Terdapat dalam sebuah hadits bahwa sepuluh hari pertama Ramadhan merupakan rahmat, sepuluh hari pertengahan merupakan maghfirah (ampunan) dan sepuluh hari terakhir merupakan najat (keselamatan) dari api Neraka. [4]
Jika pada bulan Ramadhan mereka yang berpuasa mengamalkan hukum-hukum Allah Ta’ala lebih dari sebelumnya, meningkatkan ibadahnya, meningkat
dalam ketakwaan, berarti manusia telah masuk ke dalam tabir rahmat
Allah Ta’ala lebih dari sebelumnya, karena Allah Ta’ala berfirman Jika
seorang hamba berpuasa demi Ku dan pada hari hari ini meninggalkan
sementara perbuatan yang diperbolehkan demi Aku, maka Aku sendiri lah yang akan menjadi ganjaran bagi orang yang berpuasa seperti itu.
Jika Allah ta’ala sendiri telah menjadi ganjarannya, berarti sarana
ampunan telah didapat dan jika itu telah diraih yakni Allah ta’ala
menerima ampunan dan taubatnya, berarti dia telah selamat dari api
yakni api dunia dan di akhirat nanti.
Namun syaratnya dia harus berpuasa secara tulus karena Allah dan juga
beramal saleh sehingga amalan ini menjadi bagian dari kehidupannya
yang abadi dan menjadi sarana untuk masuk kedalam rahmat Allah untuk selama-lamanya. Sebab, rahmat Allah Ta’ala tidaklah hanya
diperuntukkan untuk sepuluh hari pertama Ramadhan saja, bahkan,
berlanjut memasuki sepuluh hari yang kedua dan yang ketiga. Secara
terus-menerus menyertai manusia selama amalan manusia berada di atas jalan takwa, dan melakukannya disertai dengan kekuatan iman.
Demikian pula, pengampunan-Nya tidak hanya untuk sepuluh hari kedua, bahkan sampai akhir Ramadhan dan bahkan setelah itu pun akan terus menyertai manusia dan akan terus menyertai manusia selama dia hidup dan akan menjadi penyelamat manusia dari hukuman. Begitu pula, manusia tidak hanya akan selamat dari api pada sepuluh hari itu saja, melainkan sembari mengambil manfaat dari rahmat Tuhan, memohon ampunan
kepada-Nya bahkan setelah berlalu Ramadhan pun dia akan terus terjauh dari api.
Namun jika setelah Ramadhan, keduniawian kembali mendominasi diri kita, terjauh dari takwa, tidak menaruh perhatian pada hukum-hukumNya, lemah iman dan tidak memperdulikan tanda-tanda Tuhan, orang yang seperti itu diibaratkan telah membangun dinding kawat dan benteng pelindung, namun dia sendiri yang merusak benteng tersebut dan menghancurkannya. Walhasil, Ramadhan ini dijadikan sebagai sarana oleh Allah Ta’ala untuk ambil menarik rahmat-Nya dan untuk mengambil bagian
lebih dari sebelumnya dan juga sarana untuk meraih kedekatan dengan Tuhan. Rahmat Allah Ta’ala tidaklah terbatas hanya untuk beberapa hari saja, tidak juga ampunan-Nya dan tidak juga pengampunan untuk terhindar dari api neraka terbatas hanya untuk beberapa hari saja atau beberapa masa saja. Jadi, kita hendaknya terus senantiasa merenungkan.
Pada zaman ini Hadhrat Masih Mau’ud (as) telah membimbing setiap langkah kita bagaimana kita dapat meraih qurb Ilahi, apa hakikatnya, bagaimana kita dapat menjadi orang yang dapat menarik rahmat-Nya, bagaimana Allah Ta’ala memberikan sarana pada kita untuk mendapatkan curahan rahmat-Nya, bagaimana Allah ta’ala menganugerahkan nikmat yang
berlipat untuk sebuah amalan kita, bagaimana memberikan sarana
pengampunan untuk kita dan upaya apa yang harus kita lakukan untuk
mendapatkan pengampunan supaya rahmat-Nya dapat terus menyertai kita selama-lamanya.
Dalam hal ini saya akan menyampaikan beberapa kutipan sabda beliau dan
akan saya jelaskan. Dalam menjelaskan ayat yang saya tilawatkan tadi
beliau bersabda: “Allah ta’ala berfirman, ‘Aku turunkan azab kepada
siapa yang Ku-kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu dan Aku
akan curahkan rahmat-Ku kepada mereka yang menjauhi segala bentuk
syirik, kekufuran dan kejahatan (fahsya), orang yang membayar zakat
dan juga kepada mereka yang meyakini sepenuhnya tanda-tanda Kami.’”
