Pilkada 2018, Pilpres 2019, dan Demokrasi Indonesia

in #prabowosandi6 years ago

AGIKAN:
News Nasional
Herzaky
Herzaky Mahendra Putra
Pemerhati Politik
Bergabung sejak : 18 Apr 2017
Pemerhati politik Manilka Research & Consultant, Deputi Kogasma Partai Demokrat, Caleg muda DPR RI Dapil Kalbar I

Pilkada 2018, Pilpres 2019, dan Demokrasi Indonesia
Rabu, 28 Maret 2018 | 18:00 WIB
Ilustrasi
PESTA demokrasi di Indonesia kembali digelar di tahun 2018. Sebanyak 171 daerah bakal menggelar pemilihan kepada daerah secara langsung dan serentak di tahun ini.

Pasangan calon gubernur-wakil gubenur, wali kota-wakil wali kota, dan bupati-wakil bupati yang bakal mengikuti kontestasi pun telah ditetapkan oleh KPUD di setiap daerah di pertengahan Februari 2018.

Bagi partai politik, perhelatan Pilkada 2018 ini bernilai sangat strategis. Ada tiga faktor penyebabnya, yaitu jumlah, populasi, dan waktu.

Pertama, tercatat 17 provinsi dan 154 kota atau kabupaten bakal menggelar pemilihan kepala daerah secara serentak pada 2018. Dari segi jumlah, ini menjadi yang terbesar dibandingkan dengan pilkada pada 2015 dan 2017.

Kedua, dari segi populasi, total pemilih yang bakal mengikuti pemilihan kepala daerah tahun 2018 merupakan yang terbanyak dibandingkan tahun 2015 dan 2017.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, pada Pemilu 2014, pemilih di 17 provinsi yang bakal menggelar Pilkada 2018 mencapai angka 146,5 juta orang atau 77 persen dari 190,3 juta pemilih.

Untuk pemilihan kepala daerah pada tahun 2018, KPU memprediksi jumlah pemilih di 17 provinsi tersebut mendekati 160 juta suara.

Ketiga, waktu pelaksanaan Pilkada 2018 sangat dekat dengan masa pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden maupun calon legislatif periode 2019-2024.

Pemungutan suara untuk Pilkada 2018 berlangsung pada 27 Juni 2018. Masa pendaftaran calon legislatif digelar kurang dari dua minggu setelahnya.

Adapun masa pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden periode 2019-2024 bakal dilakukan kurang dari dua bulan setelahnya, yaitu pada awal Agustus 2018.

Kedekatan periode waktu ini membuat hasil Pilkada 2018 sedikit banyak bakal berpengaruh terhadap kontestasi di pemilihan presiden 2019.

Bahkan bisa dikatakan, pilkada serentak 2018 ini bukan sekadar memilih gubernur dan wali kota/bupati. Pilkada 2018 bisa dianggap sebagai babak kualifikasi untuk penentuan calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia periode 2019-2024.

Mesin partai

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, setiap partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR RI.

Ambang batas ini lebih tinggi dibandingkan Pemilu 2014 (3,5 persen) dan Pemilu 2009 (2,5 persen). Faktor risiko bagi setiap parpol peserta pemilu pun menjadi meningkat dengan naiknya ambang batas ini.

Belum lagi jika mengingat fakta munculnya empat parpol baru peserta Pemilu 2019. Semakin banyak peserta pemilu, berarti semakin banyak pesaing dalam memikat hati rakyat di tahun 2019.

Dibandingkan Pemilu 2014, peningkatan jumlah "kue" suara rakyat yang dibagi tidak signifikan, namun bertambahnya jumlah partai pesaing mencapai 40 persen. Kondisi ini membuat persaingan pun semakin ketat.

Dengan situasi seperti ini, momen Pilkada 2018 menjadi semakin penting. Parpol bakal menggunakannya untuk "memanaskan" mesin parpolnya. Mengetes seberapa jauh kekuatan dan ketahanan saat ini.

Jika mengusung calon kepala daerah dari kader partai sendiri, keberhasilan kader partai terpilih sebagai kepala daerah di Pilkada 2018 ini menunjukkan mesin partai di daerah tersebut bisa diandalkan. Apalagi jika kader partai yang terpilih bukan tokoh terpopuler ataupun memiliki elektabilitas tertinggi.

Jika memang tokoh yang diusungnya tidak berhasil menjadi kepala daerah, momen seperti ini berharga untuk mengevaluasi critical point yang perlu diperbaiki.

Jadi, ketika Pileg dan Pilpres 2019, kesalahan yang sama tidak lagi terjadi. Parpol lama tentunya berharap bakal bisa memperlebar gap dengan parpol baru, sedangkan parpol baru berharap bisa mendulang kesuksesan di 2019 dengan belajar memanaskan mesin partai di Pilkada 2018 ini.

Success rate tinggi di Pilkada 2018 yang diikuti hampir 80 persen pemilih, bakal memunculkan kepercayaan diri bagi setiap parpol yang terlibat di dalamnya.

Mereka pun bakal bisa menakar, sejauh mana kekuatan dan ketahanan mesin partai mereka, dalam mengarungi pertarungan di Pileg dan Pilpres 2019. Dan, seberapa tinggi daya tawar mereka dalam berkoalisi dengan partai lain dalam memajukan calon presiden ataupun calon wakil presiden.