Disini beliau menjelaskan taqwa dalam tiga kata yakni menjauhi syirik,
terhindar dari kekufuran dan menjauhi berbagai keburukan. Pada masa
ini, setiap saat terdapat sarana yang menggiring manusia kepada
keburukan, kesia-siaan dan perbuatan laghau apakah itu melalui TV,
internet ataupun media. Jadi acara apapun yang sia-sia yang terdapat
di dalamnya, menghindari perbuatan laghau tersebut akan dapat menjadi
sarana untuk menarik rahmat Tuhan. Pada hari hari Ramadhan ini kita
harus bangun cepat di malam hari untuk puasa dan ada kesibukan lainnya
juga, untuk itu mungkin juga banyak orang yang pada hari hari ini
tidak menonton program-program yang laghau tersebut atau tidak
terlibat dalam kelaghauan tersebut atau terhindar darinya.
Perlu bagi kita untuk terhindar dari hal-hal itu secara berkelanjutan.
Pada masa ini banyak sekali keluhan-keluhan perihal anak-anak muda
kita khususnya bahkan orang-orang dewasa juga yang terlibat didalam
perbuatan yang sia-sia itu, semua itu dapat mengotori fikiran dan
dapat merusak akhlak sehingga membuat kita semakin terjauh dari
keimanan. Setiap Ahmadi hendaknya menaruh perhatian dan berupaya keras
untuk ini dan harus menggunakan sarana sarana tersebut dengan sesuai
dan berhati-hati.
Dalam satu kesempatan Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Dari ayat
tersebut dapat diketahui bahwa rahmat sifatnya umum dan luas sedangkan
murka (ghadhab) merupakan sifat adil yang timbul setelah suatu perkara
khusus. Yakni sifat ini menciptakan haknya setelah penentangan atas
hukum Ilahi. Jadi, ketika Allah Ta’ala menghukum seseorang, itu karena
dia telah melampaui batas hukum-Nya dan sebagaimana telah dijelaskan
bahwa hukuman pun tujuannya untuk perbaikan dan pada akhirnya rahmat
Allah Ta’ala-lah yang unggul.”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda bahwa jika murka Ilahi turun pada
seseorang, itu disebabkan karena orang itu telah melampaui batas, dia
telah terkeluar dari hukum Allah Ta’ala. Meskipun Allah Ta’ala telah
melapangkan rahmat-Nya, namun tetap mereka bersikeras untuk memancing
murka Ilahi.
Lebih lanjut Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Dalam ancaman (wa’iid,
peringatan) sebenarnya tidak ada janji. Yang ada adalah, hanya karena
kesucian-Nya, Dia berkehendak untuk menghukum orang yang melakukan
pelanggaran (berdosa). Oleh karena itu, terkadang Dia juga memberitahu
mereka yang kepadanya Dia turunkan wahyu mengenai masalah ini. Namun,
ketika orang yang berdosa tersebut bertaubat, istighfar, tadharu dan
memenuhi hak tuntutan tersebut dengan ratapan tangis maka tekanan
rahmat Ilahi akan lebih unggul diatas tekanan murka dan akan membuat
murka itu menjadi tersembunyi dan terhalang didalamnya. Inilah yang
dimaksud oleh ayat: عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاء وَرَحْمَتِي
وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ “…Aku akan timpakan azab-Ku kepada siapa yang
Aku kehendaki, dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…” [Al-Araf,
7:157][5]
Lalu beliau bersabda, “Tidak pernah Allah Ta’ala menetapkan mengenai
diri-Nya bahwa Dia Maha Penghukum atas manusia. Melainkan, ‘kataba
‘ala nafsi-Hir rahmah.’ – Dia Menetapkan rahmat atas diri-Nya.
Rahmat-Nya mendahului murka-Nya. Adapun murka-Nya tertutupi oleh
tutupan yang banyak.”
Lalu beliau bersabda Taubat dan istighfar merupakan sarana untuk
menarik rahmat Tuhan. Bagaimana hakikat Istighfar, apa maknanya?
Dalam hal ini Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan: “Makna asli dan
hakiki istighfar adalah permohonan seseorang kepada Allah Ta’ala agar
kelemahan manusiawi orang itu tidak sampai tampak (muncul) dan harapan
semoga Allah Ta’ala berkenan membantu fitrat orang itu dengan
kekuatan-Nya dan memasukkannya kedalam lingkaran wilayah perlindungan
dan pertolongan-Nya.”
Apa manfaat Istighfar? Manusia itu lemah dan ia beristighfar. Artinya,
ia memohon jangan sampai kelemahan itu ditampakkan kepada orang lain.
Kelemahan dalam diri manusia yang membuatnya terpuruk. Dan semoga
Allah Ta’ala memberikan sandaran kepada fitrat manusia dengan
kekuatan-Nya lalu menyelamatkannya dari perbuatan dosa dan kesalahan.
Beliau bersabda, “Akar kata istighfar diambil dari mashdar "غفر"
ghafrun yang mengandung arti menutupi atau menyelimuti.Dengan demikian
pengertiannya ialah agar Allah Ta’ala dengan kekuatan-Nya berkenan
menutupi/menekan kelemahan alamiah/fitri المستغفِر al-mustaghfir (si
pemohon istighfar). Tetapi, pengertian yang tepat dan hakikinya adalah
permohonan agar Allah Ta’ala berkenan memelihara dan menyelamatkan si
pemohon dari kelemahan alamiah dirinya dan menguatkannya dengan
kekuatan-Nya, menganugerahinya pengetahuan dari khazanah-Nya dan
cahaya dari Nur-Nya.
Sebab, setelah menciptakan manusia, Allah Ta’ala tidak lalu
mengabaikan dan meninggalkannya. Melainkan, sebagaimana Dia itu
Pencipta manusia dan Pencipta segala fitrat internal dan eksternal
yang ada pada diri manusia, Dia juga menyokong manusia, artinya Dia
memelihara dan membantu segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya. Dia
"القيوم" ‘Al-Qayyum’ (Dzat yang Tegak Dengan Sendiri-Nya dan
menyokong ciptaan-Nya), yaitu Penyokong dan Pemelihara para
makhluk-Nya dengan dukungan-Nya yang tertentu. Karena itu perlu selalu
diingat oleh manusia, mengingat ia telah diciptakan sebagai akibat
Penciptaan dari Tuhan maka ia harus menjaga karakteristik dirinya dari
kerusakan melalui sarana sifat Qayyumiyyat Tuhan (Maha
Pemelihara).”[6]
Setelah menciptakan manusia, tidak lantas Allah Ta’ala
meninggalkannya, karena Dia adalah maha Qayyum. Tidak diragukan bahwa
Allah Ta’ala menciptakan manusia mengikuti hukum-hukum-Nya dan
kehendak-Nya. Atas izin-Nya pula sempurna penciptaan manusia. Namun,
sempurnanya penciptaan ini melalui upaya manusia dan sarana-sarana
manusiawi ciptaan Allah Ta’ala ciptakan mengikuti qanun Ilahi ini yang
Dia rancang untuk penciptaan.
Bersabda: “Natijah (hasil) yang tampak setelah upaya manusia dalam
penciptaan ialah menundukkan diri dalam sifat qayyumiyyat Allah Ta’ala
dalam rangka melaksanakan hukum-hukum Allah ta’ala. Untuk
mengamalkannya perlu adanya penzahiran sifat qayyumiyyat dari kalian.
Kalian harus berupaya untuk meraihnya dan untuk melaksanakan
hukum-hukum-Nya harus ada perhatian kepada doa dan istighfar supaya
Allah Ta’ala menggunakan sifat qayyumiyyatnya lalu menganugerahkan
kekuatan kepada manusia untuk dapat mengamalkan perintah-Nya.”
Beliau lebih lanjut bersabda: “Manusia diperintahkan untuk
beristighfar karena ini merupakan kebutuhan alami. Dalam Al Quran
diisyarahkan ke arah itu yakni Allaahu laa ilaaha illa huwal hayyul
qayyuum. Jadi, Tuhan itu Maha pencipta juga dan maha Qayyum. Ketika
menusia terlahir, tugas khaliqiyyat (penciptaannya) yang merupakan
sifat Tuhan telah terpenuhi, namun tugas qayyumiyyat adalah untuk
selama-lamanya. Ketika menusia terlahir, tugas khaliqiyyat
(penciptaannya) telah terpenuhi, namun tugas qayyumiyyat, selama
manusia masih hidup sejak saat itu terus menyertainya. Karena itu,
perlu untuk beristighfar selama-lamanya.” (Untuk meraih sifat
qayyumiyyat itu diperlukan untuk selalu beristighfar.)
Walhasil, terdapat satu limpahan keberkatan untuk setiap sifat Allah
Ta’ala.” (istighfar adalah untuk meraih keberkatan sifat qayyumiyyat.
Jika ingin meraih keberkatan dari sifat qayyumiyyat Allah Ta’ala, maka
beristighfarlah supaya potensi dan kemampuan dan kekuatan yang Allah
Ta’ala berikan kepada manusia, diberikan taufik Allah Ta’ala untuk
menggunakannya sesuai dengan kehendak-Nya.)
Beliau bersabda: “Dalam surat Al-Fatihah pada ayat iyyaaka na’budu wa
iyyaaka nasta’iin terdapat isyarat melanggengkan istighfar demi meraih
faidh qayyumiyyat yang artinya, ‘Hanya kepada Engkaulah kami beribadah
dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan qayyumiyyat dan
rabbubiyyat Engkau dan menyelamatkan kami dari ketergelinciran supaya
jangan sampai tampak kelemahan yang dapat membuat kami tidak dapat
beribadah.’”