Juru kampanye

Penggunaan juru kampanye selama ini dianggap sebagai salah satu cara yang efektif dalam membantu menarik perhatian pemilih ke partai politik pengusung ataupun calon kepala daerah.

Disadari atau tidak, pesan yang disampaikan oleh sumber yang menarik, akan mendapatkan perhatian besar, di samping sangat mudah untuk diingat (Royan, 2005). Di sinilah juru kampanye berperan.

Keberadaan juru kampanye bertaraf nasional bakal dengan cepat mengerek popularitas calon kepala daerah. Bahkan, dalam taraf tertentu, juru kampanye nasional yang tepat seakan-akan bisa "meminjamkan" citranya kepada sosok calon kepala daerah.

Dengan kata lain, calon kepala daerah diasosiasikan sebagai sosok yang memiliki citra yang serupa dengan juru kampanye nasional. Jika dikelola dengan tepat, kondisi seperti ini bakal memuluskan jalan calon kepala daerah meraih elektabilitas melebihi pesaingnya.

Daya tarik juru kampanye nasional itu sendiri di antaranya terletak pada dua hal yang dikenal sebagai Q factor, yaitu familiarity atau keakraban dan likability atau kesukaan.

Konsep yang dikenal dalam dunia pemasaran ini (Kotler & Keller, 2012), bakal mempermudah kita dalam memilih juru kampanye nasional yang tepat.

Semakin tinggi tingkat familiarity dan likability seorang juru kampanye nasional bagi pemilih setempat, maka kemungkinan besar semakin efektif juru kampanye tersebut dalam mendukung kampanye calon kepala daerah.

Dalam konteks ini, sering dijumpai masyarakat pemilih menentukan pilihannya karena sosok juru kampanye nasional, bukan karena sosok kepala daerah.

Di perhelatan Pilkada 2018, sejumlah tokoh nasional, seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Zulkifli Hasan, Muhaimin Iskandar, Agus H Yudhoyono, ditengarai turun gelanggang ke berbagai pelosok daerah.

Mereka berperan sebagai juru kampanye bagi calon-calon kepala daerah yang diusung partai politik tempat mereka bernaung. Keberadaan mereka tentunya diharapkan bisa berperan sebagai endorser yang efektif untuk calon kepala daerah yang diusung partainya.

Dalam konteks inilah, Pilkada 2018 bisa dianggap sebagai babak kualifikasi untuk penentuan calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia periode 2019-2024.

Selama ini, penggunaan tokoh nasional selaku juru kampanye dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas calon kepala daerah.

Namun, di sisi lain, tokoh nasional yang menjadi juru kampanye memiliki kesempatan me-recall kembali ingatan publik akan sosok dirinya, maupun mengenalkan dirinya ke segmen dan jangkauan wilayah pemilih yang lebih luas.

Dengan meningkatnya keterkenalan sosok tokoh nasional, tentu lebih memudahkan untuk melambungkan elektabilitasnya.

Tak hanya itu, hasil yang didapat oleh calon kepala daerah yang didukungnya, merupakan salah satu indikator, seberapa efektif sosok dia selaku juru kampanye, serta seberapa besar kemungkinan keterpilihannya jika menjadi calon presiden atau calon wakil presiden.

Peran tiga poros

Pertanyaan selanjutnya adalah, siapa sajakah yang bakal menjadi penentu dalam kontestasi menuju kursi capres atau cawapres melalui Pilkada 2018?

Dalam kolom di Kompas.com, 4 Mei 2017, penulis memprediksi bakal ada tiga poros penentu konstelasi Pilpres 2019.

Pertama, poros partai pendukung pemerintah yang dimotori PDI-P dengan tokoh sentralnya Megawati Soekarnoputri, atau kita sebut Poros Teuku Umar.

Kedua, ada Poros Kertanegara, dengan Prabowo Subianto selaku tokoh utamanya. Terakhir, Poros Cikeas, yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudoyono.

Pada Pilkada 2018, pergerakan ketiga poros ini bakal memengaruhi konstelasi politik secara keseluruhan, apakah dua ataukah tiga pasang capres-cawapres yang bakal berlaga.

Sesuai dengan prediksi, Poros Teuku Umar kembali mengusung Joko Widodo sebagai calon presiden. Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada akhir Februari 2018 mengumumkan penetapan Joko Widodo atau Jokowi sebagai calon presiden 2019-2024 di Rakernas III PDI-P.

Selain posisi petahana sebagai kelebihannya, Jokowi juga memiliki elektabilitas relatif tinggi dan stabil menurut berbagai survei. Di sisi lain, PDI-P tidak memiliki opsi kader yang memiliki kadar ketokohan di atas Jokowi selain Megawati, ketua umumnya.

Pengumuman PDI-P ini melengkapi dukungan dari parpol-parpol yang telah lebih dahulu melakukan deklarasi mengusung Jokowi sebagai capres 2019-2024, yaitu Golkar, PPP, Hanura, dan Nasdem. Total koalisi Teuku Umar yang dimotori PDI-P telah mengantongi 51 persen kursi DPR.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Dengan demikian, opsi yang tersisa hanyalah untuk maksimal dua pasang calon lagi untuk Pilpres 2019.

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.18
JST 0.031
BTC 88711.71
ETH 3154.74
USDT 1.00
SBD 2.86