Inilah point inti yang setiap saat harus kita perhatikan. Dengan hanya
mengatakan, “Allah Ta’ala mengatakan, ‘Rahmat-Ku meliputi segala
sesuatu, untuk itu lakukanlah apapun sesuka kita, setelah itu meminta
rahmat dan ampunan dari Allah Ta’ala’, pendapat seperti ini tidaklah
benar. Allah Ta’ala telah menetapkan wajib bagi-Nya untuk mencurahkan
rahmat bagi orang-orang yang melangkah kepada-Nya, melaksanakan
hukum-hukum-Nya, memohon ampunan dari-Nya.
Lebih membahas lagi topik istighfar, beliau (as) bersabda, “Sebagian
orang mengetahui bahwa sesuatu itu dosa, namun sebagian orang lagi
tidak menyadarinya.” (artinya, sebagian orang berbuat dosa tanpa
mengetahuinya itu dosa, tidak menyadarinya atau terjadi secara tidak
disengaja. Atau muncul perbuatan dosa darinya tanpa menyadarinya bahwa
dia telah melakukan dosa.) “Karena itulah, Allah telah memerintahkan
untuk selalu beristighfar (meminta pengampunan).”
“Seorang insan hendaknya terus berdoa meminta perlindungan Allah dari
segala kesalahan dan dosa, baik ia nyata ataupun tersembunyi, apakah
diketahui atau tidak diketahui, dan dari keburukan yang dilakukan oleh
tangan atau kaki atau lidah atau hidung atau telinga, atau kedua
matanya.” (Seberapa banyak anggota tubuh manusia, jangan sampai ada
suatu bagiannya yang melakukan dosa. Teruslah beristighfar.)
Pada hari-hari ini, kita harus berdoa dengan doa Adam as, رَبَّنَا
ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا
لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ‘Tuhan kami, kami telah menganiaya
diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni dan mengasihi
kami, pastilah kami akan merugi.’ (Surah al-A’raaf, 7:24) Doa ini
telah dikabulkan sejak Allah mengajarkannya. Janganlah hidup penuh
dengan kelalaian. Kita harus membaca doa ini dengan serius. Setiap
orang yang hidup tidak dengan kelalaian tidak akan menghadapi bencana
yang luar biasa yang di luar kekuatannya. Sebab, tidak ada bencana
yang datang tanpa persetujuan-Nya sebagaimana doa ini diajarkan kepada
saya melalui ilham, رَبِّ كلُّ شيء خادمُك، ربِّ فاحفظْني وانصرْني
وارحمني ‘Oh Tuhan hamba, segalanya berada dalam kendali Engkau.
Lindungilah hamba, wahai Tuhan hamba, tolonglah hamba dan kasihilah
hamba.’”[7]
Jadi, diperlukan adanya upaya, istighfar dan doa untuk masuk kedalam
perlindungan Allah Ta’ala, mendapatkan pertolongan-Nya, memperoleh
naungan-Nya dan untuk meraih manfaat dari kasih sayang-Nya.
Kita menggunakan dua kata, yaitu istighfar dan doa, menjelaskan
perihal perbedaan antara keduanya beliau bersabda: “Istighfar dan
taubat adalah dua hal. Karena suatu alasan, istighfar didahulukan
diatas taubat yakni istighfar mendapatkan keutamaan. Sebab, istighfar
merupakan istilah untuk meminta pertolongan dan kekuatan yang
diperoleh dari Allah, (untuk terhindar dari dosa-dosa) “Sedangkan
taubat adalah teguh diatas langkahnya. Termasuk sunnah (kebiasaan)
Allah bahwa jika manusia memohon pertolongan pada-Nya maka Dia
anugerahi orang itu kekuatan yang dapat memperteguh pendirian-Nya.”
(Artinya, taubat ialah doa untuk terhindar dari dosa lalu teguh di
dalamnya secara berkelanjutan atas istighfar yang telah dilakukan; dan
doa kepada Allah untuk menyelamatkannya dari dosa-dosa. Taubat ialah
permohonan doa seseorang kepada Allah Ta’ala agar Allah Ta’ala
mengaruniainya untuk tetap teguh dalam doa-doa meraih maghfirah
(beristighfar). Dengan taubat seolah manusia mengatakan: “Ya Tuhan!
Teguhkanlah hamba diatas doa mohon ampunan yang telah hamba panjatkan,
najat keselamatan yang telah Engkau berikan, semoga najat itu terus
berkelanjutan. Apapun upaya atau perbuatan yang telah hamba lakukan,
jangan sampai upaya-upaya tersebut menimbulkan murka Engkau dan supaya
hamba tidak kembali lagi kepada suatu titik yang itu tempat hamba
bergolak sebelumnya yang untuk itu hamba bertaubat.”
Sedangkan istighfar ialah memohon ampunan dari dosa-dosa. Lalu,
dikatakan wa atuubu ilaihi yang artinya, “Teguhkanlah kami dalam hal
terus terhindar dari dosa-dosa, menjadi orang-orang yang selalu meraih
maghfirat Engkau dan mendapatkan najat keselamatan dari api untuk
selama-lamanya.”)
Beliau melanjutkan, “Kemudian, dengan kekuatan itu manusia dapat teguh
dalam langkahnya dan akan timbul kekuatan untuk melakukan
kebaikan-kebaikan. Hal ini sesuatu yang dinamakan dengan tuubuu ilaihi
di dalam Al-Qur’an.
Taufik untuk bertaubat, seseorang dapatkan setelah istighfar. Jika
tidak dilakukan istighfar, maka camkan dengan baik, kekuatan untuk
taubat akan mati.
Jika kalian beristighfar dengan cara seperti itu dan bertaubat maka
akibatnya yumatti’ukum mataa’an hasanan ilaa ajalin musammaa. Yakni,
Allah Ta’ala akan menganugerahkan sarana terbaik kepada kalian sampai
masa yang telah ditetapkan.
Kebiasaan Allah berlangsung seperti ini, jika kalian beristighfar dan
taubat, maka kalian akan dapat meraih tahapan-tahapan. Bagi setiap
indera terdapat satu area yang didalamnya dia meraih tingkatan
kemajuan. Tidak mungkin setiap orang memperoleh derajat Nabi, Rasul,
Shiddiq atau Syahid.”
Namun apapun tahapan yang ditetapkan bagi seseorang, sampai batas mana
seseorang harus sampai, harus berupaya untuk dapat meraihnya, itu
dapat diraih dengan taubat dan istighfar.
Lebih lanjut menjelaskan mengenai taubat, beliau As bersabda,
“Jelaslah bahwa dalam kamus Bahasa Arab taubat diartikan dengan ruju
(kembali) untuk itulah di dalam Al-Quran Syarif Allah Ta’ala memiliki
nama at-Tawwaab yang Maha menerima taubat. Artinya, ketika manusia
memisahkan diri dari dosa-dosa lalu kembali kepada Allah Ta’ala dengan
hati yang tulus maka Allah Ta’ala akan kembali padanya lebih dari itu.
Hal ini tentu sesuai dengan hukum Allah Ta’ala yang senantiasa
berlaku. Ketika Allah Ta’ala telah menetapkan dalam fitrat manusia
jika manusia kembali kepada seseorang dengan hati yang tulus, maka
hati orang tersebut akan menjadi lembut untuk orang yang kembali tadi.
Lantas bagaimana akal sehat dapat menerima jika seorang hamba rujuk
kepada Allah ta’ala lantas Allah tidak rujuk kepadanya? Bahkan, Allah
Yang Maha pengasih dan maha Mulia akan jauh lebih rujuk lagi kepada
hambanya. Untuk itulah di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala disebut
at-Tawwaab yakni Maha penerima taubat-taubat. Jadi, rujuknya seorang
hamba disertai dengan penyesalan, rasa malu, merendahkan diri dan
merendahkan hati. Sedangkan rujuknya Allah ta’ala disertai dengan
rahmat dan ampunan. Jika seandainya rahmat bukan sifat Allah Ta’ala,
maka tidak akan ada yang dapat terbebas dari azab.
“Sangat disayangkan mereka tidak merenungkan sifat-sifat Allah Ta’ala.
Bahkan, dengan bersandar pada amal dan perbuatan, mereka beranggapan,
‘Berkat amalan kamilah, kami dapat meraih semua ini.’
Namun Tuhan itu yang telah menciptakan ribuan nikmat di bumi ini bagi
manusia tanpa mensyaratkan suatu amalan, apakah mungkin ketika manusia
yang penuh kelemahan diperingatkan dari kelalaiannya lalu ruju
kepada-Nya dan ruju yang dilakukan pun sedemikian rupa seolah-olah
mengalami kematian lalu membuka jubah lamanya yang tidak suci dari
tubuh lalu terbakar dalam api kecintaan pada-Nya, lantas Tuhan tidak
mengarahkan perhatian-Nya padanya dengan rahmat-Nya?
Bukankah itu yang disebut dengan hukum qudrat Tuhan?”
Beliau As tengah menjawab orang-orang yang mengatakan rujunya Tuhan
tidak disertai rahmat. Tidak diragukan lagi, ketika berdoa, ketika
beristighfar, manusia menjadikan dirinya seperti mayat seolah sudah
mati dan jubah lamanya yakni pakaiannya dibuka dari badannya lalu
mensucikan dirinya sehingga api kecintaan kepada Tuhan mulai membakar,
lantas meskipun demikian apakah Tuhan tidak akan rujuk disertai dengan
kasih sayang? Bisa saja mereka berpandangan seperti ini.
Beliau bersabda: “Orang yang beranggapan seperti ini adalah pendusta.
laknatullaah alal kaadzibiin (Laknat Allah turun atas para pendusta).”
Sama sekali tidak mungkin jika hamba melaksanakan kewajibannya, namun
Allah ta’ala sedikit pun tidak menganugerahkan padanya. Hal ini
bertentangan dengan maqam Allah ta’ala, kontradiksi dengan pengumuman
Allah Ta’ala yang menyatakan, ‘RahmatKu sangat luas.’” Hal ini
bertentangan dengan hukum-Nya yakni seperti yang saya katakan, itu
bertentangan dengan pernyataan-Nya bahwa rahmat-Nya sangat luas. Namun
kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia yakni berupaya seolah
mengalami kematian. Menurunkan Pakaian lama yang tidak suci dari tubuh
yakni pakaian dosa dosa-dosa manusia lalu terbakar dalam api kecintaan
pada-Nya.
Jika semua ini manusia lakukan maka Allah pun akan ruju padanya yang
mana manusia tidak dapat membayangkannya. Hal ini perlu untuk
direnungkan. Dengan demikian, inilah tolok ukur permohonan maghfirah
yang menjadikan seseorang berhak atas rahmat Allah yang mana Dia
wajibkan atas Diri-Nya sendiri.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menjelaskan syarat-syarat untuk meraih
taubat sejati, bagaimana yang harus menusia lakukan demi meraihnya dan
bagaimana seharusnya mengusahakannya, “Syarat pertama, sucikanlah
benak kita dari hal-hal yang dapat memunculkan fikiran-fikiran yang
merusak. Ini tidak akan dapat diraih sebelum kalian menggambarkan
jijiknya dan mengerikannya keburukan-keburukan tersebut di dalam
benak. Jika perhatian tetap tertuju padanya dan jika tidak
menggambarkannya dalam corak yang menjijikan didalam benak, maka akan
sangat sulit untuk menghindarinya. Yang utama adalah keluarkan itu
dari benak dan berupayalah untuk menimbulkan gejolak rasa benci akan
hal-hal tersebut.
Kedua, harus ada penyesalan segera ketika melakukan kesalahan dan
ketika perhatian tertuju pada keburukan. Ketika muncul fikiran buruk
di benak, maka harus timbul penyesalan dan rasa malu seketika itu
juga. Harus timbul pemikiran dalam hati, ‘Keburukan dan kelezatan yang
tengah saya tuju ini sifatnya sementara. Ia menghancurkan kehidupan
saya dan akan tiba masanya ketika semua ini akan berakhir, yakni
sementara.’
Seolah-olah kalbu manusia harus mendengarkan suara hati nuraninya.
Sebab, hati nurani akan mengatakan padanya dan dalam setiap keadaan
memberitahukan sesuatu itu baik atau buruk. Jika berfikir seperti itu
dan mendengarkan suara hati nurani kalian, maka secara perlahan-lahan
kalian akan terhindar dari keburukan.
Ketiga, harus ada tekad dan iradah yang kuat, “Saya tidak akan
mendekati keburukan-keburukan itu”, dan untuk teguh di dalamnya, harus
ada kekuatan iradah yang sempurna dan disertai doa, maka
keburukan-keburukan tersebut akan hilang dan sebagai gantinya akan
mulai melakukan kebaikan.
Sabda beliau yang mengatakan bahwa anda harus membuka jubah kekotoran,
artinya, “Kalian harus melakukan upaya gigih dan teguhlah diatasnya
dan tegaklah diatas kekuatan iradah, dengan begitu kalian akan berhak
mendapatkan rahmat Allah Ta’ala.”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menjelaskan perihal bagaimana manusia dapat
menyelamatkan diri dari api dengan istighfar dan taubat, “Bagi
manusia, taubat bukanlah sesuatu yang tidak berguna dan dampaknya
tidak hanya bergantung pada hari kiamat saja melainkan dengannya dunia
dan akhirat dapat terpelihara dan dengannya juga di dunia ini dan di
akhirat akan mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan sejati. Allah
Taala berfirman dalam Al Quran, رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا
حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ Rabbanaa
aatinaa fid dunya hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa ‘adzaaban
naar. ‘Ya Tuhan kami, berikanlah sarana ketenangan dan kebahagiaan
kepada kami di dunia ini dan ketentraman dan kebahagiaan di akhirat
dan selamatkanlah kami dari api.’ (Surah al-Baqarah, 2:202)
“Perhatikanlah! Kata Rabbanaa mengandung satu isyarat halus kepada
taubat. Ketika manusia mengucapkan Rabbanaa (ya Tuhan kami!) karena
kata Rabbanaa menuntut supaya manusia meninggalkan tuhan-tuhan lain
yang telah dia ciptakan sebelumnya lalu datang kepada Tuhan itu (yang
hakiki). Kata ‘Rabbanaa’ ini tidak mungkin akan keluar dari kedalaman
hati manusia tanpa disertai rasa haru dan rintihan yang hakiki.”
(Ketika mengatakan Rabbanaa, manusia tidak hanya mengucapkannya di
mulut saja, melainkan keluar dari kedalaman hati ketika berdoa.
Sebagian orang mengucapkannya juga secara lahiriah, namun hakikat doa
itu adalah yang keluar dari kalbu.)
Bersabda: “Rabb adalah Dzat yang memelihara manusia secara bertahap
dan menyampaikan pada kesempurnaan. Sebenarnya manusia telah membuat
banyak sekali tuhannya sendiri. Tatkala dia yakin sepenuhnya pada tipu
daya dan kedustaannya maka ia telah menjadikan itu sebagai tuhannya.
Jika dia berbangga diri atas keilmuan atau kekuatannya, berarti itulah
yang menjadi tuhannya. Jika dia berbangga atas harta bendanya atau
kekuatannya yang mapan berarti itulah yang merupakan rabb (tuhan)
baginya. Jika dia berbangga atas ketampanan atau kecantikannya, atau
harta bendanya atau kemakmurannya, berarti itulah yang merupakan rabb
(tuhan) baginya.
Ringkasnya, ribuan sarana serupa selalu mengiringi manusia. Selama
manusia belum meninggalkan semua itu lalu menundukan kepala di hadapan
Rabb yang hakiki - Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya - dan
sebelum manusia tersungkur dalam singgasana-Nya disertai dengan ucapan
Rabbanaa yang merintih dan meluluhkan hati, berarti dia belum memahami
Rabb yang hakiki.”
Dengan demikian, ketika manusia bertaubat di hadapan Allah Ta’ala
dengan mengikrarkan segala dosanya disertai dengan hati terbakar dan
rintihan tangis lalu menyampaikan kepada Allah Ta’ala dengan
menyatakan, ‘Rabbanaa’, maka itu artinya, ‘Engkaulah Yang merupakan
Rabb sesungguhnya. Namun, disebabkan kealpaan kami, sehingga kami
tersesat ke tempat-tempat lain. Sekarang hamba telah tinggalkan
berhala-berhala palsu dan sembahan-sembahan yang batil. Hamba ikrarkan
ketuhanan Engkau dengan hati yang tulus dan hamba hadir di haribaan
Engkau.’[8]
Tanpa cara itu sangatlah sulit bagi manusia untuk menjadikan Tuhan
sebagai Rabbnya. Selama rabb-rabb lain beserta keluhuran dan
kebesarannya belum keluar dari kalbu, selama itu pula Rabb hakiki
tidak akan dikenalinya dan rububiyyatnya tidak akan dia akui.
Sebagian orang menjadikan kedustaan sebagai rabbnya (tuhannya), mereka
beranggapan tanpa berdusta, sulit untuk melewati hidup. Sebagian orang
menjadikan perbuatan mencuri, merampok dan menipu sebagai rabbnya,
mereka meyakini tanpa itu tidak ada cara lain untuk mendapatkan
rezeki, berarti itulah yang menjadi rabnya.
Walhasil, orang-orang yang percaya dan yakin pada tipuannya itu, apa
perlunya bagi mereka untuk meminta pertolongan dan doa kepada Allah
ta’ala. Yang memerlukan doa adalah mereka yang seluruh jalannya
tertutup kecuali jalan Allah Ta’ala. Orang itu mengeluarkan doa dari
lubuk hati terdalamnya. Ringkas kata, memanjatkan doa Rabbanaa aatinaa
fiddunya dst hanyalah perbuatan orang-orang yang sudah meyakini Tuhan
sebagai Rabbnya dan mereka yakin semua rab-rab yang batil tidak
memiliki arti apa pun di hadapan Rabb Hakiki ini.”
Beliau bersabda: “Maksud api bukanlah hanya api yang ada pada hari
kiamat melainkan di dunia ini pun orang yang mendapatkan umur panjang
akan dapat melihat terdapat ribuan jenis api di dunia ini. Mereka yang
berpengalaman mengetahui di dunia ini terdapat berbagai jenis api.
Berbagai macam azab, rasa takut, darah (kekerasan), kelaparan
(kemiskinan yang sangat), penyakit, kegagalan, kehinaan dan
kemunduran, berbagai macam kedukaan, kesulitan yang diakibatkan
anak-anak dan istri serta permasalahan dengan karib kerabat, semua ini
adalah api. Maka dari itu, orang beriman berdoa kepada Allah, ‘Ya
Allah! Selamatkanlah kami dari berbagai jenis api. Ketika kami
berlindung kepada Engkau, selamatkan kami dari segala permasalahan
yang dapat membuat kehidupan manusia menjadi pahit yang mana itu
berkedudukan seperti neraka bagi manusia.’”
Ketika Hadhrat Masih Mau’ud (as) menekankan kepada Jemaat bahwa para
Ahmadi hendaknya membaca doa berikut sebanyak-banyaknya Rabbanaa
aatinaa fid dunyaa hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa
adzaabannaar, maka kita harus menaruh perhatian akan hal itu supaya
Allah ta’ala mencurahkan rahmat-Nya atas kita dan menyelamatkan kita
dari berbagai api duniawi dan akhirat.
Apa yang Allah Ta’ala firmankan dalam Al-Quran, kesimpulannya adalah:
“Wahai hamba-Ku! Jangan kalian putuskan harapan pada-Ku. Aku Maha
Pengasih, Maha Mulia, Maha Menutupi kelemahan dan Maha Pengampun dan
Yang paling banyak mengasihimu dan tidak ada yang dapat mengasihi
kalian seperti yang Aku lakukan. Cintailah Aku lebih dari ayah-ayahmu,
karena memang aku lebih menyayangi kalian dari mereka. Jika kalian
datang kepada-Ku, maka Aku akan ampuni semua dosa-dosa kalian. Jika
kalian bertaubat, Aku akan menerimanya. Jika kalian datang padaku
dengan langkah yang perlahan-lahan, Aku akan menghampiri kalian dengan
berlari. Orang yang mencariku, dia akan mendapatkan-Ku. Orang yang
kembali kepada-Ku, dia akan mendapati pintu-Ku terbuka. Aku mengampuni
dosa orang-orang yang bertaubat, sekalipun dosanya sebesar gunung.
Kasih sayang-Ku atas kalian sangatlah besar sedangkan murka-Ku
sangatlah sedikit, karena kalian adalah makhluk-Ku dan Aku telah
ciptakan kalian, untuk itulah kasih sayangku meliputi kalian semua.”
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita orang-orang yang menuju padaNya
dengan segala ketulusan, dapat meraih ketakwaan pada-Nya, meningkat
dalam keimanan dan keyakinan kita, supaya kita senantiasa dapat
mengambil bagian dari rahmat-Nya. Jangan sampai ada masa kita luput
dari rahmat-Nya yang karenanya kita menjadi layak untuk mendapatkan
hukuman-Nya. Semoga pandangan kasih sayang Allah Ta’ala senantiasa
tertuju pada kita.
Referensi : www.alislam.org dan islamahmadiyya.net
[1] Tafsir Hadhrat Masih Mau’ud pada ayat walladziinahum li-amaanaatihim wa ‘ahdihim raa’uun.
[2] Shahih al-Bukhari; dalam Sunan at-Tirmidzi, Kitab tentang shaum
(puasa) bab fi fadhli syahr Ramadhan, 682, juga ada hadits serupa, "
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ
الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ
فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ. وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ
يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِي مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ
أَقْبِلْ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ
النَّارِ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ " Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Jika datang malam pertama bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin yang jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan tidak ada satu pun dari pintu-pintunya yang terbuka; dan pintu-pintu surga dibuka, tidak ada satu pun dari pintu-pintunya yang tertutup, serta penyeru menyeru, wahai yang mengharapkan kebaikan bersegeralah (kepada ketaatan), wahai yang mengharapkan keburukan/maksiat berhentilah, Allah memiliki hamba-hamba yang selamat dari api neraka pada setiap malam di bulan Ramadlan’."
[3] Hadits Nasai No.4940
[4] Al-Jaami’ li Syi’bil Iimaan, Kitab tentang Shiyam (Puasa), bab
keutamaan bulan Ramadhan, jilid 5, h. 224, Maktabah ar-Rusyd, Saudi
Arabia, terbitan 2004, no. 3336; HR. Ibnu Adi, al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal, IV:325, Al-Uqaili, Adh-Dhu’afa al-Kabir, III:437, No. hadis 750,Ad-Dailami, Al-Firdaws bi Ma’tsur al-Khithab, I:138, No. 79, dan Al-Khathib al-Baghdadi, Mawdhih Awham al-Jam’I wat Tafriq, II:144, No. 233, عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَوَّلُ
شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ
مِنَ النَّارِ Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ’Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah magfirah, dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”
[5] Tuhfah Ghaznawiyah, Ruhani Khazain 15, 537.
[6] Ishmat Anbiya, Ruhani Khazain, jilid 18, h. 671. Review of
Religions – Urdu, Vol. I, hal, 187 – Inti pokok Ajaran Islam, Vol II,hal 241-242
[7] Malfuzhat, jilid 4, halaman 274-276, edisi 1985, terbitan UK.
[8] Malfuzhat, Vol. 5, hal. 188-189, edisi 1985, UK.